Dich Beschützen = Melindungi mu.
***
Everlyvira Matthew yakin matanya tidak pernah melotot lebih lebar dari sekarang ini.
Awalnya, dokter muda berusia 21 tahun itu hanya berniat pulang setelah berjalan melewati hutan dari rumah pasiennya. Namun, niatnya itu berubah tatkala melihat sebuah gundukan mencurigakan berada diantara semak-semak belukar.
Gundukan mencurigakan itu, tiba-tiba bergerak membuat jantungnya hampir saja melompat keluar.
Ya Tuhan, apa itu hantu penghuni hutan ini?
Vira —nama panggilan dokter muda itu— bergidik ketakutan. Tubuhnya menunduk mencari apa saja di atas tanah yang bisa ia gunakan sebagai senjata. Dan pilihannya jatuh pada sebuah batang kayu yang cukup keras.
Batang kayu itu ia genggam erat-erat, langkahnya mengendap-ngendap mendekati gundukan itu dan saat ia hendak memukul gundukan itu, tubuhnya terjungkal ke belakang ditindih oleh sang gundukan mencurigakan yang ternyata merupakan perwujudan dari seorang pemuda.
"Don't move." Ucap pemuda itu mengancam.
Mata Vira membelak sempurna. Mulutnya ingin berteriak meminta pertolongan namun tangannya malah terangkat mengelus sisi pipi kiri pemuda itu dengan wajah syok. "Kau— si bocah pendek?!" Pekiknya dengan suara nyaring.
Sang pemuda menatap lurus pada si dokter muda yang berada dibawah tubuhnya. Pemuda itu kemudian teringat sesuatu. "Ah! kau si gadis cengeng itu kan?"
Begitu mendengar kata cengeng, Vira mempoutkan bibirnya kesal. Perempuan itu mencubit keras pipi sang pemuda namun tak ada ekspresi yang tampak di wajah datar itu. "Hei, apa kau tidak bisa lebih sopan pada ku, bocah pendek?"
Sang pemuda tidak menjawab. Ia segera bangkit dan menarik tubuh Vira agar berdiri.
Ck, masih sama pendiamnya. Bocah ini benar-benar tidak berubah.
"Hei bocah pendek! Apa yang kau lakukan di tengah hutan seperti ini?" Vira bertanya seraya mendongakan wajahnya menatap si bocah pendek yang nyatanya kini lebih tinggi darinya. Perempuan itu tidak sadar, ia hanya mencapai sebatas lengan pemuda itu.
"Pertanyaan itu lebih tepat untuk mu, nona."
"Oh, kau bisa sopan pada ku juga ruapanya?" Ujar Vira dengan wajah berbinar senang. Perempuan itu tampaknya lupa kalau tadinya ia sedang kesal.
"Pulanglah. Hari sudah gelap." Balas pemuda itu dan mulai berjalan meninggalkan Vira.
Kedua alis Vira saling bertautan. Ia tidak mengindahkan perintah sang pemuda. Malah sekarang sedang berlari mengejar langkah besar pemuda itu. "Tidak, tidak. Aku tidak akan pulang sebelum kau menjawab ku dan — hei! Kau terluka?" Vira memekik dua kali lebih nyaring dari pekikan sebelumnya. Mata perempuan itu kembali melebar melihat luka gores sepanjang 15 centi meter di sisi perut sebelah kanan sang pemuda. Luka itu lumayan dalam dan darah segar masih mengalir. "Ya Tuhan, jadi itulah alasan mu tertidur seperti gundukan di semak-semak itu?"
Sang pemuda meringis mendengar suara Vira. "Kau cerewet sekali. Pulanglah!" Hardik pemuda itu. Tiba-tiba rasa sakit di perutnya kembali terasa. Pemuda itu kewalahan, tubuhnya hampir saja limbung kalau saja ia tak bersandar pada sebuah batang pohon.
Secepat kilat, Vira langsung mendekati pemuda itu. Ia duduk tepat di sebelah pemuda itu. "Coba ku lihat luka mu." Katanya dengan wajah khawatir. "Aku akan membersihkannya, atau kau akan terinfeksi." Vira mengambil beberapa peralatan dari dalam tas medisnya. Dengan telaten, ia membersihkan luka pemuda itu dan memutuskan untuk menjahitnya. Sang pemuda tidak banyak berkomentar, hanya membiarkan Vira memberi pertolongan padanya. Tapi...
"Hehehe, aku lupa membawa obat penghilang rasa sakit. Bisakah kau menahannya selama aku menjahit?"
Sang pemuda menghela nafasnya. Dia menggeleng pelan masih dengan raut wajah yang sama —datar. "Apa kau benar-benar seorang dokter?"
"Ck! Tentu saja. Kau meragukan ku? Tidak sopan sekali!"
"Hutan ini merupakan jalan pintas tentara musuh. Kalau kau tidak ingin kita mati bersama, sebaiknya pelankan suara mu."
Vira tertegun dengan wajah ngeri, ia baru ingat kalau mereka masih di dalam hutan. Perempuan itu akhirnya melipat bibirnya rapat-rapat dan mulai mengerjakan tugasnya.
***
Malam terasa sangat sunyi dan dingin. Kabut mulai menutupi sebagian besar hutan, menambahkan kesan mencekam. Frand August, masih tidur bersandar di tempat yang sama. Di bawah pohon besar dengan luka di perutnya yang sudah tidak menganga. Pemuda itu, tiba-tiba terbangun ketika mendengar suara gesekan ranting patah. Ia mengeluarkan sangkur dari belakang tubuhnya namun memasukannya lagi tatkala merasakan keberadaan seseorang yang begitu familier baginya. Pandangannya menuju ke satu tempat, tak jauh dari tempatnya berada, mungkin hanya berjarak 100 meter.
Ck!
Ia berdecak, kemudian beranjak dari posisinya dan berjalan meninggalkan tempat itu.
Keras kepala!
Mendengus kecil, Frand berbelok pada jalan setapak di sebelah kiri. Dia memutar haluan untuk kembali ke tempatnya semula.
...
Vira keluar dari balik pepohonan, perempuan itu mendesah kesal tatkala kehilangan jejak sang pemuda yang sedari tadi di kuntitnya. "Kemana perginya? Cepat sekali." Ia bergumam.
"Bukankah sudah ku bilang untuk cepat pulang setelah menjahit luka ku?"
Vira berjengit dari posisinya. Gadis itu bahkan membalik tubuhnya dan melompat ke belakang. Jantung ku!!
"Astaga! Kau mengagetkan ku." Cengiran terlihat di wajahnya. Kedua tangannya ia sembunyikan di punggung seraya bersiul kecil seolah tidak melakukan kegiatan yang mencurigakan. Bibirnya lalu mengerucut, matanya ia alihkan dari tatapan mata setajam elang milik pemuda dihadapannya. Aku ketahuan! Bagaimana ini!
"Jadi, aku sedang tidak menguntit mu. Sungguh!" Kata Vira dengan wajah polos. Ia menggambar salib di dadanya tanda bahwa ia tidak berbohong —walau nyatanya, memang berbohong. Ia menguntit pemuda itu untuk dua alasan; Pertama, dia masih mengkhawatirkan kondisi pemuda itu. Kedua, begitu ia telah selesai menjahit luka sang pemuda, hari sudah sangat gelap. Ia ketakutan untuk pulang dan memutuskan agar tinggal di dekat pemuda itu, menunggunya bangun dan meminta untuk di antarkan pulang.
"Aku kebetulan lewat untuk kembali ke rumah pasien ku —lagi. Ada barang ku yang ketinggalan di sana."Frand semakin menatap tajam ke arah Vira. Pemuda itu melipat kedua tangannya di depan dada. "Nona, kau sangat payah dalam berbohong."
Vira mengangkat kedua tangannya di depan dada. Dia memggoyangkan kedua tangannya. "Tidak, tidak, kau salah paham! Aku be..."
"Ayo, ku antar pulang." Sela Frand. Ia sudah tahu gadis itu berbohong dan dengan sifat minim ekspresi dan irit bicaranya, Tentulah, ia lebih memilih mengalah.
Vira lagi-lagi tersenyum. Ia merasa lega karena pemuda itu tak membantah kata-katanya. "Terimakasih."
***