•••
"Seriously? Dia beneran nanya lo masih perawan atau nggak? Gila!" Anay berdecak tidak percaya.
Ibu hamil itu terus mengusap perutnya yang semakin membesar, berharap anaknya nanti tidak akan pernah bertemu dengan laki-laki bejat seperti Septian Pramudya dan Abraham Salim, mantan pacar Yaya. Abra ini jenis laki-laki bejat yang tingkat kebrengsekkannya satu tingkat di atas Tian.
"Then what do you answer?" Tanya Tian, setelah meletakkan satu cup es krim di depan Anay.
Yaya mengangkat bahunya acuh. "I said, I am not a virgin anymore dan dia langsung kabur ke toilet."
"Gue tebak, dia pasti nggak balik lagi." Tebak Anay.
Yaya mengangguk, tampak acuh tidak terlalu peduli. "Gue malah bersyukur karena nggak harus berurusan lagi sama dia."
Mendengar itu, Tian berdecak kesal. "Kalo dia beneran mikir lo itu cewek nggak bener gimana? Meskipun gue nggak begitu kenal sama dia, tapi gue tau banget gimana Abra kalau lagi ngumpul sama temen-temennya." Seru Tian ikut terbakar.
Tidak bisa Tian bayangkan jika Yaya, salah satu sahabatnya yang hidupnya lurus dan damai itu harus bertemu dengan si bejat Abra. Ya meskipun Tian juga tidak kalah bejatnya sih, tapi tetap saja Yaya terlalu baik untuk seseorang seperti Abra. Untungnya hubungan mereka kandas di tengah jalan.
"Ya udah sih, biarin aja. Gue nggak peduli kalaupun dia mau ngomongin gue di belakang. Dari dulu, lo berdua tau sendiri kan? I don't care what people say about me. I only have two hands to cover my ears. That's it and done." Ujar Yaya sembari mengangkat kedua tangannya lalu menutup telinganya.
Tian ikut mengangkat kedua tangannya, "Dan lo punya dua tangan tambahan untuk rontokin gigi Abra, kalo dia berani ngomong macam-macam."
Anay mengangguk menyetujui, meski sibuk dengan es krimnya Anay tetap setia mendengarkan. Anay menepuk pelan lututnya, menarik atensi kedua sahabatnya itu.
"Dan lo punya satu lutut tambahan untuk menyapa masa depan si Abra, kalo dia berani ngapa-ngapain lo."
Jangan ragukan kekuatan lutut Anay yang sudah beberapa kali menyapa masa depan lawannya, Tian sendiri heran dari mana Anay mempelajari gerakan mematikan itu.
Tapi mengingat saat ini Anay sedang hamil besar, tidak mungkin mereka harus mengikutsertakan Ibu hamil. Apalagi di usia kehamilannya yang memasuki sembilan bulan, Anay terlihat jauh lebih berisi. Dan meskipun perutnya semakin membesar, Anay tidak pernah berhenti bergerak. Kadang Anay sering lupa diri kalau di dalam perutnya ada sebuah nyawa yang harus dia jaga. Tidak heran kenapa Argan yang dulunya cool itu bisa dua kali lipat lebih rempong dari pada ibu-ibu komplek. Setiap kali menjemput Anay, Tian wajib mendengarkan kultum yang di sampaikan oleh Argan sebelum membawa Anay bersamanya.
Ngomong-ngomong soal Ibu hamil, apa mungkin Ibu hamil itu masih bisa mengangkat lututnya?
"Kenapa cuma satu?" Tanya Yaya heran.
Anay sedikit menarik ujung dressnya ke atas, memperlihatkan kedua kakinya yang membengkak.
"Lo nggak liat, kaki gue udah segede gajah gini?"
"Ya, lo kebanyakan jalan sih. Orang kalo udah hamil gede ya diem di rumah, Nay. Siapin diri buat lahiran, siapin mental juga. Kesehatan harus di jaga..."
Dan bla bla bla.
***
"Selamat siang, ada yang---" lidah Deelara mendadak kelu, selama sekian detik keduanya hanya diam saling menatap satu sama lain. Dan Deelara menjadi orang pertama yang mengalihkan pandangannya. Deelara tiba-tiba merasa gugup luar biasa, terlebih lagi ketika mendapati tatapan laki-laki itu yang masih tertujuh padanya. Tatapan yang cukup intens hingga membuat Deelara bergerak gelisah.
Deelara berdehem pelan, mengusir debaran aneh di dadanya. "Kamu ngapain disini?"
Sekali lagi, Tian menatap Deelara dengan tatapan yang tidak terbaca. Dari penampilan Deelara, Tian bisa menyimpulkan bahwa perempuan itu baik-baik saja setelah menghindarinya hampir seminggu ini. Berbeda dengan Tian yang justru di hantui berbagai macam pertanyaan tentang alasan Deelara yang tiba-tiba menjaga jarak. Satu minggu ini benar-benar kacau karena Deelara.
"Yan, kerjaan aku lagi banyak sekarang. Aku nggak bisa---"
"Sibuk?" Sela Tian.
Deelara mengangguk kaku.
"Sibuk menghindar dari aku?" Sindir Tian telak.
Dan Deelara diam di buatnya.
"Dua hari yang lalu aku kesini, kata Sania kamu nggak datang ke butik tapi aku liat mobil kamu perkir di depan. Kemarin aku juga kesini, dan lagi-lagi mereka bilang kamu nggak ada. Padahal aku jelas-jelas ngeliat kamu masuk ke dalam butik tiga puluh menit sebelumnya."
Tian maju beberapa langkah, menatap Deelara dalam jarak dekat. Lalu menyampirkan helaian rambut Deelara yang menutupi sebagian wajah cantiknya ke belakang telinga. Di tatapnya wajah perempuan yang sudah membuatnya rindu setengah mati itu.
"Kamu tau cara berkomunikasi dengan baik kan? Karena aku bukan cenayang yang bisa baca pikiran orang. Harusnya kamu bilang kalo ada sesuatu dari aku yang bikin kamu nggak nyaman. Satu minggu ini aku sibuk menerka-nerka isi kepala kamu. Apa yang sedang kamu pikirin? Apa yang bikin kamu tiba-tiba ngehindar? Apa aku udah bikin kesalahan tanpa aku sadari? Atau memang ini udah saatnya untuk berhenti?"
Deelara langsung menepis tangan Tian yang berada di wajahnya, perempuan itu lalu mundur satu langkah dan mengalihkan pandangannya ke segala arah. Kemana saja asal bukan ke wajah Tian.
"Ak-aku nggak ngerti apa yang kamu omongin. Sorry Yan, tapi aku harus---"
Tian menepuk puncak kepala Deelara sebagai jawaban dan hal itu sontak membuat Deelara tertegun. Menatap Tian penuh tanya. Terlebih lagi ketika melihat senyum dan tatapan tidak terbaca dari laki-laki itu.
"Oke, enjoy your time Deelara."
Setelah kepergian Tian, tubuh Deelara seketika melemas. Deelara memegang pinggiran meja untuk menahan bobot tubuhnya. Jantung Deelara berdetak dua kali lipat, matanya seketika memanas.
Dan bukan tanpa alasan Deelara merasakan itu, kata-kata Tian beberapa saat yang lalu terdengar seperti kata-kata perpisahan. Seakan mereka tidak akan pernah bertemu lagi dan seakan laki-laki itu akan berhenti mencarinya.
Dan entah kenapa Deelara merasa sesuatu di dadanya berdenyut nyeri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lifeline - Septian Pramudya
RomanceDengan gerakan pelan, Deelara berusaha menyikirkan tangan berotot itu dari perutnya. Lalu bergerak mengumpulkan pakaian dan dalamannya yang berserakan di lantai sambil menahan perih di bagian intinya. Setelah mengenakan semua pakaiannya, Deelara be...