Y217
Empat belas tahun yang lalu—Dentang kedua pedang itu bertemu di udara. Tatapan mereka terpatri pada satu titik sengit sementara angin musim panas berembus, kelopak bunga aneka warna berputar di sekeliling mereka. Pria di hadapannya tiga tahun lebih tua dan dua kali lebih kuat, namun Petra Alexius of Reyes sukar menyerah. Meskipun semangat telah merupa keringat di sekujur punggungnya, ia tidak pernah kehilangan asa. Pria itu menyunggingkan senyum percaya diri, mengklaim kemenangan latihan duel mereka kali ini.
Petra memutar tubuhnya yang lebih kecil, dalam satu gerakan kilat. Seakan pedang itu lahir dari tulang rusuknya, bagian tubuhnya, Petra cekatan melucuti pedang lawannya. Bunyi kelontang segera diikuti geraman pria di hadapannya. Tungkainya limbung oleh serangan tiba-tiba Petra. Sepersekian detik kemudian, punggung pria itu jatuh bertemu lembut rerumputan taman. Bilah tumpul pedang Petra menemui lehernya.
"Menyerah. Aku menyerah." Kedua tangan pria itu melambai di udara. "Kali ini kemenanganmu, Tuan Putri."
Petra tidak kuasa menyembunyikan senyum yang mengembang di wajahnya. Laiknya bunga yang bermekaran di sekitar mereka. Kuning, merah, dan warna-warni—perasaan Petra tiap minggu berduel dengan pria di hadapannya. Menyarungkan kembali pedangnya, Petra mengulurkan tangan. "Itu kemenangan keenam puluhku, Ed."
"Seharusnya Kolonel Reyes mencarikan pasangan duel yang mampu menyaingimu."
Edward menerima uluran tangannya. Petra tidak berhentinya mengagumi perbedaan ukuran telapak tangan mereka. Perbedaan kekuatan yang kentara. Petra seringkali merasa Edward membiarkannya menang. Edward, tiga tahun lebih tua darinya dan calon anggota Korps Istimewa Reibeart. Divisi prajurit paling disegani, nama yang rakyat Reibeart sambut dengan sorakan paling kencang. Masing-masing anggota dipilih serta dinilai secara pribadi oleh pemimpinnya, Legenda Reibeart, panutan Petra, pamannya sendiri. Gideon Christopher of Reyes.
Pamannya itu tahu potensi yang dimiliki Petra, melatihnya berduel dengan calon anggota korps, kendati ibunya, sang ratu, melarang mati-matian. Bukankah seni itu perdamaian, Petra? tanya ibu suatu sore sembari merawat bengkak di wajah Petra, matanya cemas lebih dari apapun. Membujuknya dengan slogan Kerajaan Reibeart: ars est pax—seni adalah perdamaian—, berharap putri sulungnya itu berhenti pulang membawa memar baru. Petra menangkup tangan ibunya, tidak akan ada yang melindungi perdamaian jika tidak ada seorang pun mengayunkan pedangnya, Ibu.
Tapi, kau anakku, jawab ibunya. Garis dekat mulutnya mengerut tidak senang.
Saat itu Petra tidak lagi kuasa menjawab, takut menyakiti hati ibunya. Petra, lebih dari apapun, tahu bahwa lidah merupakan bilah yang lebih tajam dari pedang sekalipun. Ia ingat dongeng tentang penyihir yang mengutuk seorang putri; sebagaimana lidah seseorang dapat menimbulkan kehancuran yang sangat berarti. Merenggut kebahagiaan. Luka yang nyata akan selalu sembuh, tetapi luka tidak kasat mata membusuk bersama pemiliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PETRA
FantasyBakat dan kemampuan semata tidak cukup memuaskan orang-orang di sekitarnya... Petra Alexius of Reyes, putri sulung Kerajaan Reibeart hanya memiliki dua tujuan dalam hidupnya. Pertama, ia akan melindungi seluruh keluarganya, Ayah, Ibu, saudaranya--da...