War tau segala hal yang ia lakukan semata-mata hanya untuk kedua orang tuanya. Bahkan tidak ada bagian dari hidupnya yang berasal dari keinginannya sendiri. Dia hanya sebuah boneka. Benar, dia hanya sebuah boneka bagi kedua orang tuanya. Hidup hanya untuk memenuhi hasrat kedua orang tuanya. Bernafas hanya untuk memenuhi tuntutan orang tuanya. Dan tersenyum hanya untuk terlihat bahagia didepan layar kehidupan glamour orang tuanya.
Hanya satu orang yang selama ini mampu membuat War tersenyum begitu tulus dan ceria. Yin Anan Wong. Sahabat karibnya sejak memasuki jenjang perkuliahan. Salah seorang anak rekan bisnis ayahnya yang mampu membuat War nyaman untuk dekat dengannya. Hampir seluruh masa perkuliahannya dihabiskan War bermain dan belajar bersama Yin.
Menjadi anak tunggal membuat War dituntut sempurna demi menjadi penerus keluarga yang mumpuni. Otak yang cerdas, sikap yang bijak, dan aura yang tegas. War dituntut mampu menguasai segala hal tentang bisnis diusianya yang terlampau muda. Hal ini menjadikan War sukses ketika diusia matang. Sangat berbeda dengan Yin. Pria itu memiliki dunianya sendiri karena orang tuanya tidak menuntut dirinya mengikuti jejak sang ayah. Memiliki seorang kakak membuat Yin dapat meraih cita-citanya sendiri dan tidak terbatas pada lingkup keluarganya.
Perbedaan ini yang membuat War sangat senang berteman dengan Yin. Ia jadi dapat mengetahui dunia luar selain bisnis perusahaan yang penuh intrik dan startegi. Begitu pula dengan Yin, ia begitu nyaman dengan War yang bahkan tetap bersedia menjadi rumah keduanya meskipun dalam keadaan lelah luarbiasa.
Hanya saja sebuah kesalahan dilakukan oleh War. Kesalahan yang hingga saat ini ia simpan rapat-rapat untuk dirinya sendiri. Ia mencintai Yin. Entah sejak kapan maniknya lebih bersinar ketika menatap kelereng pekat Yin saat pria itu bercerita penuh suka cita. War juga tidak tahu sejak kapan jantungnya berdebar begitu kencang saat mereka menghabiskan hari berdua didalam kamarnya atau kamar Yin. Cukup berdua seharian. Entah itu hanya untuk menonton film, atau bermain games bersama. Bahkan hanya untuk sekedar makan bersama telah membuat War berdegup tidak beraturan.
Oksigen disekitarnya terasa hilang saat Yin datang kehadapannya dan memperlihatkan foto seorang gadis cantik yang akan ia dekati. Yin bercerita dengan begitu ceria. Maniknya begitu bersinar saat mengisahkan gadis itu, mirip seperti War yang sedang menceritakan Yin. Dan War tahu, bahwa dirinya harus mundur.
.
.
.
"Aku ingin membawanya ke orang tuaku. Bagaimana menurutmu?" Yin terlihat sangat bersemangat menceritakannya pada War. "Aku bahkan membuatkan sebuah lagu untuknya. Ah! Aku tidak sabar melihat reaksinya, War!" keduanyanya tertangkup didepan dada. Wajah pria tampan itu berseri penuh kebahagiaan.
"Lakukan apa yang kau inginkan. Katakan padaku jika kau butuh bantuanku" hanya itu yang dapat War katakan. Setidaknya kali ini ia harus berterimakasih pada kedua orang tuanya yang telah mengajari War hidup dalam sebuah sandiwara sejak dini. Bibir itu tetap tersenyum begitu lebar untuk Yin. Tapi manik itu kehilangan sinarnya.
"Aku akan membawanya sabtu ini kepada kedua orang tuaku. Doakan aku, oke" tangannya menggenggam erat jemari War. Meminta dengan sangat doa dari sahabat yang sudah menemaninya sejak lama.
War membentuk jemarinya 'oke' pada Yin dan berpura-pura sibuk memakan carbonara dihadapannya. Ia sengaja. Agar suara bergetarnya tidak sampai terdengar ke telinga Yin.
.
.
.
Sejak Yin mengatakan akan mengajak gadisnya bertemu dengan kedua orang tua pria itu, War menjadi sering tidak fokus. Pekerjaannya cukup berantakan. Bukan ia tidak profesional, tapi nafsu makannya menurun drastis dan jelas mengganggu kesehatannya. Kejadian ini tidak luput dari pantauan kedua orang tuanya.