Prolog

3 1 0
                                    

Halo, Guys ...
Kali ini aku bawa cerita baru, nih.
Tenang aja, yang Dinding Pembeda akan tetap lanjut, kok.
Tapi, ini sama ini bakalan hiatus sementara.
Nah, ini kalau ada yang baca, aku bakalan up dua bab sekaligus.
Selamat membaca!

••••

“Rifdah! Tunggu, Rif!” seseorang dari kejauhan memanggil nama Rifdah sambil sedikit berlari memecah kerumunan anak kampus yang berbondong-bondong mau pulang ataupun mampir ke suatu tempat. Orang yang merasa dipanggil pun menoleh ke sumber suara lalu berhenti sejenak menunggu hingga yang memanggilnya sampai.

“Kenapa? Pelan-pelan aja bisa kalik,” ujar Rifdah. Ternyata orang itu perempuan. Perempuan itu memegangi lutut sambil mengatur nafas.

“Udah?” tanya Rifdah setelah perempuan itu berdiri tegak.

Perempuan itu mengangguk. “Nih, ada titipan,” ujarnya sembari menyerahkan sebuah kertas yang dilipat tidak beraturan sehingga terlihat diremas-remas.

“Apa ini?” tanya Rifdah membolak-balikkan kertas itu, berharap ada petunjuk.

“Aku nggak tau. Yang jelas, kamu harus buka pas udah sampai di rumah atau di tempat-tempat sepi. Oke?” jelas perempuan itu.

“Makasih, Am. Emang ini dari siapa?” tanya Rifdah lagi.

“Dari ... em, dari ... dari seseorang pokoknya. Udah ya, dadah ...” Am pun meninggalkan Rifdah sendirian tenggelam dalam kebingungannya.

“Ini apa, ya?” Rifdah bermonolog. Tidak biasanya Rifdah menerima surat seperti ini.  Bisanya kalau ada yang penting pasti langsung chat pribadi. La ini?

••••

“Ini apa, sih? Kok aku jadi takut, ya? Gimana nanti kalau ada guna-gunanya? Ih, jangan sampek, deh!” Rifdah malah semakin mengada-ngada. Ditatapnya tajam terhadap kertas itu. Takut, penasaran dan heran tercampur aduk sedemikian rupa. Bagaikan es campur, tetapi kalau ini tidak terasa nikmat.

“Buka aja kalik, ya? Tapi kok ngeri, ya? Aku ajak Ta aja gimana? Boleh, deh!” Rifdah pun berjalan ke luar kamar mencari Tary yang memang sedang main ke rumah.

“Ta!” teriak Rifdah sambil celingak-celinguk.

“Apa?!” sambut Tary dengan teriakannya yang cempreng.

“Nah, itu dia,” ujar Rifdah saat melihat Tary sedang mantengin laptop serius. Lalu Rifdah menggenggam erat kertas itu sambil berjalan ke arah Tary.

“Temenin aku, yok!” Rifdah menarik tangan Tary menjauh dari laptopnya.

“Eh, eh, mau kemana?” tanya Tary sedikit memberontak.

“Nah, duduk sini!” Rifdah mendudukkan Tary di halaman belakang.

“Nih, kamu bantu bacain, dong. Aku takut tau!” Rifdah mulai duduk di samping Tary.

“Ih, apaan tu? Kok kayak lucu gitu?” Tary malah menahan tawa.

“Iihh, diem! Aku mau fokus! Kamu tunggu sini, aku baca!”

“Lah, aku cuman nemenin doang gitu? Iddih, jadi nyamuk dong?”

“Ya enggak lah, Ta. Kamu tetep jadi manusia kok. Kalau mau jadi nyamuk, aku akan ninggalin kamu di sini. Aku juga takut kalau digigit.”

Tary menatap cengo ke Rifdah. Bisa-bisanya Rifdah bicara sedemikian. Sedangkan Rifdah mulai fokus dengan kertas itu.

“Ekhem.”

Assalamu'alaikum, Bu Guru ... hehe ...

Ini ada sepatah kata dari muridmu yang tidak pernah pintar ini, tapi terlalu pintar tentang ...

Ah, Bu Guru pasti tau sendiri, 'kan? Hehe ...

Langsung aja ya, Bu ...

Aku mau pamit pergi sementara. Sementara doang kok. Nanti kalau kangen, Bu Guru bisa kirim surat lewat kantor pos.

Emang, sih, lewat surat-suratan sekarang udah nggak jaman. Yang jaman ya langsung chat pribadi. Tapi aku tidak menerima chat pribadi. Haha ...

Sebenernya aku hanya ingin ijin dulu mau cuti belajar. Boleh, 'kan?

Oh iya, bentar lagi Bu Guru lulus, 'kan? Selamat, ya ....

Makasih atas ilmunya selama ini, atas pengalamannya selalama ini, hingga aku bisa tembus 5 semester.

Sayangnya aku harus pindah karena ada keperluan mendesak, Bu Guru ...

Aku nggak bisa ngejelasin itu apa. Yang jelas, itu demi Bu Guru juga.

Maafin atas segala keaalahanku, ya?

Kalau Bu Guru bener-bener kangen sama aku, Bu Guru yakin aja kalau aku akan kembali dalam keadaan aku jadi milik Bu Guru dan Bu Guru jadi milikku..

Ah, ini terlalu konyol!

Aku dan Bu Guru kan lebih tua aku, tapi kenapa lebih peka Bu Guru?

Nggak perlu dijawab, Bu ....

Terimakasih atas waktu yang Bu Guru berikan untuk membaca surat ini ...

Dari orang tertampan di dunia dan orang terberuntung karena memiliki guru seperti Bu Guru.

Sekian, terimakasih ...

Wasaalamu'alaikum ...

Jawab! Nggak jawab dosa loh!


“Wa'alaikumsalam, Rozin. Aku harap begitu.”

Bulir bening membasahi pipi Rifdah. Dirinya benar-benar tak terima jika Rozin pergi. Ada rasa benci di hati kecilnya. Terlebih lagi mengingat semua kenangan manis-pahit yang dialami bersama.

“Loh, Rif! Kenapa nangis? Kertas ini jahat, ya? Siapa yang ngasih? Hem, minta digecek-gecek nih?!” Tary malah heboh sendiri.

“Nggak pa-pa. Aku masuk dulu, ya?” tanpa ijin dari Tary, Rifdah langsung masuk kamar.

Bu Guru yakin aja kalau aku akan kembali dalam keadaan aku milik Bu Guru dan Bu Guru jadi milikku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 08, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ghadar Tsumma 'UdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang