❝𝑩𝒊𝒍𝒂 𝒕𝒂𝒘𝒂, 𝒄𝒂𝒏𝒅𝒂, 𝒅𝒂𝒏 𝒃𝒂𝒉𝒂𝒈𝒊𝒂 𝒅𝒊𝒄𝒂𝒎𝒑𝒖𝒓 𝒓𝒂𝒕𝒂𝒌𝒂𝒏, 𝒔𝒆𝒑𝒆𝒓𝒕𝒊 𝒂𝒑𝒂 𝒓𝒂𝒔𝒂𝒏𝒚𝒂? 𝒂𝒑𝒂 𝒌𝒂𝒖 𝒕𝒂𝒉𝒖 𝒅𝒊 𝒎𝒂𝒏𝒂 𝒂𝒌𝒖 𝒃𝒊𝒔𝒂 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒆𝒍𝒊𝒏𝒚𝒂?❞-𝑰𝒏𝒂-
➳༻❀✿❀༺➳
"Tidak bisakah kau bunuh aku saja?" Lirih seorang yang mendekam di bawah sosok tegap dengan rotan digenggamannya, seluruh kekuatan dan ketegaran dalam dirinya sudah di tapal batas, kepala yang menunduk lemah dengan bulir mata yang selalu tergelincir keluar, si tubuh tegap manatap tak acuh, amarahnya tak kurang setetes pun.
"Tidak, Ina. Kau sempurna, bagaimana bisa aku membunuhmu?" Puji sang tubuh tegap, ditatapnya lembut sang manik dengan jiwa yang sedang bergetar ketakutan.
Jemari yang sudah menelusuri tengkuk lehernya, membuat dua pasang mata itu saling bertatap, "apa aku sebegitu menakutkan di matamu, Ina? Biar aku memberi tahumu sesuatu, ada dua hal yang sangat terpenting di dunia ini, kau tahu apa? Yaitu kekuasaan dan uang. Bukankah kau dulu yang menggodaku dengan tatapan sok lemahmu itu? Apa kau sekarang nenyesali perbuatanmu?"
Ia melepaskan cengkraman itu, menggelengkan kepalanya menolak pertanyaan sang dominan "Aku senang bertemu denganmu, tuan. Pada hari itu mulutku tak henti-henti tersenyum, akhirnya aku mempunyai keluarga... Mempunyai orang yang selalu ada untukku, aku tak pernah menyesali hal itu," kaca-kaca mulai terpantul dalam manik Ina, tatapan berpindah pada mata elang yang sedang mengawasinya, bulir mata seakan melukiskan betapa pedihnya sang hati, pada hari ini ia berjanji tetap akan menuruti.
•••
Pagi yang sama dengan hari sebelumnya, dimana buaian gelak tawa juga dentingan sendok dan piring yang saling beradu, mengiringi proses sarapan pagi sebuah keluarga, kursi tengah ujung kanan diduduki oleh seseorang bernama Erlangga, sang kepala keluarga. Seorang yang berwibawa, loyal, dan berkarisma. Kaki jenjang dan jas biru dongker yang ia kenakan, seakan menambah kesan tersebut. Mulut tebal sembari mengukir sebuah lengkungan, melihat istri dan anaknya menikmati sarapan pagi. Kedua dunianya itu terlihat lahap menyantap hidangan yang tersedia, sesekali mereka melempar senyuman satu sama lain.
Persis di ujung depannya duduk seorang yang mengucapkan janji suci bersamanya, kulit mulus dengan bibir merah cerah, kalung mutiara yang bertengger di leher panjangnya, baju yang sedikit terbuka memamerkan celah bahu ramping, tubuh tegap bersama tangan lentik menggenggam anggun sendok dan garpu, tak lupa rahang tegas nan angkuh tak pernah luput dari parasnya. Angkuh sudah menjadi nama tengah dari Carolina Azima. Mungkin itu sebabnya Erlangga tergila-gila dengan orang satu ini.
Di tengah jarak semua itu, duduk seorang anak kesayangan kedua orang yang sudah terikat janji. Amanda Kurnia Erlangga. Anak bungsu dari keluarga Erlangga. Dia cantik, rambutnya terurai panjang, hidung yang sedikit mancung mengikuti sang Carolina, pipi yang gembil menambah kesan imut, tinggi semampai melewati Erlangga, dia jago dalam bidang olahraga, basket lebih tepatnya. Setiap pertandingan basket yang ia ikuti pasti selalu mendapat juara.
•••
Saat semua orang sibuk dengan hidangan yang tersaji, Amanda malah mengajukan sebuah pertanyaan, pertanyaan untuk sekedar menguraikan keheningan tak ada niat lain, "Ina mana yah?" Tak tau segaris pertanyaan itu membuat Erlangga gusar "tak usah banyak bertanya tentang gadis itu, makan saja hidanganmu!" Penjabaran kalimat yang terucap oleh Erlangga sukses membuat Amanda kembali ke posisi awalnya "baik, ayah,"
Anak yang disebut oleh Amanda bernama Ina. Ina Wanda Erlangga, anak tertua dari keluarga Erlangga. Sosok yang bisa terbilang cantik dengan kulit putih berseri, langsung menciptakan muka yang polos dan lugu, ditambah tahi lalat yang nangkring di bawah matanya. Wajah yang cantik seolah tak cukup hanya untuk menggambarkan sosok Ina, dia juga sosok yang selalu berprestasi di sekolahnya, tak heran karna prestasinya, Ina selalu menjadi dambaan sekolah untuk dipercaya mengikuti berbagai kegiatan organisasi atau perlombaan. Sangat sempurna mereka bilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐍𝐢𝐫𝐦𝐚𝐥𝐚.
General FictionSuara tangkai kaki bergema di sebuah lorong gudang tak terpakai, dua buah telapak kaki dibalut oleh sepatu pantofel bercorak kayu jati, panjang kakinya dengan tubuh tegap melangkah selaras dengan bayang amarah, dasi bergaris biru muda dan tua melili...