BAGIAN 5

249 14 0
                                    

"Hm.... Mereka tidak sadar kalau lawan telah mengecohnya!" dengus Nyai Kati dengan wajah bersungut-sungut menahan kesal.
"Tipuan yang dilakukan musuh-musuh kita mengena. Setelah keributan tadi, lalu disusul mayat-mayat ini yang tergeletak mengenaskan, sudah pasti mengundang amarah pihak kita," timpal Ki Walang Ijo.
"Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Ki Gempar Persada.
"Mungkin menerima nasib," sahut Nyai Kati, setengah tersenyum. "Kita bagi tugas. Terserah kalian, tapi aku punya usul. Mereka mungkin hendak membebaskan gadis itu, atau menghabisi kita semua. Nah! Biar aku menjaga gadis itu. Dan kalian berdua, membantu yang lain. Siapa yang tidak setuju, boleh menggantikan tugasku!"
"Baik! Kau telah membagi tugasmu. Biar kami bersama mereka!" sahut Ki Walang Ijo.
Ki Gempar Persada pun setuju. Maka ketiganya langsung bergerak ke arah tujuannya masing-masing. Apa yang diduga memang demikian. Kedua sosok tubuh yang terlihat tadi mengecoh habis-habisan. Sehingga membuat para tokoh persilatan itu tercerai-berai. Meski Ki Polong dan yang lain memberi perintah pada murid-muridnya untuk mengepung seluruh kawasan ini secara perlahan-lahan, namun hasilnya tetap nihil. Beberapa orang menjerit panjang. Lalu ketika dihampiri, terdengar jeritan dari arah lain. Rata-rata mereka tewas secara mengenaskan. Tentu saja kejadian ini amat menjengkelkan, sekaligus menimbulkan amarah mereka semua.
"Kurang ajar! Kembali! Ayo, kita kembali...!" teriak Ki Polong memberi perintah pada murid-muridnya.
Bagai semut beriringan, mereka berduyun-duyun kembali ke padepokan. Namun begitu, korban kembali berjatuhan. Sehingga, semakin membuat mereka kalang kabut saja. Sementara itu, Ki Walang Ijo dan Ki Gempar Persada bukannya tidak berusaha membantu. Begitu melihat dua sosok bayangan berkelebat ringan, mereka langsung mengejar.
"Keparat busuk! Jangan lari kalian! Yeaaa...!"
"Hehehe...! Dua ekor kerbau dungu berlagak hendak menjadi harimau?! Hehehe...!" terdengar sahutan disertai tawa panjang yang menyakitkan telinga. Jelas, orang itu memiliki tenaga dalam tinggi.
"Hiiih!"
Seketika dari arah tawa tadi, melesat seberkas sinar kuning yang langsung tertuju pada Ki Walang Ijo. Cepat bagai kilat, orang tua itu berusaha memapaknya.
Plak!
"Aaakh!"
Ki Walang Ijo terkejut, ketika telapak tangannya seperti menghantam dinding baja yang tebal bukan main. Belum lagi habis rasa terkejutnya, tiba-tiba berkelebat satu bayangan Dan tahu-tahu tubuh Ki Walang Ijo terjungkal ke belakang terkena satu tendangan keras. Bersamaan dengan itu, terdengar pula jerit tertahan dari arah lain Dan tampaklah tubuh Ki Gempar Persada terjungkal tidak jauh darinya.
"Hihihi...! Pergunakan kesempatan hidup ini sebaik-baiknya. Sebab esok atau nanti kalian tidak akan menikmatinya lagi! Hihihi...!" ejek satu suara lain yang terdengar nyaring.
Ki Walang Ijo dan Ki Gempar Persada buru-buru bangkit dengan satu lentingan indah. Namun baru saja kedua kaki mereka menjejak tanah, dua bayangan telah melesat cepat pergi dari tempat itu. Kedua orang itu hanya bersungut-sungut kesal sambil menahan nyeri di dada. Mereka bertatapan sesaat, kemudian bersama-sama meninggalkan tempat itu menuju ke Padepokan Kalong Wetan.
"Ki Walang Ijo...! Ki Gempar Persada...! Kalian tidak apa-apa?! Maafkan kekeliruan kami...!" seru Ki Polong seraya memapah mereka berdua, dibantu beberapa orang muridnya.
Sementara itu Nyai Kati berlari-lari menghampiri keduanya dari arah belakang.
"Bagaimana? Tampaknya kita menghadapi musuh yang cukup kuat!" tanya wanita tua itu seraya menghela napas dan menggeleng lemah.
"Entahlah. Sepertinya aku kenal dengan pukulan itu," sahut Ki Walang Ijo, lemah.
"Aku pun begitu," timpal Ki Gempar Persada sambil mengerutkan dahi berusaha mengingat-ingat.
"Aku yakin! Siapa pun mereka, ini pasti ulah si Netra Buana!" dengus Nyai Kati geram.
"Bagaimana tawanan itu?" Tanya Ki Walang Ijo.
"Dia tidak apa-apa. Aku menyuruh murid-murid Ki Polong untuk melipatgandakan jumlah penjagaannya."
"Hm, bagus!" sambut Ki Walang Ijo.
"Apa yang menurutmu bagus? Kalian bisa terkena hantaman dua sosok tadi. Kalau mereka hanya anak buahnya, lalu bagaimana si Netra Buana sendiri? Kepandaiannya mungkin telah maju pesat. Dulu saja dengan susah payah baru kita berhasil mengalahkannya!" dengus Nyai Kati kesal.
"Tidak usah menyalahkan. Bukankah itu pun usulmu, agar kita mengampuninya?" Sahut Ki Walang Ijo.
"Dia telah masuk jurang. Apalagi yang kita harapkan...?"
"Yang lain bersedia mencari dan memastikan kematian, tapi kau mencegah!"
"Menurutku saat itu dia tewas. Dan kalaupun masih bisa hidup, paling tidak akan insaf dan tidak akan mengulangi perbuatannya lagi," sahut Nyai Kati dengan suara lemah.
Ki Walang Ijo sudah akan menimpali, namun Ki Gempar Persada sudah langsung menengahinya.
"Sudahlah. Tidak ada yang perlu membicarakan soal masa lalu. Kita semua salah. Sebab orang-orang seperti kita terlalu berharap, kalau orang jahat sekalipun masih ada kesempatan bertobat. Kini lebih baik kita urus mereka yang tewas dan mengebumikannya secara layak"
"Ya! Apa yang dikatakan Ki Gempar Persada benar. Alangkah lebih baiknya kita mengurus mereka yang tewas," lanjut Ki Pintur Gumelar.
"Apakah mereka tidak akan datang lagi...?" tanya Ki Polong ragu. Semua terdiam beberapa saat.
"Kurasa hari ini tidak. Sebab kalau mereka menginginkannya, mungkin kita semua akan celaka. Mereka sengaja hendak mempermainkan kita perlahan-lahan," sahut Nyai Kati.
"Baiklah. Kita urus mereka yang tewas sekarang juga."
Ki Walang Ijo segera berlalu membantu yang lain mengurus mayat-mayat yang bergeletakan di halaman padepokan ini maupun diluar.

147. Pendekar Rajawali Sakti : Tongkat Sihir Dewa ApiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang