Uang Receh
"Beli," lirih anak kecil, dengan berpakaian lusuh, di depan pedagang kue cubit.
"Beli," lirihnya lagi sambil menyodorkan uang di tangannya. Sang penjual hanya melirik sekilas, kemudian lanjut melayani pembeli yang ramai mengerubungi.
Merasa tidak dihiraukan, anak laki-laki itu memilih duduk tak jauh dari sana, menunggu pedagang itu lengang dari pembeli.
Raut wajahnya sedikit meringis sambil memegangi perutnya. Banyak pengunjung di pasar sana, namun tidak ada yang peduli pada anak kecil itu.
"Pak," panggil anak laki-laki itu lagi, mendekati pedagang kue yang ditunggunya.
"Apa?"
"Beli," kata anak itu sambil menyodorkan uang.
"Maaf, uangnya gak laku. Sana beli ke yang lain aja, siapa tau mau duit receh." Pedagang itu menolak kepingan koin dua ratusan dari anak itu, dan menyuruhnya pergi dari gerobaknya.
Seketika anak itu membalikkan badan, sambil mengusap air mata yang mulai menetes. Dilihatnya koin sepuluh biji di tangan. Sekali lagi ia menoleh ke belakang pada gerobak dorong itu, berharap belas kasih. Namun pria tanggung itu tampak sibuk menata kue dagangannya.
Anak laki-laki itu menoleh ke arah kiri, tak jauh di sana ada anak perempuan lebih besar darinya sedang memangku anak balita yang tertidur.
Anak laki-laki itu kembali melihat uang receh di tangan, kemudian manik matanya melihat ke pinggir jalan. Ia pun berjalan ke sana, berharap penjual gorengan di pintu masuk pasar itu mau menerima uang recehan.
Lagi-lagi anak itu mengusap air mata, ditolaknya uang receh itu lagi. Pedagang gorengan itu kira anak itu ada uang lain, mungkin ada di ibunya. Dugaan salah, anak itu sejak kemarin aku lihat duduk di depan toko yang sudah tutup lama.
"Dek!"
Suara serak seorang laki-laki memanggil anak itu.
"Iya, Pak."
"Ini, ambil. Sana beli kue, buat Kaka dan adikmu. Maaf, tadi bapak sibuk, pasar rame. Banyak motor parkir," ucap bapak penjaga parkir.
Anak itu menerima uang dari bapak itu, matanya kembali berembun melihat uang kertas lima lembar.
"Bapak adanya uang dua ribuan," kata bapak itu lagi, sambil terkekeh.
"Terima kasih banyak, Pak. Terima kasih." Anak itu langsung berlari membeli kue cubit. Uang dari tukang parkir itu ia pakai dua lembar.
Setelah membeli kue cubit, anak itu menghampiri kakak dan adiknya depan toko di pojok sana. Adik yang masih balita begitu lahap memakannya, membuat anak laki-laki itu urung mengambil untuk sendiri.
"Ini, kita makan saling separo." Sang Kaka perempuan mengulurkan sebagian kue cubitnya. "Maafin Kaka, ya. Seharusnya Kaka yang cari uang, buat kita makan."
"Jangan, Kak. Kaka jaga adek aja, biar aku yang cari makan," ucap anak yang baru ku ketahui bernama Ari.
Di halaman pasar sana, terlihat bapak yang memberi uang tadi sedang repot. Ari pun bangkit hendak ke sana.
Anak laki-laki itu membantu pak Tejo, memundurkan motor milik orang yang hendak keluar dari parkiran. Seketika pak Tejo si tukang parkir tersenyum. "Makasih, Dek."
"Nah, kalau begini kan, cepet," ucap pemilik motor, kala terasa terbantu oleh Ari.
Hal itu membuat pak Tejo tersenyum malu, pasalnya, tubuhnya tidak sempurna. Tangannya tidak memiliki telapak dan jari. Hingga menarik motor pun ia tidak bisa.
"Dek, rumahnya di mana?"
"Kami gak ada rumah, sejak bapak meninggal kecelakaan. Ari sama Kaka dan adik tidur di depan toko."
"Tapi bapak baru liat?"
"Kemarin kemarin tidur di masjid, tapi lama-lama gak dibolehin."
Suara ngaji dari masjid mulai terdengar, pak Tejo pun ingin pulang bersiap salat Jumat. "Panggil Kaka sama adikmu, ikut bapak pulang. Kalian boleh tinggal sama bapak."
"Bener, pak?"
Pak Tejo mengangguk sambil tersenyum. "Kebetulan bapak juga sendiriian, kalian bisa tinggal temenin bapak."
Jika ada pohon menangis, mungkin aku sudah menangis. Semoga kebaikan pak Tejo dibalas oleh Allah.
Tamat