Happy Reading!!!
***
"Astaga, hp lo ribut banget sih, Dev!" kesal Miranda seraya menyerahkan ponsel Devina yang sejak tadi bergetar di sakunya pada si pemilik.
"Salah lo kenapa sita hp gue segala." Devina menerima benda pipih itu dengan segera, melihat siapa yang terus menghubunginya sebelum kemudian memasukan benda itu ke dalam tas dan mengabaikan panggilan masuk yang terus bersahutan.
"Salah lo kenapa selalu cuekin gue kalau udah masuk dunia halu lo itu." Dengus Miranda mencebikkan bibirnya sebal mengingat kebiasaan sahabatnya.
Devina hanya memutar bola mata malas, mengabaikan gerutuan Miranda yang terus berlanjut, bahkan hingga mereka tiba di kantin fakultas, bergabung dengan Gio dan Niko.
"Devin mana?" Devina bertanya begitu duduk di kursi yang beseberangan dengan Gio.
"Noh," Niko menunjuk arah belakang Devina menggunakan dagunya. "Kalian berdua punya apa sih sampai bisa sama-sama di kejar?" tanya heran Niko kemudian.
Devina dan Miranda sama-sama menoleh ke arah yang di tunjuk Niko, dan beberapa meter di belakang sana Devin berada, tengah di kelilingi beberapa perempuan. Tidak ada respons sama sekali dari Devina, perempuan itu hanya melengos acuh. Berbeda dengan Miranda yang terpekik heboh, menggelengkan kepala tak habis pikir, lalu mengamati satu per satu perempuan yang mengerubungi Devin. Semua cantik, Miranda akui itu, tapi geli juga pada mereka yang seolah menjadi semut di antara gula yang terjatuh di lantai.
"Kalian pakai pelet apa sih, Dev?" Miranda bertanya tanpa mengalihkan tatapannya dari Devin yang kewalahan menghadapi semua penggemarnya.
"Pelet terlalu lemah di bandingkan pesona yang memancar alami." Devina menjawab asal, tidak terlalu menanggapi, karena bakso di hadapannya yang baru saja di antarkan Mang Nono lebih menarik perhatian dari apa pun itu.
"Ck, yang cantik emang beda." Gio berdecak kagum. Tidak dapat dirinya pungkiri bahwa Devina memang cantik dan itu alami, no tipu-tipu.
Andai dirinya pun rela di selingkuhi dan tahan banting dengan kecuekan Devina, tidak akan segan-segan ia menembak gadis di depannya. Tapi sayang, Gio yang lemah dan haus belaian tidak akan sanggup menghadapi seorang Devina. Dirinya pun tidak ingin menyandang gelar laki-laki bodoh. Ingat, tidak semua perempuan yang bodoh karena cinta, kenyataannya laki-laki pun banyak, bahkan lebih bodoh. Contohnya ya seperti Zidan dan jajaran mantan Devina lainnya.
"Devina, aku mau bicara."
Mendongak dan melihat siapa yang baru saja bersuara, Devina setelahnya kembali melahap baksoknya begitu tahu bahwa yang ingin mengajaknya bicara adalah Zidan. "Nomong aja."
"Gak disini," Zidan menatap satu per satu orang di meja itu, sebelum kembali terfokus pada Devina.
"Gue lagi makan, lo gak lihat?" Devina mengerutkan kening, kembali menatap kekasihnya.
"Aku tunggu sampai kamu selesai."
"Habis ini gue ada kelas."
Zidan beralih menatap Miranda yang sudah tidak lagi menertawakan kesulitan Devin. Mengerti dengan tatapannya itu, Miranda kemudian mengangguk, membenarkan apa yang di katakan Devina barusan. Itu memang kenyataannya, karena harus semua orang ketahui bahwa Devina pantang untuk berbohong. Wanita itu selalu mengatakan yang sejujurnya meskipun kadang tidak mengenakan bagi lawan bicaranya, termasuk pada perasaannya sendiri. Ah, mungkin tidak semuanya, kerana pada Sadewa, Devina sudah berbohong mengenai perasaan yang sesungguhnya.
Menghela napas pasrah, Zidan akhirnya duduk juga di kursi panjang yang di duduki Gio dan Niko. Menatap Devina yang masih asik dengan makanannya.
"Dev," panggil Zidan sedikit ragu.
"Hem." Hanya itu yang menjadi respons Devina, padahal Zidan inginnya wanita itu menoleh dan menghentikan dulu makannya, tapi sepertinya itu percuma. Zidan harus sadar bahwa di bandingkan dirinya, bakso lebih menarik untuk Devina.
"Apa benar kamu pacaran sama dosen baru itu?" tanya Zidan langsung pada intinya.
"What!!" pekik Gio dan Niko terkejut, lalu menoleh pada Devina dengan tatapan tak percaya juga bertanya. Zidan mengabaikan kedua laki-laki itu.
Pikiran Zidan, Devina akan merespons sebagaimana pasangan yang tertangkap basah tengah selingkih. Namun lagi-lagi Zidan harus sadar, di depannya adalah Devina, yang cueknya mengalahkan gunung Himalaya.
Seharusnya sampai di sini Zidan sadar bahwa tidak ada sedikitpun rasa yang gadis itu miliki. Seharusnya Zidan sudah tahu, karena gosip-gosip yang beredar mengenai Devina sudah dirinya dengar, dan seharusya Zidan juga tahu bahwa menjadi kekasih dari perempuan itu harus kuat hati dan perasaan, Devina tidak mudah ditaklukkan, dan Devina bukan perempuan yang senang dikendalikan.
Dalam hubungannya ini, hanya Zidan yang memakai perasaan, tidak dengan Devina. Dan mungkin ini juga yang di rasakan beberapa mantan Devina yang lainnya, ini juga alasan mengapa semua laki-laki itu tidak bisa membenci Devina. Karena perempuan itu selalu membuat mereka sadar bahwa sakit hatinya di buat oleh mereka sendiri, termasuk Zidan. Ya, tentu ini salahnya, salah mengapa mau menjadi kekasih Devina di saat tahu bagaimana perempuan itu.
Diantara semua laki-laki yang pernah Devina pacari, hanya Gibran yang sedikit beruntung, tapi sayang laki-laki itu menyia-nyiakannya.
Zidan jelas mengetahui semua itu, karena berita mengenai Devina tidak pernah ada yang menutupi, selalu ramai menjadi perbincangan, dan tidak pernah ada penyangkalan dari orang yang bersangkutan.
"Hm." Lagi-lagi hanya sebuah deheman kecil yang perempuan itu beri sebagai jawaban, membuat Zidan menghela napasnya pelan dan berat. Deheman itu Zidan anggap sebagai 'iya'.
Seharusnya ia marah bukan? Tapi sayang, itu tidak mampu Zidan lakukan, bukan berarti dirinya lemah, meskipun pada kenyataannya ia sudah pantas di katai lemah menjadi laki-laki. Namun sekali lagi, ini karena kesalahannya, salah karena sudah berani jatuh cinta pada gadis seperti Devina.
"Itulah devinisi yang membuktikan bahwa orang pintar tidak selalu pintar." Gio berceletuk tiba-tiba.
"Maksud lo?" tanya Miranda tak paham.
"Pak Sadewa pintar 'kan?" ucap Gio menetap satu per satu orang di meja itu. "Iyalah, mana mungkin jadi dosen kalau gak pintar." Dan dia sendiri yang menjawab itu.
"Pintar otaknya doang, tapi hatinya sama-sama bego, kayak lo." Lanjut Gio menoleh pada Zidan, dengan di akhiri cengiran.
Zidan tidak sama sekali tersinggung dengan ucapan Gio, karena dirinya sendiri pun cukup sadar untuk itu. Namun, Zidan bersyukur karena tidak menjadi bodoh seorang diri. Tapi Zidan bingung mengenai apa yang akan dirinya lakukan saat ini.
Kenyataan bahwa Devina memiliki kekasih lain selain dirinya sudah ia ketahui, lalu bagaimana selanjutnya? Haruskah ia tetap menjadi bodoh, atau mengalah dan merelakan Devina untuk dosen baru yang menjadi rivalnya?
Atau mungkin ... ya, bersaing untuk mendapatkan hati Devina yang harus dirinya lakukan.
Zidan menyunggingkan senyum, ia sudah memantapkan tekadnya untuk bersaing dengan dosen baru itu.
***
Tbc ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelabuhan Terakhir
Genç KurguDevina yang sejak awal di nobatkan sebagai playgirl di Universitas Kebaperan, siapa sangka akan terjerat pada pesona sang dosen muda yang baru saja masuk dan langsung menjadi idola seluruh kaum hawa di Kebaperan termasuk dirinya. Hanya saja Davina t...