Debar

65 3 0
                                    




Selamat datang, September.

Sebuah kartu ucapan kudapati di meja, di sana terdapat gelas kaca yang berisikan carikan kertas warna warni, sebuah pena dan sebuah kotak tisu beserta isinya yang tinggal beberapa helai.  Aku menatap sekeliling, jam dinding berdetak teratur mengitari angka-angka yang salah satu jarumnya tepat pada pukul sembilan sedang satunya lagi menunjukkan angka tiga. Aku meraih kertas dengan ragu-ragu kemudian perlahan menarik penanya juga. Hendak kutuliskan beberapa larik kata, hitung-hitung membunuh sunyi malam ini..

Tik.

 Aku menjatuhkan ujung pena di atas kertas warna biru yang kupilih sembari memikirkan kata apa yang hendak kutulis, tapi urung. Aku mengangkat ujung pena kembali lalu menjatuhkannya lagi dan lagi. Tik-tik, beberapa kali kuulangi. 

 "Ah, kenapa keras sekali bunyinya," batinku.

 Entah tenagaku yang terlalu kuat dikerahkan ke kertas, atau memang situasi yang begitu lengang, sehingga bunyi goresan pena saja terdengar kuat sekali. Senyap, tak ada pengunjung  kedai kopi malam itu selain aku. Saking senyapnya, desau angin terdengar begitu memburu dan denting gelas kaca di barista yang terdengar sayup. Omong-omong petugas kedai kopi pun tak satupun keliahatan.

Beberapa saat seorang petugas kedai kopi menghampiri dengan label menu di tangannya. padahal tanpa bertanya saja dia sudah hapal betul menu kesukaanku. Tapi bukankah lebih baik bertegur sapa dengan pengunjung setia-nya.

Aku menggeser sikut dengan pelan sekali, membetulkan posisi, celingak celinguk sekeliling berharap ada seseorang yang datang. Tak biasanya kedai kopi sesenyap ini, paling tidak  ada satu dua orang yang datang meski sebentar saja. 

Biasanya dari sepasang kursi di hadapanku akan terdengar riuh obrolan-obrolan kerinduan sepasang kekasih dan di sebelah kirinya lagi, meja panjang dengan tatanan bangku yang teratur  tempat kaula muda menghabiskan malamnya dengan sejuta cerita tawa. Di sebelah kanannya terdapat pula beberapa lelaki paruh baya yang tengah berkutat dengan polemik kerja. Malam ini aku tak melihat siapapun di posisinya.

 Tak ada sepasang kekasih itu, beberapa anak muda juga tak ada, dan juga orang-orang yang tengah bekerja. Semua tak ada, tak terkecuali laki-laki yang kulihat beberapa hari terakhir ini. Laki-laki yang menempati bangku di pojok berlawanan dari posisiku. 

Seorang laki-laki misterius dengan perawakan tinggi, kira-kira tingginya sekitar lima sentimeter lebih dariku, rambutnya gondrong, hitam legam sebahu, cara berpakaiannya terlihat biasa saja yang tidak biasa adalah cara dia menikmati malamnya di kedai kopi.

Beberapa hari berturut-turut acapkali kudapati lelaki itu di kedai kopi ini, tapi tak sekalipun kuketahui wajahnya secara penuh walau dalam posisi berhadapan sekalipun, yang jelas dia memakai kacamata dan selalu memakai masker.

Sikapnya mengusik ranah penasaranku, merubah seorang 'aku' yang dulunya tak pernah mengiraukan siapapun walau dari jarak dekat sekalipun terlebih lagi orang asing.  Apakah laki-laki itu memiliki hidung atau sebaliknya karna memang tak pernah terlihat olehku. Ia sering menunduk, entah karena menatap ponsel, buku, atau semacamnya yang biasa orang-orang lakukan di kedai kopi. Tapi aku tak melihat apapun di tangannya, melainkan jemari yang dimainkan berkali-kali. Aneh sekali.

'Mungkin rambutnya berat,' batinku. 

'Atau memang lagi melihat sesuatu di meja. Ah sudahlah, tak baik menduga-duga perihal orang asing. Biarkan saja ia dengan segala perlakuannya, yang jelas dia tidak membuat masalah di kedai kopi ini.'

Slurpppp...

Secangkir kopi latte kusruput hingga menghadirkan bunyi. Carikan kertas yang ku ambil tergeletak dengan pena di atasnya kubiarkan berkibar ditiup angin malam. Lagipula tak ada ihwal yang dapat kutuliskan malam ini, kosong melopong. Seperti kedai kopi ini.

Hanya menunggu dentang jam dinding di angka biasanya, lalu aku akan berlalu meninggalkan kedai kopi. Tidak enak juga berlama-lama sendiri di sini, padahal biasanya aku juga duduk sendiri, tapi kali ini berbeda. 

Kesendirian tak selamanya dapat menghadirkan rasa nyaman, perlu satu dua orang agar hidup tak berasa begitu lengang. Ya, meski orang-orang itu sekedar lalu lalang.

Perihal kesendirian,  lelaki itu yang kutau ia juga penyendiri. Bagaimana tidak, setiap di kedai kopi ia selalu tampak sendiri dan perlakuan sama setiap malamnya, menunduk, dan membiarkan rambut rimbunnya menutupi wajahnya. Ah, aku takut dia kehabisan napas.

Entah sejak kapan aku memperhatikan dan memikirkan lelaki misterius itu, bukankah niatku ke kedai kopi untuk meredam segala pikiran dan menghapus ingatan yang tak perlu, tapi malah kembali dari sana aku malah memikirkan hal-hal yang tak seharusnya.  Apalagi memikirkan orang tak dikenal. Ah, aku memang payah sekali.

Lelaki itu seperti candu kopi yang tersesap, rasa yang berbekas di tenggorokan dan ingin menyesap nya lagi dan lagi. Serupa hal untuk menemuinya lagi.

 Bahkan yang sedari awal niatku ke kedai kopi adalah untuk mereguk kopi kesukaan dan menyesapi kepahitannya, sekarang malah lebih terfokus untuk melihat lelaki misterius ini. Ada apa ini, aku mencoba melawan keras pikiranku . 

Tapi malam ini lelaki itu tak ada di posisinya. Merasa kehilangan padahal belum sempat mendapatkan.

"Hai." sebuah suara melesap ke telingaku.

" Ha-hai," balasku terbata. 

Kaget bukan kepalangnya aku, bagaimana tidak sedetik dua yang lalu tak ada siapa-siapa di sini dan lebih mengejutkan lagi, suara itu berasal dari laki-laki penyendiri itu yang berdiri tepat di hadapanku. Aku tergugu. 

DebarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang