"Boleh aku tahu siapa nama mu, bocah pendek?"
Vira bertanya seraya berjalan disisi Frand. Ia menengadahkan kepalanya, menatap sang pemuda yang sedari tadi hanya diam tanpa bersuara sedikitpun.
"Aku tidak bisa mengatakannya." Jawab pemuda itu.
Kedua alis Vira saling bertautan merasa bingung dengan jawaban Frand. Sejak pertemuan mereka sebelas tahun yang lalu, Vira sama sekali tidak mengetahui nama pemuda itu. Hanya sebuah nama panggilan yang mereka ciptakan masing-masing sebagai bentuk mereka saling mengenal.
Hei! Cuma sebuah nama dan kau tidak bisa memberitahukannya?
Vira mendesah pelan, mungkin ada alasan penting mengapa pemuda itu tidak ingin memberitahukan namanya. Baiklah, mari bertanya pertanyaan lain. "Kau mendapatkannya dari mana? Luka mu itu?"
Frand terdiam sejenak, ia menoleh menatap Vira yang kini sedang menatapnya. Pandangan mereka saling bertemu. Tak banyak yang berubah dari penampilan perempuan muda itu. Hanya saja, rambut panjang perempuan itu tidak semasai dulu. Sudah lebih rapi. Perempuan itu jauh lebih terawat dan ceria dari pada sebelas tahun yang lalu.
Apa selama ini kau hidup dengan baik?
Itu suara hatinya yang ingin ia tanyakan pada Vira. Namun, ia mengurungkannya dan lebih memilih untuk berfokus pada jalanan. Jalanan yang mereka lalui begitu sunyi, lebih tenang dari biasanya —Seperti ada bahaya besar yang sedang mengintai.
"Tidak ingin menjawabnya, ya?" Vira kembali bersuara. Ia menghela nafasnya bersabar. "Setelah mengantar ku pulang, kau mau kemana? Kau harus banyak beristirahat agar luka mu cepat pulih."
Jujur, Vira ingin bertanya banyak hal pada pemuda disampingnya itu. Sudah sebelas tahun, dan selama itu pula mereka tidak pernah bertemu. Vira ingin tahu; kemana perginya pemuda itu sejak terakhir kali mereka bertemu? Apa pemuda itu hidup dengan baik? Apa pemuda itu tidak ingin mengobrol dengannya? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang berputar di otaknya.
"Khawatirkan diri mu sendiri, nona." Kata Frand datar. "Apa kau terjebak di sini?"
Wajah Vira tiba-tiba bersemu. Hanya sebuah pertanyaan sederhana yang di lontarkan pemuda itu. Namun, pertanyaan itu mampu membuatnya mengingat kenangan-kenangan masa lalunya bersama sang pemuda. "Bisa di katakan seperti itu." Jawab Vira pelan.
"Kenapa?"
"Hemh..." Vira mengetuk-ngetukan jari telunjuknya di dagu. Mengingat-ingat alasan mengapa ia terjebak di kota ini. "Saat itu aku ditugaskan sebagai tim medis yang membantu mengobati para tentara yang terluka di medan perang. Lalu para tentara itu banyak yang tewas di medan perang. Singkatnya, mereka gugur setelah di kepung di segala arah. Pada akhirnya, aku terjebak disini bersama tentara-tentara yang tersisa dan beberapa warga kita yang di jadikan sandera, kira-kira sudah setahun. Nasib ku bisa di katakan beruntung. Mereka tidak membunuh ku dan membiarkan ku bertugas sebagai kepala medis. Walaupun enggan membantu tentara musuh, tetapi tugas ku adalah menyembuhkan orang yang sakit dan terluka. Yah, setidaknya aku masih hidup." Kata Vira dengan ceria.
Frand mendecak pelan kemudian jemarinya menyentil dahi Vira cukup keras. Vira yang kaget dengan perlakuan pemuda itu, lalu mengusap dahinya seraya meringis kesakitan. "Aduh! Kenapa kau menyentil ku?!"
"Itu untuk kebodohan mu, nona." Balas Frand dingin.
Kau dalam bahaya. Bagaimana bisa kau bercerita seceria itu, dasar bodoh.
Vira mencebik kesal. Tidak paham atas dasar apa kalimat bodoh itu di lontarkan untuknya. "Tch! Orang aneh." Gerutunya.
"Berapa lama lagi kita tiba di rumah mu?" Tanya Frand mengalihkan pembicaraan.
"Lima belas menit lagi." Jawab Vira dengan wajah yang masih kesal.
Mereka kembali berjalan menyusuri hutan dalam keheningan.
***