LEFLAIVE ✓

3. Offer

Dalam keheningan yang kerap membuat Kim Aera merasa cemas, wanita itu menatap pantulan bayangan dirinya di depan cermin. Berusaha sekuat tenaga menghapus semua kepingan memori kelam—dan hasilnya Aera sama sekali tidak bisa menghapus apalagi membuangnya.

Sialan.

Bagaimana bisa dia sekacau ini? Hanya karena terus menerus mengingat betapa berengseknya Hansel Taehyung malam itu?

Dan berita buruknya, Taehyung seakan mendominasi seluruh pikirannya saat ini. Padahal jelas, Aera bisa menebaknya sendiri jika yang Taehyung inginkan darinya adalah kepuasan. Bersenang-senang lalu kemudian terlupakan. Tak berniat sedikit pun menjadikannya satu-satunya yang ada di hati pria itu. Aera mendecih—mengapa ia berubah sebodoh ini?

Aera bertekad takkan lagi membiarkan Taehyung berpura-pura. Tapi sayang dirinya belum mendapatkan pengganti bodyguard yang tepat. Lagi pula Aera bingung, sebenarnya apa yang di rencanakan Taehyung? Sudah jelas, Hansel Taehyung itu pengusaha wine yang kaya raya. Lantas untuk apa repot-repot jadi bodyguardnya? Kalau bukan ingin mencari kesenangan dan Aera terjebak dalam permainannya.

Baiklah ini sudah cukup, batin Aera meyakinkan diri. Tidak ada lagi yang boleh mempermainkan, kecuali jika Aera menerima imbalan yang setimpal atas apa yang ia lakukan. Ingat bahwa Kim Aera takkan mungkin membiarkan tubuhnya terjatuh ke dasar jurang—dibiarkan larut oleh perasaan cinta. Aera tidak membutuhkan itu. Well, dia bukan wanita lemah meski bersembunyi di balik topeng palsu itu.

Selesai memoles bibirnya dengan gincu merah darah, Aera tersenyum miring. Bersiap-siap menemui Lee Namjoon dengan balutan blouse merah muda panjang serta rok hitam ketat di atas lutut. Melangkah keluar dari kamarnya dan beruntung pagi ini Aera tak melihat Taehyung. Entah bodyguardnya itu pergi ke mana, Aera harus menghindar dari Taehyung sejenak. Kepalanya masih pusing teringat malam panas bersama Taehyung kemarin.

Selama perjalanan ke perusahaan Namjoon, Aera habiskan dengan melamun sambil menatap keluar kaca mobil. Ada rasa iri melihat orang di luar sana yang bisa hidup damai menjalani harinya. Menentukan jalannya sendiri. Lamunan Aera buyar sewaktu supirnya memanggil, "Nona, kita sudah sampai." katanya diikuti senyuman ramah.

"O-oh? Apa kantornya dekat dengan rumah? Cepat sekali."

"Tidak terlalu dekat, mungkin karena Nona melamun sejak tadi."

Tersenyum canggung, Aera merutuki dirinya sendiri lalu segera turun dari mobil. Tanpa Aera duga, Namjoon sudah menunggunya di lobi—duduk di sofa dan tersenyum manis ke arahnya.

"Sudah lama menungguku?" tanya Aera, ikut duduk di sofa seberang Namjoon. "Harusnya tidak perlu menunggu---,"

"Kau tamu istimewaku. Sudah sewajarnya aku menunggu kedatanganmu, Aera."

Aera hanya menunjukkan senyumannya menanggapi kata-kata Namjoon. Tentunya, dengan mata dan senyuman Namjoon saja Aera tahu—Namjoon tertarik padanya. Dan kesempatan bagus itu Aera manfaatkan untuk meraup keuntungannya.

"Terimakasih aku terkesan." Aera terkekeh, kemudian menaruh berkas di atas meja. "Omong-omong kau tahu kan, aku kemari ingin membahas proyek kerja sama kita."

"Tentu. Rupanya kau langsung mengajakku membahasnya. Kupikir kita berdua harus mengobrol dulu mungkin?" ujar Namjoon, senyumannya itu bentuk perwujudan jika ia begitu tertarik pada Aera.

Namun, Kim Aera tak langsung menyetujui itu. Berpikir keras untuk menolak acara basa-basi yang sedang Namjoon rencanakan. "Kita masih banyak waktu untuk mengobrol lain kali." tolak Aera, tak lupa membalas senyuman Namjoon. "Aku ada urusan penting setelah ini. Jadi, bisa kita mulai Namjoon-ssi?"

Namjoon terkekeh seraya matanya menatap ke arah Aera. Ini menarik sekali, pikirnya. Aera tak semudah itu di raih. Sekali pun ia mencoba dengan cara yang kerap dilakukan kebanyakan pria.