"Ayah nggak adil! Kiki dan Kiran ke sekolah umum. Kenapa Brian terus-terusan home learning? Apa Brian nggak punya hak untuk bergaul dengan sebaya Brian? Brian nggak mau tahu. SMA, Brian mau masuk sekolah umum titik."
"Kak... jangan bicara seperti itu! Ayah melakukannya demi kamu sayang." Bujuk Nay mencoba menenangkan putra sulungnya setelah menyuruh si kembar yang kini sudah berusia 12 tahun ke kamarnya. Mereka masih terlalu muda untuk mendengar perdebatan ayah dan kakaknya itu.
Ruang keluarga Bramantiyo menjadi tegang setelah sulung yang biasanya pendiam mendadak meledakkan emosinya seperti saat ini. Brian, sulung yang kini sudah menginjak usia 15 tahun benar-benar sudah jengah. Pasalnya, orang tuanya memutuskan SMA yang akan dilalui remaja tampan itu masih seperti tahun-tahun sebelumnya. Home learning demi alasan keamanan.
"Home learning tidak menghalangimu untuk mengembangkan diri. Toh ayah juga memasukkan kakak ke klub hobi supaya kakak bisa berinteraksi dengan kawan-kawan sebaya. Lalu apa masalahnya? Jangan samakan kamu dengan adik-adikmu. Kalian sudah jelas berbeda. Kakak adalah putra sulung Bramantiyo. Kakak punya tanggung jawab yang besar saat besar nanti."
"Kalau begitu Brian nggak mau jadi keluarga Bramantiyo. Brian mau jadi orang biasa , hidup biasa..."
PLAK.
Nay terkejut dengan apa yang dilakukan suaminya. Ini adalah kali pertama dia melihat suaminya tampak begitu marah pada puteranya. Bian adalah ayah yang lebih suka menjadi teman anaknya, dia tetap menjadi seperti itu pada putri kembarnya. Tapi pada Brian, dia tak bisa lagi melakukannya karena dia tahu, putranya telah berubah setelah kejadian itu.
Brian yang terluka berlari ke kamar dan membanting pintu kamarnya. Tak tahu, jika ayahnya lebih terluka dari yang ia rasa.
***
Flash back on
Sembilan tahun yang lalu
"Putraku..aku mau putraku. Ya Allah. Tolong temukan putra.."
"NAY!!!" Bian yang panik melihat istrinya yang pingsan langsung menangkap dan membawanya ke kamar.
Keluarga Bramantiyo tengah berduka. Pasalnya, sulung mereka, Febrian Chandra Bramantiyo diculik ketika pulang sekolah.
*
"Plat sudah dikonfirmasi. Kita tinggal menemukan dimana mereka bersembunyi. Kalaupun mereka mengganti platnya, kami sudah menyebar wajah pelaku di DPO." Ucap salah satu detektif polisi yang dilibatkan dalam kasus penculikan Brian, panggilan putra Bian yang pertama.
Bian hanya meremas-remas tangannya gelisah. Ini sudah hari kedua, dan mereka masih belum tahu dimana keberadaan putra malang mereka. Apakah putranya baik-baik saja? Apakah ia diberi makan? Segala pertanyaan menghantui Bian, menambah kekhawatirannya.
"Tuan, ada paket." Bian yang terkejut sadar seketika ketika Bi Asih memanggilnya.
Polisi yang melihat kedatangan paket itu langsung curiga karena tidak ada nama pengirim di paket berbentuk segi empat itu. Salah satu di antara merekapun menahan paket bersampul coklat itu.
"Sebentar. Forensik. Cek sidik jari di bungkus ini dan juga di dalamnya. Ini pasti dari penculik itu." Perintah kepala tim yang bertugas.
Mata Bian langsung terbelalak mendengar kata-kata kepala tim itu. Dengan tidak sabar, dia menunggu tim yang tengah menyelesaikan tugasnya sebelum dia akhirnya menerima sebuah kepingan CD asing itu.
Dengan takut, Bian menyetel CD itu dan jantungnya langsung terasa berhenti. Di layar persegi panjang di hadapannya, putra yang amat dicintainya, yang dia jaga dengan sepenuh hati, tengah terisak di kursi dengan mata tertutup dan memar yang kentara di wajah tampannya. Entah apa yang dilakukan iblis-iblis itu pada putranya, tapi sungguh, Bian takkan mengampuni mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
JODOH SEORANG PEMERKOSA
Romance"Setiap kesalahan bisa dimaafkan, tapi tidak semua kesalahan bebas dari tanggung jawab" -Fachir Bramantiyo-