Part 23

1.5K 145 0
                                    

Sinar matahari yang mengintip lewat celah tirai membuat Stefan menggeliat pelan dalam tidurnya. Perlahan ia membuka kedua matanya. Memandang ke samping. Kosong. Sepertinya Yuki sudah bangun lebih dulu. Bagaimana kabarnya sekarang? Pasti hatinya masih merasa sakit. Stefan bangun dari tidurnya lalu berjalan ke arah dapur untuk mengambil minum. Mata Stefan melihat sekilas ke arah meja makan. Sepiring nasi goreng dan segelas Moccacino tersaji di sana. Serta ada secarik kertas yang menyelip di antara nasi goreng dan Moccacino.

Nasi goreng spesial plus Moccacino ala Chef Yuki :)

Maaf, aku harus segera ke kantor. Ada meeting mendadak. Selamat pagi, My Sunshine :)

Begitulah yang tertulis di kertas yang ada ditangan Stefan saat ini. Stefan menarik kursi lalu duduk menikmati sarapannya.

"Dia udah pinter masak sekarang," gumam Stefan sambil tersenyum. Drrtt... Sebuah pesan masuk ke ponsel Stefan. Ia pun membuka dan membacanya.

Aku tunggu di bawah. Kita sarapan.

Sebuah pesan singkat dari Nasya. Seketika senyuman di wajah Stefan menghilang. Ia terdiam sejenak. Namun akhirnya ia memilih untuk menghabiskan sarapannya.

Di bawah sana, Nasya menunggu kedatangan Stefan dengan perasaan kesal. Sesaat ia teringat kejadian semalam. Ia bisa melihat betapa khawatirnya Stefan saat tidak menemukan Yuki. Dan yang lebih menyakitkan hatinya lagi, Stefan membawa Yuki ke dalam kamarnya.

Hampir satu jam Nasya duduk menunggu kedatangan Stefan. Namun lelaki itu belum muncul juga. Nasya menggeram kesal. Ia tidak tahan lagi, ia pun berniat akan menyusul Stefan ke kamarnya. Namun tak lama kemudian orang yang di tunggu akhirnya muncul juga. Dengan malas Stefan melangkahkan kakinya mendekati meja Nasya. Tatapan mata yang tajam dari Nasya tak lepas untuk Stefan. Lelaki itu kemudian duduk di hadapan Nasya.

"Kamu ngga baca pesan aku?" tanya Nasya dingin.

"Aku tadi lagi mandi." jawab Stefan pendek. Nasya memandang Stefan kesal.

"Ayo, kita makan." ujar Nasya.

Stefan tidak bergeming. Ia tetap diam. Ia hanya melihat makanan yang ada di piringnya. Nasya melirik ke arah piring Stefan yang tidak ia jamah. Nasya meletakkan sendok makannya.

"Kenapa ngga dimakan?" tanya Nasya kesal.

"Aku udah kenyang. Kamu..."

"Jauhi gadis murahan itu!" desis Nasya tajam memotong kalimat Stefan. Mata Stefan menatap Nasya tajam.

"Udah aku bilang, dia bukan gadis seperti itu!" ujar Stefan tegas. Nasya tersenyum miring memandang Stefan.

"Kamu tahu kan, aku akan ngelakuin apa aja untuk mendapatkan apa yang aku mau." ujar Nasya.

Sejenak Stefan teringat kejadian dua tahun yang lalu. Saat itu Nasya mencoba untuk bunuh diri dengan cara memotong nadi di pergelangan tangannya. Hal itu terjadi karena Stefan menolak ajakan Nasya untuk pergi liburan ke Jepang. Semenjak kejadian itu, Nasya selalu memaksakan kehendaknya. Hingga acara pertunangan itu pun tidak bisa ditolak oleh Stefan. Karena ia tidak ingin Nasya nekat menghabisi nyawanya sendiri.

"Jangan pernah ngelakuin hal bodoh lagi." ujar Stefan dingin.

"Aku akan ngelakuinnya kalau kamu ngga mau jauhin gadis murahan itu." ujar Nasya.

"Nasya!" bentak Stefan.

"Apa!" bentak Nasya tidak mau kalah. Ia semakin menatap Stefan tajam. Stefan membalas tatapan itu, namun akhirnya ia mengalah.

"Aku akan jauhi Yuki. Kamu jangan macam-macam. Lusa kita kembali ke Jerman." ujar Stefan seraya beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkan Nasya. Nasya tersenyum lebar, ia berhasil membujuk Stefan untuk menjauhi Yuki.

= * =

Yuki sedang duduk di ruangannya. Membaca berkas-berkas yang harus ia tandatangani. Sejenak ia teringat peristiwa semalam. Stefan akan bertunangan dengan .gadis itu. Yuki menghempaskan tubuhnya ke belakang kursi.

"Ada apa? Kamu terlihat sangat kacau pagi ini." ujar Verrel yang duduk di sofa sambil mengerjakan tugasnya.

"Terlihat jelas ya," ujar Yuki sambil terkekeh geli. Verrel tertawa kecil mendengar jawaban Yuki.

"Sangat jelas. Ada apa? Semuanya baik-baik aja kan?" tanya Verrel yang menatap Yuki serius. Yuki memandang Verrel sekilas.

"Dia mau tunangan. Dan akan segera kembali ke Jerman." ujar Yuki pelan. Verrel melepaskan berkas yang ada di tangannya. Kini ia serius mendengarkan Yuki.

"Terus?" tanya Verrel lagi.

"Aku ngga bisa bohong. Dia sangat berarti dalam hidup aku. Kehadirannya seperti sinar matahari yang menerangi kegelapan hati aku." ujar Yuki. Lalu ia tertawa kecil.

"Aku rasa kalimat tadi sangat berlebihan." ujar Yuki sambil tersenyum geli. Verrel menarik napas pelan.

"Sayang Nino udah nolak saya. Ditambah lagi saya sebentar lagi akan menikah. Kalau ngga, udah saya lamar kamu hari ini." ucap Verrel sambil tertawa kecil. Yuki tertawa mendengar rayuan gombal Verrel.

"Kamu selalu aja bisa bikin aku tertawa, Rel." ujar Yuki sambil tersenyum kecil.

= * =

Yuki dan Verrel tiba di cafe Gio. Mereka berencana untuk makan siang disana. Tapi suasana cafe Gio sangat ricuh. Seperti ada keributan. Yuki dan Verrel pun bergegas masuk ke dalam. Keduanya berdiri mematung saat melihat pemandangan adegan kekerasan di depan mata mereka. Max sedang berada di atas tubuh Stefan. Lelaki itu sedang memukul Stefan habis-habisan. Yuki bergegas lari mendekati mereka. Mata Yuki membulat sempurna saat melihat kondisi Stefan yang sudah babak belur. Penuh lebam diwajahnya. Yuki memandang nanar setiap pukulan yang mendarat diwajah Stefan tanpa perlawanan.

"Max...berhenti," ucap Yuki dengan suara bergetar. Max tidak peduli. Ia terus menghujani Stefan dengan pukulannya.

"MAX STOOOP!" pekik Yuki.

continue...

Our DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang