014 : One More Hope

72 10 7
                                    

"Ada yang mau ketemu sama lo."

Aslan menatap ke arah Gery yang balik menatapnya.

"Siapa?" tanya Aslan.

Gery tampak gelisah, namun ada tekad yang kuat dalam air mukanya.

"Asal lo janji jangan marah kalo liat dia. Karena dia datang buat jelasin se—"

"Arin," tebak Aslan dengan raut datar.

Gery mengalihkan pandangannya ke arah Uka yang sama-sama memandang sekitar.

"Lo bisa bawa dia ke sini, gue butuh penjelasannya," tukas Aslan setelah beberapa menit menimbang.

Uka mengangguk senang dengan tanggapan Aslan. Setidaknya saat ini Aslan bisa mengontrol emosinya.

Uka membuka pintu ruang rawat rumah sakit. Aslan bisa melihat gadis bermata bulat itu berdiri setengah menunduk. Pakaian yang sederhana menempel di tubuhnya. Tak seperti apa yang Aslan lihat terakhir kali, kala malam yang buruk itu.

Gery mengangguk menyuruh Arin masuk saat dengan ragu-ragu mata sayu gadis itu terangkat. Menatap sekitar dengan raut seakan memikul penuh dosa.

Langkahnya yang pelan memasuki ruangan. Suasan terasa sepi senyap. Hanya suara decitan alat-alat rumah sakit yang menopang hidup Raditya, bersuara cukup nyaring dari seberang ruangan.

Sampailah Arin dengan jarak di depan ranjang. Wajahnya masih menunduk dalam. Seolah dirinya siap untui dieksekusi dan memeberkan segalanya.

"Lo mau jelasin apa?" tanya Aslan setelah beberapa menit hening. Bahkan Bi Ida yang selalu banyak bicara pun terdiam. Tatapannya menelisik tak suka ke arah Arin.

Semakin menunduk wajah Arin. Hingga samar-samar suara isakkan kecil keluar dari bibirnya. Air matanya jatuh ke lantai rumah sakit. Aslan sedikit memperhatikan bagian itu.

"Gue nggak nyuruh lo buat nangis di sini? Gue cuma pengin denger apa yang sebenarnya hubungan di antara lo sama Ayah gue." Ucapan Aslan masih datar seperti biasa.

Uka dan Gery saling memandang tegang. Mungkin banyak yang mendorong Aslan untuk bersikap lebih dingin dan dewasa tidak seperti biasanya.

Sekali lagi tak ada jawaban selain isak tangis. Bahu Arin bergetar dengan kedua tangan meremas tas mungil jadul miliknya.

"Maaf ...."

Aslan mengangkat alisnya, mendengar suara serak Arin. Satu kata yang Aslan benci mulai dari sekarang. Seolah memang fakta yang pernah ia dengar tentang gadis di depannya kini, diakuinya dengan benar.

"Lo punya hubungan sama Ayah gue?" tanya Aslan. Nadanya tersirat kemarahan yang tertahan.

Arin segera menggeleng. Wajahnya terangkat. Menampakkan wajah pucat dengan kedua mata sembab, membengkak. Kenatara sekali, dia pasti telah menangis berhari-hari.

Perlahan namun pasti, Arin mulai bicara, mengatakan dari awal pertemuannya dengan Pak Raditya yang dijukukinya sebagai seorang penyelamat.

Waktu itu, di saat Arin harus merawat Ibunya yang telah lumpuh total. Ia merelakan untuk memutus sekolahnya, padahal Arin sungguh ingin kembali menginjakkan kakinya untuk menuntut ilmu. Tapi keadaan berkata lain, Ibunya sudah tak bisa berbuat apa-apa. Pada akhirnya ia menjadi tulang punggung keluarga setelah Ayahnya pergi entah ke mana.

Arin juga terpaksa menjadi waitres di gedung yang dihuni oleh para penjudi dan pemabuk. Awalnya Arin takut bekerja, apalagi di hari pertamanya. Ia hanya gadis di bawah umur yang mendapat peraturan untuk memakai jenis pakaian yang ia seharusnya tidak pakai.

[-] 00:00 (Thinking [Be] Like This)  [END] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang