BAB 4 - Supervisor

291 76 3
                                    

BAB 4

Supervisor

Tadi pagi, gue dimarahi habis-habisan oleh Daffa. Dia bahkan menendang kursi di gudang saking emosinya. Gue yang memang mengaku salah, hanya bisa tertunduk sambil menggigit bibir. Awalnya, gue nggak mau nangis di hadapan Daffa. Tapi ujung-ujungnya, pertahanan itu roboh. Gue nangis sesenggukkan. Daffa yang awalnya emosi, pada akhirnya mendekat dan ngusap punggung gue. Dia berkata pelan, "Makanya, lo harus lebih fokus kerjanya. Jangan ngelamun terus."

Setelah membuat gue nangis, ucapannya berubah pelan dan lembut. Tapi bukan gue kalau bisa berhenti nangis dalam sekejap. Isakkan gue malah makin keras. Mungkin Agus dan juga pembeli di depan mendengar isakkan itu. Peduli amat. Sesekali, gue pengin bikin Daffa malu. Gue pengin nunjukin kalau kepala toko di sini kejamnya minta ampun.

"Pea, gue minta maaf ya. Itu udah jadi tanggungjawab gue buat ngingetin anggota tim gue." Saat ngomong begitu, dia ikut berselonjor sambil melingkarkan tangan di bahu gue.

"Tapi lo bisa ngomong lebih pelan dan nggak usah pakek nunjuk-nunjuk gue. Gue bukan penjahat. Gue hanya kasir yang juga manusia biasa!"

"Ya udah, gue minta maaf." Daffa menggeserkan kepala gue ke dadanya.

Mimpi apa gue bisa dipeluk-peluk gini sama kepala toko super jutek itu?

Lebih dari setengah jam gue nangis. Daffa nungguin sampai isakkan itu benar-benar hilang. Gue nyesel banget saat sadar telah menangis di hadapan Daffa. Lo tahu? Meskipun Daffa meluk-meluk dan nenangin gue, ujung-ujungnya pasti ngeledek. Tunggu saja satu atau dua hari lagi. Dia pasti bilang, "Siapa ya yang kemarin nangis-nangis sampe setengah jam?"

Atau bilang kayak gini, "Baru seujung kuku kemarahan gue, si Pea udah nangis kejer begitu. Gimana kalau supervisor ya yang marahin dia?"

"Gus, lo jangan cengeng kayak si Pea ya. Males gue sama orang cengeng!"

Dan ucapan-ucapan menjengkelkan lainnya.

Kenapa sih, gue bisa tahu? Karena setahun lalu, gue juga pernah nangis oleh orang yang sama. Jadi masalahnya, ada customer yang belanja sambil narik duit dari debetnya sebesar 400 ribu di meja kasir. Parahnya, gue lupa input data ke komputer. Gue kasih dong uang tersebut ke customer, sementara uang di debetnya masih utuh. Gue baru inget setengah jam kemudian sehingga nggak bisa ngejar si customer.

Jelas gue dimarahin habis-habisan. Udah dimarahin, dibikin nangis, harus ganti rugi, ditambah gue jadi bahan ceng-cengan si Daffa. Setiap satu shift sama gue, pasti dia nyindir-nyindir soal kecerobohan itu. Kan bikin eneg. Makannya gue yakin banget, seminggu ke depan juga dia bakal ngelakuin hal yang sama. Mulutnya emang rada-rada dol. Nggak bisa direm.

Siang ini, gue udah kembali kerja seperti biasa. Daffa jadi agak pendiam. Mungkin dia mau ngasih waktu ke gue. Selama itu pula, dia lebih sering menghabiskan waktu di gudang. Dia sedang membereskan rak yang sebenarnya sudah rapi oleh Agus. Entahlah. Kepala mah bebas mau ngapain aja.

Soal supervisor yang bakal datang, ternyata beliau datang bertepatan ketika gue mikirin Daffa barusan. Jelas dong, gue berusaha menghilangkan semua sisa-sisa kesedihan tadi pagi. Supervisor yang memang kedatangannya tidak bisa diduga-duga, keluar dari mobil Kijang keluaran lama. Kalau lihat supervisor, gue dan yang lain sudah otomatis mengencangkan otot supaya terlihat fresh dan juga bersemangat.

"Gimana Ve, hari ini nggak ada kendala?" tanya Pak Sutono saat masuk ke dalam toko.

"Lancar, Pak," desah gue.

Hampir setiap supervisor yang sudah berganti-ganti lebih dari tiga kali selama gue kerja di sini, nyaris selalu mengulang pertanyaan yang sama ketika datang. Kalau enggak begitu, mereka nanya: returan udah diangkut?, atau: Ve, itu rambutmu berantakkan banget. Harusnya kamu dandan yang rapi dong, biar pelanggan nyaman.

Customer Sharelove (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang