Satu minggu berlalu dengan keadaan yang sama untuk seorang Torra Mahardika. Berusaha dan terus saja berupaya agar mendapatkan kesempatan kedua, berserta satu pengampunan akan masa depan yang semakin digadang-gadang.
Hasilnya? Heh, tentu saja setali tiga uang. Tak bergerak jauh kendati sang pedati telah mengganti roda baru, segala iming-iming patah tanpa hasil yang signifikan, bahkan intonasi keras bersama jutaan caci maki pun terjadi di sana.
Belum ingin menyerah begitu saja, sayangnya kewajiban mendesak Torra untuk kembali pulang ke Tanah Timor. Pekerjaan di lokasi proyek berada di titik anfal, memerlukan campur tangannya. Pun beberapa teman sejawat di dunia politik memercayakan konsep berpikir yang searah, memaksa kedua kakinya untuk turut serta mengambil bagian.
Meski begitu, Torra enggan menjauh sebelum kembali menatap wajah cantik Inna, sekaligus menebar umpan di tengah krisis kepercayaan diri yang mulai menyapa. Berlomba dengan deru debu jalanan yang menebar aroma penat untuk menemui istrinya lagi, langkahnya kini berpijak di kediaman keluarga Bastari namun pemandangan di depan matanya sungguh membuatnya muak dan ingin menerjang.
Bagaimana tidak, Aldi yang saat itu juga ingin berpamitan sembari mengumbar rayu, dengan mudahnya mendapat seulas senyum dari bibir Inna. Cemburu adalah hal yang kini menusuk hingga ke jantung Torra, dan sebagai seorang suami, sejujurnya ia juga menginginkannya.
Sampai-sampai sikap tidak terkendali itu muncul begitu saja, mengangetkan Inna dan juga Aldi, "Ngapain lo di sini?! Lepasin tangan lo dari tangan bini gue!"
Tangan Inna yang segera menjauh, membuat Aldi akhirnya meradang dan membalas ucapan Torra tak kalah sengitnya, "Kenapa, hah? Suka-suka gue dong! Masalah buat lo?!"
Keributan kecil pun tak dapat terelakkan, "Jaga bicara lo, Dokter playboy! Gue suami sah Inna! Kalau lo masih mau aman di RSUD Naibonat, maka jangan macam-macam sama apa yang sudah menjadi milik gue!"
"Hahaha... Ngancem lo? Ugh, Mamaaa...! Takuttt...! Prettt...!"
"Sialan! Kau--"
"STOP! Cukup!" Membuat lengkingan Inna ikut terdengar juga pada akhirnya.
Kekesalan yang memuncak, menjadikan kedua telapak kakinya tertalih lebar menuju ke arah pintu utama rumah. Menutup dan akan segera mengunci papan kayu yang menjadi jalan keluar masuk, kali ini Inna kurang sigap melakukannya. Ia kalah dengan langkah terjangan secepat kilat milik Torra, yang menyimpan segenap asa sebelum kembali pulang.
"Mas terpaksa pulang hari ini, Sayang. Anak-anak di lokasi proyek butuh pembayaran gaji, butuh tanda tangan, butuh ditinjau langsung biar nggak ada yang salah-salah, jadi kita wajib bicara serius kali ini!" jelas Torra yang kini beradu pandang dengan istrinya.
Tak lantas mengiyakan, melenggang masuk tanpa suara adalah jalan yang Inna pilih di antara percikan rasa gugup di dalam dirinya. Seminggu bersama segala bentuk permohonan layaknya seorang pengemis merupakan jawaban atas debar-debar sialan miliknya saat ini, tetapi api amarah masih saja menyala dan mungkin butuh ratusan kilometer jalanan yang harus ditempuh Torra.
Duduk dengan melipat kedua tangan di dada, suara Aldi terdengar kembali di gendang telinga Inna dan juga Torra pastinya, "Kak Aldi udah jalan, In. Inget pesan Kakak ya? Jangan mau terperosok kembali ke dalam jurang dalam yang sama walaupun kamu membawa tali tambang berukuran besar sekalipun!"
Dokter spesialis kandungan itu mengingatkan Inna karena dengan mudahnya Torra masuk ke dalam rumah dan kini berada tepat di depan wanita yang ia sukai.
"Jangan suka ikut campur sama rumah tangga orang ya, Dokter Aldi yang terhormat! Kalau memang sejak dulu lo cinta mati sama bini gue, maka lo nggak akan dengan mudahnya tidur dari satu cewek ke cewek lain bahkan ngehamilin calon istri sepupu gue dan pergi gitu aja ninggalin dia! Paham lo?!" Namun tak ada satu kata pun yang Inna keluarkan untuk menjawab perkataan Aldi, melainkan kecaman keras Torra yang sibuk menebar kesalahan sang Obgyn kesekian kalinya.
Geram dan marah yang mulai bercampur dengan aroma kemurkaan, Aldi memilih untuk memutar tubuhnya, pergi meninggalkan kediaman Inna tanpa mencoba membalasnya.
Inna yang menyesalkan hal tersebut kembali terulang, memilih beringsut masuk ke dalam kamar tidurnya saja, "Kita belum selesai bicara, Sayang!"
"Aku nggak peduli! Pergi nggak dari sini! Kalau kamu mau pulang ke Kupang, sana pergi secepatnya! Itu sudah bukan urusanku lagi karena kita akan berce-- Hemphhh...!" Tetapi Torra secepat mungkin merobohkan aturan itu, dengan keinginan yang nyaris empat minggu ini mendera sisi terdalam tubuhnya.
Brugh...
Torra menggiring Inna melalui celah pintu dan menimbulkan bunyi ketika keduanya terhuyun ke tempat tidur, menindih dan menyalurkan kerinduan itu dengan jalan yang salah.
Bibir ranum Inna terus saja dikecap untuk mengisi pasokan tenaga di lumbung hati Torra, mengesampingkan bulir-bulir air yang sudah meleleh semakin banyak dari balik kelopak mata Inna.
Sungguh. Inna memang sering mendapatkan hal buruk seperti yang saat kali ini ia terima, namun semua itu berlaku ketika hatinya masih berbunga-bunga, mencintai dan berpikir juga dicintai.
"Lepaskan aku, Mas! Jangan lakukan it-- Achhh...!" Ketika pasokan udara mulai menipis, Inna berharap dapat mengubah keinginan Torra yang saat ini sudah berselancar hebat di kulit lehernya.
"Aku mencintaimu, Inna! Kamu punyaku selamanya dan aku pun sebaliknya, Sayang. Aku milikmu yang penuh dosa, tapi tidak untuk saat ini sampai seterusnya karena hal itu nggak akan pernah terulang kembali! Ughhh..."
"Oughhh...!" Namun nihil, ketika lengan kekar Torra sudah merambat sampai ke pangkal paha Inna, memasukkan dua ruas jari dan mengobrak-abrik kewanitaannya.
Hal terkutuk itu seharusnya dapat disangkal oleh Inna yang belum pulih benar pasca kematian buah hati mereka beberapa waktu lalu, tapi tidak terjadi ketika para durjana berhasil melemahkan dan kian melumpuhkan semua persendian.
"Enak, Sayang? Gimana rasanya, hm? Oh, sialan! Mas sayang banget sama kamu, Innaaa...! Sayang banget! Ughhh...!"
"Mas Torraaa... Achhh...!" Bahasa tubuh Inna berhasil mengkhianati logika yang sudah tersusun rapi bersama sejumlah rencana, dan kejadian itu nyata terjadi di depan mata Indri Bastari, yang baru saja pulang mengantar jahitannya.
Wanita paruh baya tersebut terkulai lemas di depan pintu kamar yang masih bercelah dan berniat untuk mencegah hal panas itu berkelanjutan, namun urung ketika desahan kurang ajar dari bibir putrinya kian keras terdengar.
Sebagai ibu kandung, dirinya memang memiliki kapasitas penuh untuk itu, tetapi rasa malu dan harapan barunya seperti bercampur aduk ketika nyatanya sosok Aldi Wiryawan pun tak lebih baik daripada seorang Torra Mahardika.
"Maafkan Ibu yang sudah gagal mendidikmu menjadi perempuan tangguh, Nduk. Ibu mungkin terlalu memanjakanmu sampai akhirnya kamu salah jalan sejauh ini. Ibu harap kalian nggak pernah bertengkar lagi, Nduk. Bahagia dan langgeng sampai Kakek Nenek atas pilihanmu yang mau memaafkan Nak Torra." Indri melangkah dengan linangan air mata menuju ke arah dapur, menyimpan bahan makanan ke dalam lemari pendingin setelah sempat merapatkan pintu di kamar tidur Inna. Ia menulikan segala desahan panas putrinya yang telah mengkhianatinya, berujung dengan berharap akan segala kebaikan masa depan.
****
BERSAMBUNG. HAI, TEMAN-TEMAN MAAF LAMA UPDATE. AKU BARU KELAR EDITING NASKAH. MAAF LAMA YA? JANGAN LUPA KEPOIN AKUN TEMENKU YANG NAMANYA MemeyMecxa2 YES? MAKASIH...
KAMU SEDANG MEMBACA
Tolong, Ceraikan Aku! [END]
RomanceMenikah itu tidak mudah. Menikah dimaksudkan agar hidup kedua pasangan menjadi teratur dan terarah dengan baik, tapi tak jarang sebuah pernikahan hanya berlandaskan coba-coba, karena harus bertanggung jawab akibat tak kuat menahan hawa nafsu, lalu t...