Pria yang terjebak dalam dus sepatu kosong

3.6K 769 117
                                    

Daniel HanifLahir di Bandung, 4 Maret 1990Kuliah jurusan ilmu hukum di universitas negeri di Bandung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Daniel Hanif
Lahir di Bandung, 4 Maret 1990
Kuliah jurusan ilmu hukum di universitas negeri di Bandung

🍁🍁🍁

Cara agar manusia bisa mengerti, dia harus mengalaminya sendiri. Pernah terjebak dalam keinginan untuk mati, Daniel bisa memahami hati Tiffany.

Tahun 2005 sebelum tol Cipularang dibangun, Daniel harus melewati waktu hampir sepuluh jam untuk tiba di Serang. Keluarga Hanif memiliki jadwal rutin setiap enam bulan untuk berkunjung ke rumah tetua di kota itu. Tahun 2008, semua berubah. Jalan tol yang menembus gunung, lembah serta berdiri di atas sungai memangkas hampir setengah dari jarak tempuh yang harus dilalui dari Bandung ke Serang, Cipularang namanya. 251 KM akhirnya Daniel lalui di atas mobil BMW hitam milik ayahnya.

"Ganti baju dulu, Nak!" seru ibu Daniel, perempuan asli Garut yang menurunkan mata sipit pada pria ini. Banyak yang menyangka Daniel memiliki darah Chinese. Padahal sebagian masyarakat Garut ada yang memiliki kulit putih dan mata sipit. Deborah Eloise, ibu Daniel yang memiliki ayah orang Prancis justru lebih kental wajah pasundannya. Tidak seperti saudara yang lain.

Daniel menggeleng. Di kamar berukuran 8 kali 10 meter yang memiliki arsitektur modern khas tahun 2000an, ia membongkar isi koper agar menemukan sebuah kado yang dibeli di Jakarta untuk wanita yang ia cinta.

Dalam benak, Daniel berharap mendapati cerminan wajah gembira wanita itu di bola matanya. Jika saja kerak telor bisa bertahan lama, ia ingin membelikan itu untuk Ema. Namun akhirya Daniel lebih memilih kaset DVD film india. Meski ia tahu, karena menonton Shah Rukh khan, Ema mungkin tidak akan mengacuhkannya untuk beberapa hari.

Kaset itu ia bungkus indah dengan kertas Harvest bergambar zodiac aries lalu ia masukan pada kantong keresek putih yang terasa elite karena biasanya hanya ada di mall atau supermarket.

"Bu, aku pergi dulu!" pamit Daniel sambil memakai sepatu Eagles hitam miliknya. Ia meminjam motor vespa ayahnya dengan hati yang berbunga-bunga layaknya manusia yang hidup di asmaraloka.

Menuruni jalan Setiabudhi dan menikmati teduhnya dipayungi pohon-pohon di jalan Taman Sari. Motor Vespanya berbelok menuju jalan di mana kanan dan kirinya dipagari pohon damar. Daniel bersenandung mengikuti irama musik dalam ipod. Music player sebenarnya sudah tersedia di dalam hp nokia, hanya anak muda saat itu memiliki ipod karena harga mahal yang membuat naik juga harga diri.

Sebelas tahun yang lalu - saat Daniel masih duduk di sekolah dasar, ayahnya sering memutar lagu yang sama hampir setiap pagi sambil menikmati kopi kapal api dan berita di koran PR. Lagu itu kini masih tersimpan di ipod Daniel, Suci dalam debu yang dinyanyikan Iklim, grup musik dari Malaysia.

Tanpa sengaja matanya tertarik pada seorang kakek yang membawa tanggungan dari anyaman bambu. Di dalamnya ada buah kesemek berwarna jingga dan dibedaki kapur siri sehingga orang sunda memanggilnya si buah centil. Daniel menghentikan motor membeli satu kilo buah itu untuk ia gunakan sebagai senjata meraih hati orangtua Ema. Meski kata orang martabak lebih ampuh, ini terlalu pagi untuk bisa menemukan makanan itu.

Ditemani senandung lagu dan buah kesemek yang tergantung di leher motor, Daniel melanjutkan perjalanan. Lagu ini membuatnya semakin tidak sabar bertemu Ema. Seolah penyanyinya tahu bagi Daniel Ema seperti air yang jernih dalam bekas yang berdebu. Meski ada kotoran tercipta, kesuciannya selalu terjaga.

Kisah cinta Daniel dan Ema tidak selurus rel kereta. Jarak usia dia dan kekasihnya hingga lima tahun, Daniel lebih muda sehingga orangtua Ema tidak menyetujuinya. Ema yang sudah menyusun skripsi dan siap menempuh dunia kerja menurut mereka akan sia-sia jika masih harus menunggu Daniel yang baru dua bulan menempuh kuliah.

Namun Daniel tidak menyerah. Berharap suatu hari nanti pasti jalannya dan Ema akan bercahaya, pintu restu terbuka dan melangkah bersama dalam biduk rumah tangga.

Bukan khayalan yang aku berikan
Tapi keyakinan yang nyata
Kerana cinta lautan berapi
Pasti akan 'ku renang jua

Iklim - Suci Dalam Debu (1997)

Masih terdengar suara Daniel menikmati rindu meski berpadu dengan jalanan berdebu. Ia tertawa sesekali mengingat taruhannya dengan teman-teman satu jurusan.

"Kalau kamu menikahi Ema, mau taruhan apa?" tanya Martin, Kating Daniel di jurusan yang sama.

Daniel tertawa. "Bukan bendo, aku siap pakai bumban dafnah. Anggap saja tanda kemenangan!"

Satu atau dua tahun lagi, Daniel sudah siap menabung. Meski rangkaian daun itu harus ia pakai ketika akad nikah, asal itu dengan Ema, akan ia lakukan.

Tiba di depan gerbang perumahan di mana rumah-rumahnya masih mempertahankan desain zaman kolonial, Daniel menyipitkan mata. Lengkungan janur yang berupa penjor melengkung di gapura. Daun kelapa muda yang dalam bahasa jawa berarti sejating nur atau cahaya sejati yang merupakan lambang lahirnya kehidupan baru yang berkah. Ada buah-buahan ikut menghiasi. Bukan itu yang aneh, tapi lambang hati dari styrofoam yang di dalamnya ada nama Ema.

Gelebah merasuk jiwa. Daniel mulai menghitung peluang, berapa banyak di komplek tak luas ini wanita yang bernama Ema. Ia masih percaya dengan kesetian wanita yang ia cinta. Daniel terus mengendarai motor vespa abu-abu menuju tujuannya melepas rindu. Namun ia disambut dengan teduhnya tenda biru yang pernah menjadi judul lagu tentang tragedi pernikahan di awal tahun dua ribu. Sialnya tenda itu ada di depan rumah Ema.

Daniel turun dengan harapannya yang masih tersisa. Ema punya kakak laki-laki yang belum menikah, mungkin tenda ini untuknya. Namun semakin ia berjalan ke dalam, semakin jelas wajah wanita bak air jernih itu begitu cantik memakai kebaya putih di pelaminan. Daniel mematung, cintanya yang telah melambung ke jumantara tiba-tiba jatuh terjerembab ke dalam palung.

Akhirnya kedua mata yang pernah saling cinta itu bertemu, perlahan mulai air mata berlinang. Ekspresi kosong tercipta tanda keduanya tak menyangka pisah tanpa kata. Tiada ucapan putus dari Ema, juga tidak ada undangan tanda peringatan. Daniel menunduk lalu berlari keluar dengan kekecewaan yang memenuhi isi dada.

Daniel tidak tahu harus lari ke mana. Ia hanya berlindung sambil bersandar pada motor tua milik ayahnya di lahan parkir kampus yang biasa sepi ketika minggu pagi. Ditemani daun-daun yang berguguran menyentuh kepala, Daniel terisak menangisi hakikatnya yang tidak bersinar dan debunya yang tidak jadi permata.

"Daniel kenapa?" tanya lembut suara wanita membuat Daniel mendongak sambil mengusap matanya. Ia kaget melihat wajah polos Tiffany berdiri dengan matanya yang sayu.

"Karena Ema," jawab Daniel.

Tiffany mengangguk. "Aku dengar Kak Ema kerja di luar kota. Kalian harus LDR, dong? Gak apa-apa, aku juga LDR sama Dylano baik-baik aja meski cuman saling kirim email. Rajin saja temui dia sesekali." Nasehat Tiffany begitu terdengar miris di telinga Daniel Hanif.

Gadis itu menepuk pundak Daniel dan membuat air mata pria itu mengalir semakin deras. Tak tahu karena merasa sungkan atau kasihan, Tiffany berdiri di sana menemaninya hingga air mata berhenti mengalir.

Dua tahun setelah itu, keadaan berbalik. Kini Daniel yang membantu Tiffany mengeluarkan air mata kepedihan. Mungkin bagi Tiffany ini adalah akhirnya bersama Dylano. Namun bagi Daniel, sampai kapanpun perasaan Ema masih miliknya. Ia menunggu waktu pintu akan terbuka kembali bagi mereka. Meski ada rumah tangga yang dijalin Ema dengan pria lain.

❄️❄️❄️

Sepatu Tanpa Pasangan (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang