L I M E R E N C E [ 1 0 ]

294 21 18
                                    

"Rasa nyaman tak selamanya menyimpulkan perasaan cinta."        
~Adeeva Afsheen Myesha

Suara klakson mobil menarik perhatianku. Aku menyibak gorden jendela kamar, menampakkan mobil bunda terparkir di halamah rumah. Figur seorang wanita keluar dari jok penumpang sebelah kiri. Beliau, tante Ratna. Mataku berbinar cerah, kakiku refleks melangkah tergesa-gesa keluar kamar. Kusambut tante Ratna di halaman rumah. "Halo Tante," sapaku menyalami punggung tangan beliau.

Tante Ratna tersenyum ramah. "Halo, keponakan Tante yang cantik."

Tangan tante Ratna mencolek daguku. Aku terkekeh pelan. Tanganku tak kuasa menahan untuk tidak menyentuh pipi chubby Asyifa dalam gandengan tangan tante Ratna. Punggungku menunduk sedikit sambil berjongkok, menyamakan posisi dik Asyifa untuk kucubit pipinya. Dia menggeliat lucu lantas tertawa menampakkan gigi kelincinya. "Atit, Akak," ujar Syifa kecil terdengar belepotan.
(Belepotan = tidak jelas)

"Tante mau tinggal di sini ya?" tanyaku melihat pak satpam menurunkan koper-koper besar dari bagasi mobil bunda. Tante Ratna mengangguk lemah. "Wahhh, asyik dong!" pekikku heboh.

Bunda menatapku sekilas. "Udah sayang, tante Ratnanya mau masuk itu. Kasihan kan dik Syifa." Ibu berjalan memutari mobilnya. Beliau meraih pundak tante Ratna, lantas membawanya masuk ke dalam rumah.

Aku mengangguk patuh. Malas meladeni bunda, aku berjalan ke depan gerbang. Entah dapat dorongan dari mana, mungkin aku hanya ingin melampiaskan kekesalanku barusan. Aku menyilangkan kedua tanganku di depan dada sambil bersandar di pagar rumah. Penglihatanku menyapu ke arah kanan dan kiri jalan mengamati kendaraan lewat yang sembilan puluh sembilan koma sembilan persen menunggu kedatangan keluarga Petter.

Lima belas menit bersandar di sana, ternyata berbuah hasil. Dari kejauhan mampu terlihat mobil yang waktu itu dipakai oleh om Adeliem untuk menjemput putranya. Aku mendorong pagar selebar mungkin. Mobilpun memasuki halaman rumah yang luas. Sepasang suami istri beserta putranya keluar serentak dari mobil tersebut. Kedua orang tua Petter masih berseragam rapi, mungkin mereka datang langsung dari pengadilan menjemput Petter di rumah dan tancap gas ke sini. Mereka berdua tersenyum padaku. Aku mempersilakan mereka masuk. Langkah kaki mereka berlalu meninggalkanku menyisakan Petter yang justru berbelok untuk duduk di kursi taman. Aku mengikuti pergerakannya. "Kira-kira nanti gimana ya, Pet?" celetukku sembari mengayun-ayunkan kaki.

Petter menatapku dari samping. "Semoga aja lancar, Dev. Lagi pula om Reno udah jadi buronan."

Aku sontak membalas tatapannya dengan kernyitan di dahi.

"Buronan?" ulangku masih tak percaya.

Petter mengangguk mantap. "Iya. Kemarin setelah mengantarmu pulang, ayah langsung mengurusnya sampai larut malam beliau kerjakan di rumah. Aku sampai terharu pas enggak sengaja ngeliat ayah di ruang kerjanya."

Aku tertegun. Beliau seprofesional itukah?

"Terima kasih banyak, Pet. Maaf merepotkan keluargamu," gumamku tak lagi menatapnya. Aku justru menatap sandalku. Salah jika ayahku justru menyalahkan kedua orang tua Petter.

Petter menggeleng kecil. "Enggak, Dev. Keluargaku yang seharusnya meminta maaf." Aku menatapnya lagi, langsung mencomot pergelangan tangannya untuk kuajak masuk ke dalam. Benar, di dalam sudah ricuh macam suporter sepak bola antara rival di stadion.

"Dengarin dulu apa yang mau om Adeliem bicarain, Yah. Beliau dan tante Maria enggak salah. Beliau bahkan udah melaporkan kasus ini dan om Reno telah jadi buronan sekarang," jelasku melaporkan langsung kepada seluruh atensi.

Tante Ratna masih terpaku tak menyangka. Beliau menatap kosong orang-orang di sekelilingnya.

"Benarkah itu, Pak?" tanya ayahku memastikan. Sudah kuduga, pembahasan semalam perihal kesalahpahaman ayah pasti telah terulang lagi.

Limerence [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang