Tengah ditangkupkan kedua tangan alam sebagaimana halnya gemerlap serdadu bintang memanifestasi malam. Hitam mendekat, menghadiahkan cahaya temaram yang begitu didambakan. Ada malam-malam tertentu di mana aku akan menikmati udang goreng buatan ibu, televisi yang dinyalakan, lagu-lagu yang diputar untuk memeriahkan, serta secangkir kopi panas untuk menemani begadang.
Di hari yang serupa, kebahagiaan lahir tumpah ruah dengan rona, didampingi sederhana yang menjelma layaknya ekuilifaksi pada luasnya samudra. Kecipak gerimis menggemburkan hati, menyuburkan tanaman-tanaman harap yang presensinya tak pernah luput dari dalam dada. Hanya dengan sepiring udang goreng, mereka mampu menghidupi temaram cahaya keperakan yang dihasilkan asa.
Bertiga kami menikmati makanan yang jarang sekali didapat, sebab terkadang ayah tak punya cukup uang untuk membeli setengah kilo udang seperti yang dinikmati sekarang. Biasanya, kami akan menyantap donat-donat yang tersisa bilamana barang dagangan ibu—yang berupa donat—tidak habis dijajakan.
“Lahap sekali makanmu,” sahut ibu kala menatap piringku sudah bersih, tak ada sedikitpun yang tersisa.
Aku tersenyum lebar sembari menghabiskan sisa bumbu dengan jemari tangan. Kulihat, bapak juga tersenyum tak kalah lebarnya melihat anak kesayangannya begitu bahagia. Setelah mencuci dan membereskan peralatan makan, kini aku memenuhi kewajibanku untuk membantu ibu menyiapkan adonan donat untuk dijual keesokan harinya.
Sejatinya, adonan-adonan itulah yang membuat mereka bertahan hidup. Kata orang, donat dengan harga seribu rupiah tidak mampu membuat penjualnya cepat kaya, karena memang harganya hanya seribu rupiah saja. Itu nominal yang sangat kecil, _katanya._ Namun mereka tak pernah menyalahkan, tetap menerima dan bersyukur karena mereka masih memiliki satu sama lain. Biarlah mereka tidak kaya, namun kasih sayang yang dilimpahkan tak akan pernah terkikis oleh masa.
Ayahnya ialah sosok yang selalu berkeliling kota, membantu penumpang-penumpang sampai ke tujuan mereka dengan becak yang sudah mulai karatan. Sementara ia adalah seorang murid sekolah dasar yang berupaya bertahan di sana; karena tak jarang mereka hanya mampu melunasi sebagian uang sekolahnya saja. Beruntungnya, kepala sekolah memberikan dispensasi khusus melalui program pemerintah yang diberikan cuma-cuma.
“Ibu Ratna, aku titip donatnya, ya!” Ia memberikan wadah besar yang penuh oleh donat aneka warna.
Ibu Ratna yang bernotabene sebagai ibu kantin itu mengangguk seraya tersenyum lebar. Ia melanjutkan langkah dengan berlari. Supaya cepat sampai kelas, katanya. Lamat-lamat, ia teringat pesan ayahnya kemarin malam, saat ia akan beranjak untuk tidur.
“Nak, kalau besok bapak dapat uang banyak, bapak belikan sepatu baru, ya?” Ayahnya tersembut lembut seraya mengusap surai legamnya. “sepatu kamu, kan, sudah berlubang. Tapi ingat ya, setelah bapak belikan sepatu baru, kamu harus belajar yang rajin, biar waktu besar nanti kamu jadi orang sukses.”
Aku yang saat itu mengantuk justru tersenyum lebar dengan mata berbinar. Riang membuat malamku jadi lebih menyenangkan.
Tapi saat itu aku tidak tahu, bahwa tidak akan pernah ada sepatu baru yang bapak berikan untukku. Tiada yang tahu apa yang terjadi kemudian hari … jauh, jauh setelah kemarin yang membahagiakan, ternyata ada luka yang menyeimbangkan perannya.
Aku sedang menangis di sudut ruang setelah mengingat kilas balik yang amat menyakitkan. Sekarang aku tak menjadi gadis berkuncir dua yang memakai seragam merah putih dengan senyum paling menentramkan. Kini, aku menjadi sosok yang—entahlah—aku tak bisa mendeskripsikan rupa diriku sekarang.
Memori itu selamanya teronggok di sudut kepalaku, enggan pergi meski dipersilahkan. Entah karena manifestasi memori itu memang mengada-ada atau aku yang belum bisa menerima, yang jelas ia tak pernah mau pergi meski dengan cara diusir pun.
Kini aku menatap sosok berkulit pucat dan dingin yang berada di hadapanku. Sebentar lagi, wajahnya akan ditutup dengan kain putih, dan waktuku hanya tersisa sedikit untuk mengamati sosok yang terbaring kaku ini. Aku masih ingat masa-masa susah keluarga kami, di mana ibu yang selalu harus berjualan donat untuk membantu perekonomian ayah.
Iya, sosok yang terbaring kaku dengan roh yang sudah dicabut ini adalah ibuku. Dan aku yakin, setelah ini aku tak akan pernah memakan donat barang secuil pun.
-Selesai-
Oleh rynffable
KAMU SEDANG MEMBACA
Rentetan Aksara
Short StoryHai kalian, silakan menikmati karya-karya member IPW. Semoga suka!