06 — darin's plans — Jangan dulu masuk, namun hati sudah membuka pintu.
"Karena mas Kala buatnya untuk orang yang special."
Darin tak dapat membalas.
Mengangkat rebusan pasta, lalu menuang sedikit rebusan pasta tadi ke dalam pan yang sudah tercium baru harum udang, smoke beef dan bumbu lainnya juga kimchi. Darin memperhatikan kelincahan Langit memegang alat dapur.
Diam-diam Darin mundur sudah tak ada disebelah Langit, tak berniat mengeluarkan suara lagi. Tubuhnya diam-diam duduk di kursi makan, seolah tidak merecoki Langit lebih baik.
Kepala Langit justru menoleh ke belakang setelah mematikan kompor. Untung Langit telah lama membeli gas elpiji. Darin sempat mempertanyakan tabung gas karena Langit hampir setiap hari makan bersamanya, mau siang atau malam, tetapi di pagi hari Langit memasak sendiri untuk sarapan.
"Kok diem?"
Darin cepat-cepat menggeleng. "Tadi ada chat masuk."
"Oh." Langit melanjutkan mengambil dua piring, membagi rata masakan yang sudah matang. "Ke pasar induk beli jeruk bali. Spageti kimchi ala chef Kala sudah jadi."
Darin tersenyum riang ketika Langit menaruh seporsi makanan dengan gaya seolah chef handal.
"Makasih." Darin mengambil garpu mulai menyicip. "Kamu pintar masak juga, ya?"
"Basic aja sih, yang penting tau bumbu dapur yang sering dimasak. Soalnya gua pernah ngekost saat kuliah, jadi basic life skill kayak gitu perlu. Karena makan kan kebutuhan hidup, ngga mungkin setiap saat gua beli terus andelin orang lain."
Darin setuju untuk opini tepat tersebut. Dan kini bersiap merasakan kenikmatan hasil olahan tangan Langit.
"How does it taste? Aneh?"
"This is good." Sekali lagi Darin menyuap kemudian berkata. "Iki bisa laris jual di restaurant atau kafe-kafe."
"Beneran enak?" Tingkat kepedean Langit makin naik level mendengar pujian Darin. "Tunggu sebentar." Langit memotong ucapannya sendiri sebab ponsel pintar Langit menampilkan notifikasi pop up WhatsApp. Mata Darin tidak sengaja lihat sehingga tahu. "Dar, sudah kasih tau ke bos mau cuti? Biar gua bisa cepet pesan tiket."
"Sudah, kamu kalau mau pesan untuk besok juga ayo."
"Wuih, semangat bener." Langit ikut duduk di kursi makan. Tangan besar Langit menaruh segelas air di samping hidangannya. "Kalau gua pesan tiket hari Kamis, bisa?"
"Makasih, Kala." Darin meminum sedikit sebelum menimpali. "Bisa. Untuk penginapan aku?"
Langit berkutat lagi pada layar gawai. Agaknya Darin gemas sendiri sebab Langit memegang garpu tapi matanya masih awas melototi layar tersebut. "Gua sudah dapat tempat penginapan yang cocok, semoga aja lo nyaman di sana. Habis makan gua kasih unjuk, nanti kita bisa langsung booking sekalian."
"Pira saben wengi?" Darin meletakkan garpu usai menghabiskan pastanya. Menanyakan harga penginapan yang Langit temui berapa per malamnya.
"Gua dapat per malam empat ratusan, lupa berapa totalnya, kalau pesan untuk seminggu, gua lupa catat. Udah makan dulu, habisin. Nanti lagi bahasnya."
Darin menurut kembali mengisi perut sembari bercakap santai mengenai barang-barang penjualan di Serbada juga macam-macam pembeli. Bahkan Darin menyindir pembeli yang membuat risih pada hari di mana sengaja berlama-lama di toko, malah kedapatan Langit sebagai pembeli terakhir. Padahal Darin sudah tutup buku saat itu. Cerita tersebut mengalir begitu saja membuat mereka flashback sedikit.

KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Satu Minggu Jakarta
Teen FictionRomansa metropolitan// Langit tidak selalu menampakan cerahnya, terkadang langit memunculkan awan mendung menemani manusia penuh harap. Seperti Langit Sangkala, ia menunjukan kalau laki-laki tidak selalu kuat, sebagai laki-laki juga bisa rapuh, juga...