"Aaa!" Rhevan terperanjat, ia terbangun dari tidurnya.
Semua orang di sekitar yang menyaksikan ikut tersentak di sepersekian detik teriakan Rhevan. Kemudian mereka semua sama tertawa, sedangkan seorang guru yang juga ikut menyaksikan kejadian itu kontan bersedekap dan menatap ke arah Rhevan. Seorang guru wanita dengan rambut dikucir dan kacamata membingkai indra penglihatnya yang terkesan angkuh.
"Apakah sebegitu membosankannya pelajaran saya sehingga kamu bisa tidur di kelas saya?" Sang guru menatap tajam Rhevan.
Sedangkan Rhevan hanya tercenung, tergugu, ia masih menerka apa yang sedang terjadi, dirinya masih setengah sadar dan mencoba merangkum apa yang dialaminya beberapa menit yang lalu.
"Ma ... maaf, Bu," jawabnya singkat.
"Keluar!" Rhevan terperanjat. Ia menegakkan badannya, beranjak dari duduknya lalu keluar ruang kelas dengan langkah berat. Beberapa dari siswa yang terus memerhatikan Rhevan saling ejek, beberapa hanya memandang dalam diam, dan beberapa tak peduli ; memilih untuk tetap sibuk dengan dirinya sendiri.
Di saat yang sama Cahaya yang duduk di deretan meja tepat di samping meja Rhevan, sedang menopang dagu dengan sebelah tangan terus memperhatikan anak laki-laki yang tengah melintasi dirinya. Pandangan Cahaya tak beralih sedikitpun pada anak laki-laki dengan potongan rambut di atas tengkuk, kulitnya seperti kebanyakan orang asia pada umumnya, hanya saja dia terlihat lebih bersih. Wajah kesal Rhevan membuat Cahaya menyunggingkan senyum kontan terkekeh hingga ia menunduk, menyembunyikan wajahnya.
Rhevan melintasi ambang pintu, berdiri di koridor, ia menyilangkan dan menyampirkan tangannya ke railing koridor. Ia menengadah memandang ke arah langit biru dengan goresan awan putih.
"Tingginya ... langit," gumamnya sambil berpangku tangan. Tiba-tiba gawainya bergetar, Rhevan sudah menebak siapa yang menghubunginya. Rhevan melihat nama yang muncul di layar ponselnya. Ia sedikit gembira bahwa nama yang terbaca adalah orang yang sangat ia butuhkan sekarang ini.
"Ya, Ros, ada apa?" tanyanya singkat.
"Kok, malah nelpon di jam pelajaran, kan lagi belajar, apa kau kabur ya?"
"Aku dihukum, disuruh keluar ruangan sama Bu Sis." Terdengar suara kekehan dari seberang sana, membuat Rhevan mengernyit," jangan ngejek, aku habis mimpi tadi."
"Kau tertidur di kelas lagi?"
"Iya, akhir-akhir ini aku sering ketiduran, yang datang malah mimpi yang sama."
"Oke, kebetulan, kalau begitu pulang sekolah kau temui aku di rumah."
"Apa? Aku harus segera ke—" belum sempat Rhevan menyelesaikan kalimatnya, sambungan telepon telah terputus sepihak.
"Akh, dasar tukang perintah," gerutu Rhevan pada layar gawai yang kini telah menjadi hitam.
Rhevan kembali memandang ke arah langit biru dengan salah satu tangannya dilekatkan di atas dahinya, alih-alih melindungi matanya dari paparan sinar matahari yang menusuk. Sekarang gumpalan awan menghalangi cahaya matahari menyiram bebas ke bumi. Rhevan menghela napas.
Sepulang sekolah Rhevan berjalan menuju tempat parkir yang letaknya berada di depan sekolah agak menjorok ke sebelah timur. Rhevan mengucapkan salam perpisahan dengan teman-temannya.
"Oy, gue balik duluan, ya." Rhevan menjaraki teman-temannya.
"Loh, katanya mau ikut kita-kita?" tanya Dean sambil menampakkan wajah heran.
"Gampang, besok juga bisa, yoklah, gue balik, ada urusan, udah telat."
"Ya, sana." Dean mengibaskan sebelah telapak tangannya, memberi isyarat. Sementara, teman Rhevan yang lain ikut melambaikan tangan, ada yang sekadar tersenyum atau membalas salamnya.
Rhevan membalikkan badan dan segera melangkah, akan tetapi ketika tengah diperjalanan melangkah lebih menjauhi teman-temannya tiba-tiba sebuah suara menghentikan langkahnya. Sumber suara itu sekarang berada tepat di depannya.
"Kau mau membantu kami Rhe?" tanya Sita yang berdiri di samping Cahaya yang sesekali melirik Rhevan dengan malu-malu.
"Sorry, gue buru-buru."
"Ih, sebentar aja kok."
"Sorry, tapi gue harus—" Rhevan yang berbicara sambil melangkah untuk melintasi dua orang gadis yang berdiri di depannya ini tersergah oleh tangan Sita yang terbentang lebih dulu : alih-alih untuk mencegah Rhevan meninggalkan mereka.
"Kau tega, ya, Caya terluka tadi saat pelajaran olahraga. Kau harus menolongnya mengantarkan kami ke klinik. Kau bawa mobil kan?"
"Motor. Maaf sekali lagi gue buru-buru." Tak mau kalah, Sita lesat membentangkan tangannya kembali.
"Kalau begitu, antarkan dia pulang." Sita mengerling ke arah Cahaya kemudian, kembali menatap Rhevan.
"Ha!" Rhevan tersentak.
Benar-benar hari yang buruk.
YOU ARE READING
RELEVAN [Teen-fict]
Fiksi RemajaRhevan adalah seorang anak remaja yang ditinggal oleh kedua orang tuanya sejak kecil. Sesuatu keanehan mencuat dalam dirinya, ia mampu membagi sesuatu yang berasal dari dalam tubuhnya. Rosi disebut-sebut sebagai pengasuh Rhevan adalah seorang mahasi...