Aku akan menjadi wanita yang lebih baik dengan semua ini. Tidak akan menjadi bodoh untuk kembali dibodohi dan disakiti. Karena aku adalah Im Yoona.
🍀
"Yoon berhentilah bersikap menyedihkan. Dunia belum kiamat. Astaga...... Kau membuat rumah kita berantakan dengan tissu-tissu becek karena air mata dan ingusmu itu. " teriak Kim Nari begitu keluar dari kamar mandi dan mendapati Yoona yang masih terbaring dengan kondisi merana. Sprei dan selimut acak-acakan hampir tak berbentuk. Tissu bertebaran dimana-dimana.
Berkacak pinggang, mendengus kesal menatap sahabat juga teman satu rumahnya itu dengan pandangan menyedihkan. Bukannya bersimpati justru Nari menatap sebal terhadap Yoona. Dia sangat tau jika sahabatnya saat ini sedang sangat down karena baru saja putus dengan pacarnya yang ingin dia nikahi, sekaligus juga dipecat dari pekerjaannya, yaa...karena ulahnya juga. Pasalnya Nari memang tak begitu menyukai pekerjaan Yoona. Yoona masuk di kantor itu juga hanya karena mengikuti pria yang sudah menjadi mantan kekasihnya, terlebih mengetahui betapa brengs*k pria yang selalu di elukan Yoona, padahal perilakunya sangat minus dibelakang Yoona.
Nari memang sudah sejak dulu mengetahui sifat dari Minho - mantan kekasih Yoona, hanya saja selama ini Yoona tak pernah percaya apa yang dikatakan Nari. Sebelum akhirnya melihat dengan kedua matanya sendiri.
"Yak nona Kim. Semua salahmu. Aku di dipecat gara-gara kamu. Dan aku putus dengan Minho juga gara-gara dirimu. Pokoknya semua gara-gara dirimu. " Yoona kembali meraung, bergelung dengan selimut yang sudah acak-acakan, menangis sejadinya.
Nari berdecak, kembali menghembuskan napas jengah karena bosan dengan kata-kata yang sejak semalam keluar dari bibir Yoona. Menggeleng tak tahu lagi mau berkata apa. Melihat tampang sahabatnya yang sangat berantakan seperti itu juga membuatnya sedih. Tapi itu lebih baik sebelum semuanya berjalan terlalu jauh.
"Baiklah, semua salahku. Aku sudah mengatakan padamu sebelumnya tapi kau tak pernah percaya padaku, Yoon. Sekarang kau tau sendiri bukan, bagaimana kelakuan pria yang selalu kau banggakan itu?" ucapnya lagi santai, sambil memilih baju dari lemari miliknya.
"Yak Kim, diamlah, bisakah kau tak membahas pria brengs*k itu. " teriak Yoona. Lagi-lagi Nari hanya bisa menarik napas dalam. Baiklah. Semua memang kesalahannya. Tapi apakah orang putus cinta jadi se-sensitive ini.
"Terserah Yoon, lebih baik aku pergi bekerja dan bertemu dengan boss tampanku daripada melihat wajah menyedihkanmu itu. "
Memang Nari lah yang membuat Yoona dipecat dari pekerjaannya, toh dia memang sengaja menyisipkan foto itu. Tapi wajah Nari tidak menunjukkan penyesalan sama sekali. Nari hanya ingin menyadarkan Yoona dan menjauhkannya dari pria hidung belang bernama Minho.
"Sudahlah Yoon, bersihkan kotoran tissu yang berceceran itu. Dan mandilah. Aku salah, aku mengakuinya. Sebagai gantinya aku akan mentraktirmu. Sepuasmu. "
Yoona menegakkan tubuhnya jadi terduduk, rambutnya berantakan begitu juga wajahnya. Membuat Nari kembali menggeleng tak percaya saat menatap kearah Yoona. Menarik tisu lagi dari kotak dan menyumpalkannya ke hidung sambil menatap Nari yang tengah sibuk merapikan setelan blus yang dia kenakan.
"Kau menyogokku? ""Kau tak mau? "
Jawab Nari enteng, mengambil sepatu heels abu fomalnya yang serasi dengan setelan yang dia pakai. Memakainya dan menatap Yoona. Tatapan simpati tanpa dosa."Tentu saja aku mau. Kau bukan orang yang akan mentraktirku dengan mudah. Aku akan membuatmu miskin untuk membayar semua perbuatanmu padaku. "
"Hah? Kau akan membuatku miskin? Mau balas dendam karena uangmu dihamburkan untuk gadis simpanannya??? Oh poor Yoona." ejek Nari. Dan mendapat tatapan penuh api dari Yoona. "Baiklah kita bertemu setelah aku pulang kerja. Aku pergi dulu dan akhirilah acara menyedihkanmu sebelum bertemu denganku nanti. Jika kau masih memasang tampang seperti itu, aku tak akan jadi mentraktirmu. Aku pergi.... "
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVE AGAIN
Fiksi PenggemarTak ada kata kebetulan dalam sebuah pertemuan. Semua terencana atau memang sudah tersusun secara alami. Namun kembali dalam takdir yang menguasai dan mempermainkan. Tidak semenyakitkan itu, hanya saja memang tidak semanis yang diharapkan.