Part 1

2 0 0
                                    

"Bagaimana caranya agar aku dapat menikahi anak Bapak?" Remaja berusia tujuh belas tahun itu masih saja memohon di hadapan ayahku.

"Kau tak perlu lakukan apa pun, cukup berhenti bermimpi dan sekarang pergi dari sini! Karena sekarang nanti atau esok, saya tak akan pernah mengizinkannya!" seru Ayah.

Dengan wajah lesu dan kecewa, lagi-lagi remaja lelaki itu pergi. Aku mengantar punggung kekarnya dengan tatapan dari balik jendela. Bukan, bukan aku tak ingin merengek meminta agar ayah menerima saja remaja itu. Namun, sadar siapalah diri ini. Hanya seorang janda beranak empat, sangat tidak pantas untuk ABG tujuh belas tahun sepertinya.

Tak terasa, air mata menetes tanpa dapat dicegah dari sudut mata. 

"Dek, kamu kenapa?" Tiba-tiba saja suara Reka—abang sulungku—bergema di kamarku. Buru-buru kuhapus air mata di pipi.

"Eh, Abang. Tika gak pa-pa, kok." Aku tersenyum walau terasa hambar.

"Jangan berharap banyak dari remaja itu, Dek. Ayah dan para kakakmu ini hanya khawatir dia akan mempermainkan hatimu." Reka mengambil duduk di kursi meja riasku. Menatap tajam, tetapi begitu meneduhkan.

"Tapi, Kak. Tika melihat keseriusan di matanya. Lagian, kalau dia hanya main-main, tak mungkin akan terus mendatangi Ayah setelah lima kali ditolak mentah-mentah." Aku menyanggah perkataan Reka karena memang benar adanya. Hari ini adalah kali keenam dia datang untuk meminta restu Ayah.

"Tapi, Dek! Kamu harus ingat, kau dan dia berbeda. Beda keyakinan, dan jangan lupa! Kau itu lebih pantas menjadi ibunya." Reka kembali mengingatkanku akan status dan usia.

Aku terdiam. Cukup lama, sampai akhirnya Reko—Kakak keduaku setelah Reka–datang.
"Ada apa sih ribut-ribut?" Lelaki tambun itu mengambil duduk di sebelahku.

"Oo, iya tadi aku ketemu si itu," ujar Reko. "Mukanya kusut banget terus keliatan putus asa. Duduk di got dekat pengkolan sekolahnya Ika."

Tanpa bertanya, aku pun sudah tahu siapa yang sedang dibicarakan oleh Reko. Reka hanya diam, lalu bangkit.

"Aku duluan, ya. Anakku minta dikirim uang untuk bayar kuliah katanya." Tanpa menunggu jawaban, Reka langsung pergi.

"Dek, kenapa itu si Reka?" tanya Reko heran. Memang tak biasanya Reka pergi sebelum pembicaraan selesai. Namun, aku hanya mengendikkan bahu tanda tak mengerti.

"Kadang kala, manusia hanya bisa berusaha menggapai keinginannya sampai rela melakukan apa pun. Tapi, jika yang diperjuangkan itu kamu, Dek, hargai dia. Beri dia kesempatan." Reko mengusap rambutku lembut. Ia menyelipkan anak-anak rambutku ke belakang daun telinga. Setelah itu, bangkit dan berlalu meninggalkanku yang masih mematung kebingungan.

"Ya Tuhan! Apa yang harus hamba lakukan?" tanyaku lirih.

"Bu, sudah siap? Yok berangkat!" ajak Ika. Kedatangn anak sulungku yang seusia dengan remaja itu membuyarkan lamunan.

"Oh, sudah. Ayo."

Aku bangkit dan bersiap untuk melakukan pemujaan. Hari ini adalah hari purnama, hari yang disucikan oleh umat Hindu dan dirayakan untuk memuja Tuhan, Ida Sang Hyang Widi dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Candra dan Sang Hyang Ketu sebagai dewa kecemerlangan dan untuk memohon cahaya suci, kesempurnaan, berkah dan karunia.

Beberapa canang sari1 dan sajen sudah kusiapkan untuk melakukan pemujaan itu.

"Om bwar bwa svaha ...." Suara Ayah telah terdengar. Buru-buru aku melangkahkan kaki ke sanggah, tempat pemujaan yang didirikan dekat rumah. Aku dan Ika segera bergabung agar tak tertinggal jauh.

***

Pemujaan telah selesai. Aku dan Ika telah duduk berdua di kamar. Entah mendapat pikiran dari mana, tiba-tiba saja Ika bertanya dan sukses membuatku meneteskan air mata.

"Mak, Bapak baik, ya?" tanyanya.

Awalnya aku mengernyitkan dahi heran, sebab tak biasanya Ika membahas soal bapaknya. Selain karena jarak yang memisahkan keduanya, aku pun tak pernah ingin lagi membahas lelaki yang pernah berkhianat itu.

"Bapak? Ika ketemu di mana? Mamak, 'kan sudah bilang kalau mau ketemu Bapak, Ika tinggal di Palembang. Tapi, kalau nyuruh Mamak tinggal sama Bapak lagi, Mamak gak mau." Aku menatap sorot matanya yang juga sedang menatapku.

"Bapak Aji, Mak. Tadi, Ika ketemu di jalan pas mau pulang sekolah. Kan, Ika lewat, terus dibeliin es sama dia." Ika bercerita dengan antusiasnya.

"Terus Ika bilang, makasih, Kak. Dia malah nyuruh manggil Bapak. Katanya bentar lagi dia jadi bapak Ika gitu."

Aku menelan ludah yang terasa pahit.

Sampai segitunya dia mau sama aku? tanyaku dalam hati.

"Ika, Aji itu seusia Ika, jadi panggil Kakak aja, ya, Nak!"
Ika mengangguk, mungkin dia paham dengan kata-kataku.

"Ya, udah ke kamar kamu, gih! Udah malem, besok,'kan mau sekolah," ujarku. Ika bangkit dan ke luar dari kamarku.

Aku berbaring di tempat tidur, melemaskan otot-otot tangan dan kaki, lalu mulai memejamkan mata. Namun, tiba-tiba saja terdengar seseorang mengetuk jendela kamar.

Aku membuka mata, lalu bertanya, "Siapa itu?" tak ada jawaban dari balik jendela.

Ah, mungkin orang lewat, terus iseng, batinku.

Kembali kupejamkan mata, dan hampir terlelap, tetapi lagi-lagi suara ketukan jendela membangunkanku. Penasaran, aku bangun dan perlahan menuju jendela. Kusingkap gorden, lalu ....

Bersambung ....

Lanjutkah, Gaes?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 02, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pengantin Beda GenerasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang