Setelah satu tahun menjalin hubungan, aku tak lagi meminta untuk dibahagiakan. Bagiku ketenangan dalam menjalaninya sudah cukup. Aku sudah tidak berhasrat pada perhatian dan kemesraan yang diberikan kekasihku. Aku sudah menyerah meminta hal itu. Tak apa dia tak mengasihaniku. Aku tak boleh meminta lebih. Adanya dia dan masih menjalin hubungan bersamaku kurasa itu sudah cukup,” gumamnya sembari mengecek pesan dari kekasihnya. Perempuan itu tampak lusuh. Ia selalu mengharapkan kekasihnya yang jelas-jelas sudah merendahkannya.
Tepat pada tanggal 5 Juli 2017, perempuan itu mencoba menegarkan hatinya. Ia dicaci dan dimaki oleh kekasihnya. Ia berkata bahwa paha ayam di pasar lebih bernilai daripada dirinya. Perempuan itu sungguh tak habis pikir dengan ucapan kekasihnya. Sering sekali ia bertanya pada dirinya, “Apa yang kau harapkan pada kekasihmu yang bisanya menghinamu? Sampai kapan kau akan menahan rasa sakit itu. Tangismu sudah tak didengar lagi, jadi untuk apa kau masih ingin menjalaninya?”
Perempuan itu mencoba memberi jarak di antara mereka. Ia berhenti mencari tahu kabar tentang lelaki itu. Tak ada telpon, juga tak ada pesan yang menanyakan apakah perasaannya baik-baik saja. Dalam hati perempuan itu berkata. “Aku tak akan pergi jika masih kau cari. Namun, aku akan menghilang jika kau juga menghilang.” Perempuan itu berusaha menyeka air matanya lalu meneguk segelas air putih.
Sudah satu minggu kekasihnya tak mengabari Julia. Apa yang ia janjikan dalam hatinya terhapus begitu saja. Atas dasar takut kehilangan, ia mencoba menguhubungi kekasihnya via Whatsapp. Namun, ia terkejut saat tahu kekasihnya memblokir nomornya. Tanpa ragu lagi, perempuan itu mencoba mengirim pesan lewat akun instagram pada Arif, kekasihnya.“Nomorku diblokir lagi?” kebetulan, pada saat itu Arif sedang online sehingga ia tak perlu menunggu lama untuk menanti balasan darinya.
“Iya,” jawaban yang diberikan kekasihnya begitu ketus sehingga membuat sayatan baru di ulu hati perempuan itu.
“Kenapa?”
“Aku capek! Aku ingin mengakhiri hubungan ini!”
“Apa salahku?”
“Kau pikir saja sendiri.”
“Karena aku tak menghubungimu?”
“Syukurlah jika kau sedikit mengetahui kesalahanmu,”
“Kau tahu kenapa aku tidak menghubungimu?” perempuan itu mengirimkan screenshoot percakapannya dengan kekasihnya. Percakapan yang membuat perpisahan itu dimulai. Percakapan yang membuat derajat kepermpuanannya direndahkan. Perempuan itu menuliskan kembali pesan kepada lelakinya yang bertulisan. “Pernahkan kau bertanya kepada dirimu tentang apa yang kau lakukan padaku? Pernahkah kau bertanya pada dirimu, apakah kau sudah menghargai aku?”
Lelaki itu terlihat sedang mengetik. Kurang dari tiga menit pesannya pun muncul. “Sudahlah. Itu sudah berlalu, kau cukup berkata iya dan kita akan putus.”“Aku tak ingin mengatakan iya.”
“Aku tak peduli. Aku ingin putus denganmu.”
Perempuan itu mencoba menahan tangisnya. “Apa aku boleh telpon? Kita bicara baik-baik di telpon saja.”
“Tak usah, aku sudah tidak mau.”
“Baiklah,” perempuan itu menyerah. Dan ia berjanji kepada dirinya untuk tidak mengemis. Ia tak ingin derajatnya semakin rendah di mata Arif. Baginya saat itu, diam adalah hal yang lebih baik daripada melakukan sesuatu yang nantinya akan membuatnya semakin terluka.
***
Masih banyak yang bisa kulakukan. Matahari masih terbit dengan cerah. Tuhan masih memberi nafas untuk aku melanjutkan perjalanan menuju hal yang membahagiakan. Aku tak boleh menyia-nyiakan kesepatan ini. Ada hidup yang harus aku perbaiki. Setelah putus dengannya, banyak sekali hal yang kusadari. Banyak hal yang kusia-siakan kemarin, kini aku tak akan menyia-nyiakan hal itu lagi. Perempuan itu bergumam pada dirinya sediri pada saat ia menatap betapa indahnya senyum ibunya ketika bahagia melihat nilai IPK yang Ia dapatkan.
“Bagus, Nak! Ibu yakin kau akan menjadi orang sukses. Buktikan pada orang-orang yang ada kampung ini bahwa orang yang tidak sempurna juga layak sekolah tinggi dan sukses.” Pengelihatan sebelah kiri perempuan itu mati, dan pengelihatan sebelah kanannya pun cukup kabur, itu sebabnya ia menggunakan kacamata yang cukup tebal. Walau pun ia merasa kacamata itu tak ada perubahan terhadap pengelihatannya. ia tetap memakainya.
Perempuan itu mengangguk menyepakati perintah ibunya. Selang beberapa detik handphonenya yang berada di dalam kamar itu berdering. Sekilas ia melihat layar di handphone, terlihat Frenata atau yang biasa disebut Renata memanggil.
“Hallo.”
“Ada apa, Ren? Lu pasti dimarahin lagi sama bokap lu, ya, gegara nilai lu.”
“Ho’oh. Pokoknya lu harus nemenin gua nonton konser Park Ji Gum minggu depan, Oke?”
“Gua enggak punya duit.”
“Gua udah beli dua tiket. Pokoknya lu gak boleh nolak. Hibur gue, buat gue seneng. Oke!” Julia mengiyakan.
Rena memang sahabat Julia yang paling kaya. Kekayaannya juga sudah tak bisa dihitung. Ia anak satu-satunya, ibunya meninggal sewaktu ia masih kelas empat SD, ayahnya juga tak ingin menikah lagi. Bagi ayahnya, menikah hanya bisa sekali seumur hidup. Lelaki tua itu sangat mencintai istrinya.
“Gomawoyo Chingu.” Dalam bahasa Korea, Gomawoyo Chingu berartikan Terima kasih, teman. Perempuan itu memang tak pernah memberi pilihan pada Juli. Ia selalu memaksa. Tapi hal itulah yang membuat Julia paham bahwa sahabatnya itu sangat kesepian. Selain mencintai ibunya, ayah Renata juga sangat mencintai pekerjaannya. Ayahnya jarang sekali pulang. Dalam sebulan, ia bisa dua atau tiga kali pergi ke luar negeri. Lelaki itu biasa menginap di luar negeri satu atau dua minggu. Dan Julia sering menginap di rumah temannya yang mewah itu, untuk sekadar memastikan Renata mengerjakan tugas kuliah atau tidak.
***
“Apa?” Renata tersedak. Minuman botol yang sempat ia tenggak muncrat begitu saja, membasahi kerudung dan blazer sahabatnya.
“Serius, Li? Sejak kapan kau putus?”
“Dua minggu yang lalu.”
“Oh my God. Kok lu gak pernah cerita ke gue si?” Julia memang tidak ingin bercerita kepada siapapun bahwa dirinya sudah putus dengan Arif. Perempuan itu tidak ingin dikasihani dan ia juga tidak ingin membuat perasaannya semakin sakit hanya karena bercerita tentang luka yang digoreskan oleh sebuah cinta.
“Bukannya gue gak mau cerita. Gue takut kalo nanti gue cerita, sakitnya malah semakin terasa.”
Mendengar hal itu, Renata terlihat sedih, ia langsung memeluk sahabatnya dan mengusap lembut Pundak sahabatnya. “Ullu ... cup ... cup. Gapapa, gapapa. Kau pasti bisa melewati ini, Sayangku,” Renata mencoba menghibur Juliana. Ia memang seorang perempuan yang pengertian. Walaupun dirinya tidak dibesarkan oleh kasih sayang yang utuh dari orang tuanya, ia tetap tumbuh menjadi seorang anak yang penuh kasih sayang.
“Udah, gausah sedih. Sekarang, kau pesan sate sebanyak-banyaknya biar gue yang bayar.”
“Uhhhh ... jadi ini berkah dari berakhirnya hubungan gue?” Juli menggoda sahabatnya. Pempuan itu pun tertawa terbahak-bahak.
“Iya, anggap saja kita sedang berpesta atas berakhirnya hubungan kalian.” Lanjutnya tertawa lagi.
“Kurang ajar. Dah, ah, gue pesen dulu. Minumnya jeruk anget, kan?” Renata membalas dengan anggukan.
Juli beranjak dari duduknya sambil tersenyum karena candaan dari sahabatnya masih terngiang. Belum sampai ia memesan. Beberapa orang muncul dengan membawa camcorder. Para kamerawan itu menyoroti satu pria berwajah Korea yang mengenakan topi hitam dan kaos oblong berwarna putih, Juli sempat mundur dan mengurungkan diri sejenak untuk memesan sate.
“Omo ....“ Suara sahabatnya itu mencuri perhatian Juli. Ia berbalik menatap tingkah sahabatnya yang terlihat kaget. “Park Ji Gum,” lanjut Renata. Perempuan itu berbalik arah ke hadapan pria yang sedang dikerumuni banyak kamera.
Perempuan itu terlihat heran. Pria yang sedang ditatapnya adalah Park Ji Gum. Seorang aktor dari korea selatan yang sudah banyak membintangi berbagai drama. Selain itu, ia juga seorang penyanyi. Ia datang ke Indonesia untuk mengadakan konser yang akan diadakan besok malam. Sungguh beruntung sekali Renata bisa bertemu dengan idolanya di tempat yang tidak biasa seorang fans bertemu dengan idolanya.
Renata menghampiri pria itu dan mengobrol dengan Bahasa korea yang tidak dimengerti oleh Juli. Selang beberapa menit. Renata dan Park Ji Gum pun berfoto. Renata juga tidak sepenuhnya melupakan sahabatnya. Setelah berforo dengan idolanya, perempuan itu mengajak Juli untuk ikut berfoto.
***
Mereka berada di barisan paling depan. Renata memembeli tiket VVIP. Harganya lebih mahal dari tiket-tiket yang lainnya. Kekayaan Renata memang tidak bisa diragukan lagi. Di sana, Juli merasakan kepengapan karena di belakangnya, ribuan orang berdesakan, saling mendorong satu sama lain. Sebenarnya ia merasa tak nyaman, namun demi perempuan itu, ia rela melakukan apa pun agar bisa melihat sahabatnya bahagia. Perempuan itu memang jarang sekali mengikuti konser-konser musik seperti ini. Yang ia tahu hanyalah buku dan perpustakaan yang sunyi.
Baginya, puisi-puisi dan musik klasik lebih menarik. Perempuan itu lebih menyukai lagu-lagu zaman dulu yang dinyanyikan oleh Tetty Kadi, Tasya Rosmala, atau Andi Meriem Mattalatta. Dan hal itulah yang membuat ia disebut Si Kuno oleh sahabatnya itu.
Semua orang berteriak histeris ketika pria yang ia temui di tempat sate kemarin keluar dari belakang panggung. Pria itu menyalami fansnya dengan amat ramah. Pria yang bernama Park Ji Gum itu merasa senang bisa bertemu dengan fansnya di Indonesia. Entah apakah itu hanya sebuah muslihat seorang idol untuk mencuri cinta fansnya atau bukan. Tapi dilihat dari sorot matanya, lelaki itu terlihat sangat tulus. Ia menyampaikan kekagumannya terhadap Indonesia dengan Bahasa Inggris yang cukup bagus. Setelah perasaannya ditumpahkan, lelaki itu berjalan menghampiri piano putih.
Mata Park Ji Gum berbinar ketika menyanyikan lagu yang berjudul Untukku, lagu yang dinyanyikan oleh Chrisye itu menjadi lagu pembukaan untuk konsernya. Permainan pianonya sangat bagus sehingga membuat Juli terkesan. Juli sangat menyukai laki-laki yang bisa bermain musik, itu sebabnya kenapa ia mau menerima cintanya Arif, seorang gitaris dari band indie yang pada saat itu belum terlalu dikenalnya.
“Lu harus sering-sering nonton konser, Li,” Ujar Renata sambil menangis memandangi idolanya.
“Kenapa?”
“Biar gak inget mantan,” kata-katanya cukup mengocok isi perutku.
“Lu lihat, ada makluk sempurna di depanmu yang bisa menghiburmu. Nikmat apa lagi yang kau dustakan jika bisa memilikinya,” lanjutnya lekas dan membuat Juli semakin terbahak. Julia semakin heran dengan sahabatnya itu. Ia bisa mengatakan hal itu padahal ia sedang menangis memandangi laki-laki yang sering ia sebut-sebut sebagai suaminya. Frenata memang sangat tergila-gila oleh Park Ji Gum. Ia rela mengeluarkan banyak uang untuk pulang pergi ke luar negeri demi menonton konsernya Park Ji Gum. Namun bagi Juli, itu merupakan hal yang sia-sia.
“Kalau lulus nanti nilai lu bagus, gue bakal nyomblangin lu sama Park Ji Gum,” ujar Juli menantang.
“Mustahil,” ucap Renata, tertawa.
“Gue serius, gue bakal lakukan sekuat tenaga gue buat nyomblangin lu,” Perempuan itu menatap sahabatnya. “itu pun kalau nilai lu bagus pas lulus nanti,” Frenata tertawa sembari mengangguk setuju lalu menyanyikan lagu Park Ji Gum yang Juli tidak tahu lirinya.