P R O L O G

16 2 0
                                    

Kemarin, aku mengetuk-ngetuk meja dengan perlahan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kemarin, aku mengetuk-ngetuk meja dengan perlahan.
Kuhitung tiap detik dimana sepi merambat pada setiap sel dalam diriku.
Berdesir, netraku menyipit.

Ah...
Aku menemukan sebuah gelagat baru.
Mengabsen tiap jengkal lipatan porosnya.
Ya.
Dia akan mati, ditanganku.

***

The Mask-Prolog

18.55, 2.20.

Kamu mengerti?

***

"Don't mess with my mask, or you will die."

"Dan gue yakin, lo nggak seberani itu ngebunuh orang."

"Oh, ya?"

Lidahnya bergerak, mengabsen seluruh jengkal lapisan email dalam giginya. Menunduk sekali lagi, bibirnya menyunggingkan senyum tipis. Senyum tipis yang membuat hawa disekitar mereka lebih mencekam.

Jarinya bergerak, mengetuk permukaan pembatas balkon dengan gelagat menganehkan. Lantai empat, menjadi saksi, dua orang dengan kepribadian berbeda tengah berdiri menodong semesta. Dibalik tudung hoodienya, dia tertawa remeh. Menunjuk ke depan, dengan tatapan tertarik.

"Dari arah kiri, ada bus yang melaju dengan kecepatan sedang, dari arah kanan mini bus melaju kencang. Ditengah-tengah ada motor yang tiba-tiba melintas. Siapa yang akan mati di tempat?"

"Nggak akan ada yang mati."

"Oh.. jawaban memukau," kekehnya sarkastik. "Lo.. bodoh ya?" tanyanya dengan tatapan remeh.

"Kematian orang lain itu bukan urusan kita. Kita nggak akan pernah tahu, kapan nyawa kita dicabut sama Tuhan." jelas cowok itu tajam. "Dan, lo nggak berhak mengira-ngira kematian seseorang."

"This is true, but... gue punya cara gimana mati dengan mudah," tawa melengking itu terdengar ditengah kesunyian. Benar-benar mengerikan. Namun, cowok disebelahnya tetap berdiri lurus. Mencari tahu, emosi apa yang disimpan manusia bertudung disebelahnya.

"Lo nggak sakit. Lo menyakiti diri lo sendiri, dengan pikiran aneh lo."

"I love my thoughts." ucapnya menggeram. "Disini, banyak hal yang buat gue menjadi lebih bahagia."

"Menolak kenyataan bukan alasan tepat dimana lo bahagia."

Mendengkus, menghitung ketukan jari-jemarinya dengan keras. Tangannya bergulir, menciptakan sebuah gambar berbentuk atap. Hanya sebagai sketsa. Seolah menunjukkan arti yang mendalam.

Tanda titik tiga beserta aliran darah, terbentuk disisi buku yang dibawa manusia bertudung itu. Menggesernya, seolah membuat laki-laki itu mengerti, atas segala persepsi dalam pikirannya.

"Disatu atap yang sama, manusia bisa mati dalam keadaan berbeda. Yah.. gue bisa melakukannya, tapi gue memilih mendiamkannya. Membunuh untuk dibunuh. Hal yang mendasari gue, masih berpijak di bumi."

***

Tbc

I love my thoughts.

Xixi, heyho!
Bagaimana dengan prolognya?

Soon, kita bermain bersama dicerita ini.

Semoga suka yaw!🖤

Jangan lupa vote dan komen;)

Next?

Tertanda, alrainn.



Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 09, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

THE MASKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang