🌹🌹🌹Sudah dua minggu lebih usia pernikahan Dito dan Isma, namun hubungan mereka tidak berkembang sama sekali. Dito sibuk dengan pekerjaannya sedangkan Isma sibuk dengan kesehariannya sebagai istri. Walau tak dipungkiri kehadiran Isma mampu membuat hidup Dito lebih teratur.
Bangun selalu tepat waktu, setiap akan berangkat bekerja sarapan sudah tersedia. Baju kerja pun rapi karena ada yang mencuci dan menyetrika, tidak seperti dulu yang harus memasukkan baju kotor ke laundryan. Saat pulang pun tak kalah menyenangkan, rumah yang selalu bersih, di sambut dengan tangan yang siap menerima tas kerja dan hidangan makan malam pun selalu sudah tersedia, tidak seperti dulu yang harus menyewa pembantu harian untuk membereskan dan membersihkan rumah. Nikmatnya berkeluarga.
"Mas, apa saya boleh membeli bunga untuk mengisi halaman depan?" tanya Isma memulai obrolan saat sarapan. Dengan ragu-ragu, dia menguraikan angan-angan karena masih belum memahami watak sang suami.
"Hem," jawab Dito sambil mengangguk dan kembali menikmati sarapan. Dito selalu lahap memakan masakan Isma, dia merasa cocok dengan rasanya. Ternyata istrinya pandai memasak.
"Nanti Mas tambahin uang untuk membeli pot dan bunga." Perkataan Dito selanjutnya setelah menyelesaikan sarapan. Sepertinya dia harus sering berolahraga agar badannya terus terjaga. Baru dua minggunan diurusi istri perutnya sudah kelihatan agak membuncit.
"Nggak perlu, Mas. Uang belanja yang kemarin masih ada," jawab Isma sambil menunjuk toples bekas wadah sosis di atas kulkas yang berganti berisi uang. Dito pun ikut memandang ke arah telunjuk Isma mengarah. Dan dia tidak pernah menyangka bahwa istrinya menyimpan uang hanya di dalam toples bekas dan menaruh di atas kulkas begitu saja. 'Ingat Dito, Istrimu ini polos dan bodoh,' pikir Dito menilai kepintaran istrinya.
"Itu untuk belanja kebutuhan dapur. Yang ini untuk keperluan taman yang mau kamu buat. Simpan saja sisanya, buat jaga-jaga kebutuhan mendesak."
Inilah salah satu sifat Dito yang disukai Isma. Dia selalu loyal masalah uang untuk dirinya dan kebutuhan rumah tangga mereka.
"Iya."
"Kamu bisa naik motor 'kan?"
"Kalau matic, bisa, Mas."
"Nanti aku pinjam Ktp kamu. Agak siang motornya mungkin sudah di antar ke sini." Dito berdiri dari kursi makan.
"Untuk apa?" tanya Isma penasaran.
"Untuk mengurus surat kepemilikan motor."
"Maksud saya, motornya untuk apa?"
"Untuk kamu, kalau mau ke pasar atau ke mana saja. Nanti kamu hafalin rute jalan ke rumah Ibu, jadi kalau aku sibuk kau bisa ke sana sendiri."
"Ah! Iya."
"Besok pagi aku antar ke Bank untuk membuka rekening." Dito hendak melangkah.
"Untuk apa lagi?"
"Ya ... karena kamu juga di sini sudah kerja membereskan dan membersihkan rumah, anggap sebagai gaji kamu." Isma langsung kembali tersadar alasan pernikahan mereka terjadi.
"Kau ingat ini akan berakhir bukan? Jadi gaji itu bisa kau gunakan nanti mencukupi hidupmu setelah kita berpisah." Rekahan itu kian retak. Isma merasa malu, baru beberapa minggu dan angannya berumah tangga sudah melambung. Kemana perginya niat untuk memupus semua rasa untuk sang suami? Terbuai mimpi, hingga dia lupa alasannya ada di sini. Balas budi.
Isma hanya tersenyum dan mengangguk."Iya, Mas."
"Tenang saja uang tunai dan rumah itu tetap aku siapkan untukmu nanti. Jangan khawatir." Bibir itu kembali melengkung manis, namun hatinya kian meringis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pebinor Bucin.(Sudah Tamat di Kbm-app)
Любовные романыNamaku Radito purnama. Aku bukan pengusaha apalagi casanova. Aku seorang Arsitek yang sudah hidup berkecukupan. Usiaku 27 tahun. Usia yang cukup matang untuk berkeluarga namun aku masih bahagia sendiri. Cita-citaku bukan menjadi Arsitek, tapi karena...