🌺🌺🌺Isma belum tidur saat mendengar derit pintu terbuka lalu tertutup lagi. Ia yang semula berbaring langsung terbangun, beringsut dan duduk di tepian tempat tidur sambil menunduk.
"Kamu belum tidur?" tanya Dito setelah menyalakan lampu kamar dan mendapati Isma masih terjaga.
"hem."
"Kenapa lampunya di matikan?" tanya Dito mendekati tempat tidur.
"Maaf. Saya tidak bisa tidur dengan lampu menyala." Dito bisa memahami hal itu karena memang kebiasaan keluarga perantauan yang akan tidur dengan mematikan lampu dan sumber cahaya lainnya.
Belum ada jaringan listrik yang masuk ke hutan membuat mereka harus berhemat dengan energi yang satu ini. Orang perantauan harus menggunakan mesin diesel untuk mengisi daya lampu tandon untuk penerangan saat malam sebelum mereka terlelap. Itu bagi yang mampu, dan bagi yang kurang beruntung hanya bisa ke rumah tetangga yang mempunyai dompeng (Mesin diesel) untuk ikut men-charger lampu atau ponsel mereka sekalian numpang menonton televisi karena menonton layar kaca nyatanya masih menjadi barang mahal di hutan belantara.
"Ayo, tidur!" Tanpa sungkan Dito naik ke atas kasur dan berbaring membuat Isma bingung harus berbuat apa. Gadis itu bukannya takut, tetapi rasa canggung harus berbagi ranjang itu yang mengganggunya.
"Tidurlah! Aku juga tidak akan ngapa-ngapain, kamu. Aku nggak bernapsu!" ketus Dito, meletakkan tangan kirinya di atas kening sambil tidur telentang.
Isma masih terima walau dalam hati terasa nyeri. Kalau boleh jujur, bukan ini yang ia harapkan, walau tanpa cinta, Isma ingin menjalani pernikahan itu seperti pernikahan normal lainnya. Saling melengkapi dan saling mengisi. Apalah daya sukanya hanya ada padanya tidak ada pada suaminya. Bisa dibayangkan menikah namun tidak diinginkan dan dia sudah maklum, pernikahan ini semata-mata sandiwara saja.
Isma bangkit dari pembaringan dan mengelar tikar pandan kecil yang biasa ia gunakan untuk sembahyang di lantai di sebelah tempat tidur. Gadis itu kemudian kembali ke arah ranjang mengambil bantal, dan kain jarik dari lemari pakaian dan dengan nyaman tidur di atas lantai beralaskan anyaman persegi panjang itu.
Memicingkan mata, segala gerak-gerik Isma di awasi Dito. Ada rasa iba di hati laki-laki itu saat melihat tubuh kecil itu meringkuk di lantai hanya beralaskan tikar pandan, tapi itu sudah kemauan istrinya, bukan? Tadi dia menawarkan diri tidur bersama namun Isma malah memilih tidur di lantai. Bukan salahnya?
Tidak mau ambil pusing, Dito segera menarik selimut dan memejamkan mata, menjemput mimpi.
🌺🌺🌺
Pukul tiga pagi, alarm alami Isma sudah berbunyi yaitu desakan ke kamar mandi untuk menuntaskan hajat. Sudah menjadi kebiasaan saat di Palembang selalu bangun jam tiga pagi menyiapkan segala peralatan dan perbekalan untuk menyadap getah, hal itu menjadikan Isma tidak akan bisa kembali memejamkan mata saat sudah jam tiga dini hari. Gadis itu melipat jarik yang semalam ia gunakan untuk selimut dan bergegas ke kamar mandi untuk bersuci menghadap Sang Khalik, karena waktu sepertiga malam adalah waktu yang tepat untuk bermunajat do'a.
Setelah selesai sembahyang, ia kembali bingung harus melakukan apa? Biasanya sebelum menikah, dia hanya akan berdiam diri di dalam kamar sampai suara subuh berkumandang tapi kini dalam kamar itu ada Dito, suaminya. Isma merasakan perasaan canggung yang tak mengenakkan. Subuh masih lama dan dia harus berdiam seperti patung sambil melihat tubuh lelap di atas pembaringan. Menyebalkan.
Isma menghela nafas. Tatapannya kembali ke atas tempat tidur tempat suaminya berbaring. Dari tempat ia duduk di pandanginya wajah maskulin yang sedang tengkurap dan wajahnya tertengok ke samping. Alis tebal dengan hidung besar, bibirnya agak gelap mungkin karena sering menghisap gulungan putih tembakau, badannya tegap dan tangannya pun terlihat kekar bisa Isma pindai karena Dito hanya memakai kaos oblong yang biasa digunakan saatnya bersantai. Tidak ada yang cacat dari wajah rupawan dan tubuh tegap suaminya, mungkin hanya sikap memaksanya yang menjadikan Isma harus terjebak dalam drama pernikahan yang menjadikan cela di mata Isma.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pebinor Bucin.(Sudah Tamat di Kbm-app)
Lãng mạnNamaku Radito purnama. Aku bukan pengusaha apalagi casanova. Aku seorang Arsitek yang sudah hidup berkecukupan. Usiaku 27 tahun. Usia yang cukup matang untuk berkeluarga namun aku masih bahagia sendiri. Cita-citaku bukan menjadi Arsitek, tapi karena...