"Hm... bisa mainin lagu Chopin?".
Ara menghentikan permainannya. Dia menatapku sekilas sebelum kembali menghadap piano. Kukira dia tak akan memenuhi permintaanku, tapi nyatanya gadis itu memainkan lagu nocturne op.9 no 2.
Aku terdiam meresapi permainannya yang lembut lalu menguat saat sampai ujung lagu. Tak salah lagi, permainan piano Ara mengingatkanku dengan seorang anak perempuan yang pernah kulihat di kompetisi piano di Ibu Kota, bertahun-tahun yang lalu.
*
Saat aku kelas 5 SD, Ibu bersikeras mendaftarkanku ke dalam sebuah kompetisi piano. Meski baru belajar selama dua tahun, Ibu menganggap permainanku sangat hebat. Tak tanggung-tanggung aku didaftarkan pada kompetisi yang mana para juaranya nanti akan mewakili Indonesia di kompetisi International Chopin.
Karena tahu betapa seriusnya kompetisi itu, aku berlatih sangat giat. Sepulang sekolah, guru piano akan datang dan mengawasiku bermain lagu Nocturne in D flat major, Op. 27 No.2 selama 6 jam. Seluruh notasi, tempo, dinamika, ekspresi harus dihafal dan diktronrol tanpa ada kesalahan. Selama latihan aku melakukannya dengan baik. Sayangnya tepat di hari kompetisi, aku kacau.
Audisi itu diselenggarakan di sebuah gedung pertunjukan musik klasik. Di atas panggung yang luas berdiri gagah sebuah grand piano berwarna hitam mengkilap.
Seluruh peserta audisi menunggu dimulainya audisi dengan duduk dibangku penonton yang membentuk undakan. Di deret paling depan ada lima kursi yang disediakan khusus untuk dewan juri.
Audisi dimulai. Satu persatu peserta dipanggil untuk memainkan lagu yang sama. Aku menunggu dalam ketegangan. Berada di tempat seperti ini untuk pertama kalinya membuat jantungku berpacu cepat. Keringat dingin mulai kurasakan membasahi bagian tengkuk lalu turun ke punggung. Kemeja putih dan jas hitam yang disiapkan ibu makin menambah rasa tak nyaman.
Setelah dua jam menunggu, giliranku tiba. Aku berjalan dengan langkah cepat, membungkuk pada dewan juri lalu duduk di depan piano. Kutarik nafas panjang sebelum menggerakkan jari menekan tuts. Permainanku cukup mulus diawal, namun dipertengahan aku melakukan kesalahaan besar. Lagu yang harusnya sudah kuhafal diluar kepala buyar begitu saja. Aku menghentikan permainan. Dengan panik aku mencoba lagi, tapi gagal. Dengan sangat berat hati aku melakukan hal yang tak seharusnya. Meninggalkan panggung dengan kepala tertunduk.
Aku berjalan gontai menuruni panggung saat seorang gadis kecil bergaun merah berpapasan denganku naik ke atas panggung dengan ceria. Aku mencoba tak peduli, tapi suara dentingan pianonya membuatku berbalik badan.
Permainanku memang paling kacau, tapi belum ada peserta sebelumku yang memainkan lagu dengan sangat baik sepertinya. Meski dia memainkannya dengan gaya yang lembut, tak ada tempo yang meleset, dan dinamikanya juga sempurna.
Separuh diriku ingin cepat-cepat pergi dari ruangan ini karena malu, namun setengah lagi merasa sayang jika harus melewatkan permainannya. Pada akhirnya aku duduk di bangku deretan teratas seorang diri.
Sepanjang lagu aku tak bisa berhenti terkagum-kagum. Dia masih sangat kecil. Mungkin kelas 2 atau 3, tapi levelnya sudah diatasku.
Untuk pertama kalinya di hari itu juri bertepuk tangan. Beberapa minggu kemudian kudengar dialah yang menjadi pemenang kompetisi.
*
Ara menyelesaikan permainannya. Dia menoleh lalu memintaku kembali berlatih dengan matanya.
Aku mengulum bibir. Gaya permainan dua orang itu memang mirip, tapi tak mungkin Ara adalah gadis kecil itu. Kalaupun dia adalah gadis kecil itu, kenapa dia menyia-nyiakan bakat dan malah berada di kota kecil ini?
*
Sudah satu minggu penuh aku latihan bersama Theo dan Jimmy. Ara juga sering berada di ruangan itu untuk mengoreksi permainanku. Setelah dua hari berlatih intens dibawah pengawasannya, gadis itu kini lebih sering duduk di depan computer dengan headset terpasang di telinga.
Dalam jangka waktu tertentu Ara menyandarkan punggungnya di kursi gaming lalu melepas headphone untuk mendengarkan permainannku. Saat ada yang salah, dia segera membalikkan kursi lalu menatapku datar sambil mengatakan mana bagian yang salah.
Aku memang sepayah itu. Bertahun-tahun tak menyentuh tuts, piano sudah menjadi benda asing. Butuh waktu lebih lama lagi agar aku terbiasa. Untungnya Ara menuliskan not-not yang tak terlalu rumit. Setelah melihat betapa awakward-nya aku dengan piano, Ara segera mencari melodi termudah agar bisa kumainkan. Setidaknya begitulah kata Theo.
Untungnya kemampuanku membaca not balok tidak sepenuhnya hilang.
"Temponya kurang lambat."
Lagi-lagi suara lembut itu. Theo berhenti bernyanyi, begitu juga Jimmy yang dari tadi bersemangat menabuh kajon.
Aku mendongak. Kursi Ara sudah diputar ke arahku. Mata gadis itu menatapku datar.
Aku menelan ludah. Selain jariku yang kaku, sensifitasku terhadap tempo juga menurun drastis.
"Nggak papa-nggak papa. Yok coba sekali lagi yok." Theo menyemangatiku dengan penuh senyum perseginya.
Aku hanya bisa memasang senyum tipis. Kalau begini keadaannya aku yang sudah menyukai Ara sejak hari pertama kami bertemu tak punya pilihan lain selain menjaga jarak yang sudah terbentuk. Kurasa dia sudah terlalu muak denganku.
Hallo........
Welcome back
Akhirnya aku paksain buat update everyweek dan kali ini lagi mau nerusin adagio dulu
Klik vote, comment dan follow akun ini ya kalau kalian suka ceritaku
Buat yang suka buku dan biola jangan lupa juga follow igku @violianatha
Dan....
Yok yok di subscribe dan dilike gaes
Dan terakhir nih....
HBD buat uri leader kita 😘😘😘
KAMU SEDANG MEMBACA
ADAGIO
Teen FictionAwalnya Khafa tak percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Segala hal, apalagi cinta, butuh waktu untuk tumbuh dan dirasakan. Ibarat musik semuanya harus mengalun dengan tempo yang tak terlalu cepat dan mengalun lembut (adagio). Khafa percaya...