Jisung adalah junior Minho di masa sekolah menengah pertama. Mereka memang tak begitu dekat, namun karena beberapa lomba yang mereka ikuti, mereka sering kali terlihat mengobrol. Kelas keduanya yang merupakan kelas unggulan juga membuat mereka saling bertemu karena memang kelas yang sedikit 'diisolir' dari kelas yang lainnya. Sapaan ketika mereka bertemu adalah yang biasa terucap dan yang hanya terucap antara keduanya. Junior dan senior. Memang itulah hubungan keduanya ketika masa sekolah menengah.
Memasuki sekolah menengah atas yang sama tidak membuat keduanya menjadi lebih dekat, lagi-lagi hanya sekedar sapaan yang terucap ketika mereka bertemu. Perbedaan angkatan juga sebenarnya menjadi penghalang lain, karena kali ini, kelas mereka diletakkan berjauhan. Jisung menjalani kehidupan sekolah dan cintanya tanpa Minho. Begitu pula dengan Minho. Menjalani semua kehidupannya tanpa Jisung.
Entah kapan hal itu berubah dan membuat keduanya menjadi sangat dekat sekarang. Mungkin sejak mereka kuliah di daerah yang sama dan merasakan hal yang mirip sebagai seorang perantau. Atau mungkin sejak Minho membantu memilihkan jurusan kuliah untuk Jisung karena juniornya itu merasa tak cocok dengan jurusan manapun. Yang pasti, sudah hampir satu tahun, atau mungkin lebih?, keduanya sering menghabiskan waktu bersama. Menonton bioskop, makan malam, atau bahkan bermain di arkade bersama-sama. Ketika Minho merasa lelah dan bosan, Jisung akan sigap mengajaknya keluar dan begitu pula sebaliknya.
Obrolan mereka pun entah sejak kapan menjadi sangat dalam dan menjadikan satu sama lain sebagai support system. Jisung yang saat ini berada di tahun kedua perkuliahan mulai merasakan beban kuliah terlebih organisasi. Jurusan arsitektur yang ia geluti pun sering membuatnya begadang bahkan lebih dari dua hari pria itu tak tidur hanya untuk menyelesaikan deadline yang ada dan itu membuatnya sangat stres. Merasa butuh sedikit selingan dari semua urusan perkuliahan, ia membuka ponselnya dan memutuskan menelpon Minho.
"Ayo main. Aku sangat lelah." Seperti biasanya, Minho yang memang sudah mengalami fase yang sama pun mengerti dan tanpa ragu mengiyakan ajakan Jisung yang sering dadakan itu.
Kini keduanya terduduk di salah satu restoran yang ada di dalam mall. Seperti biasa, keduanya memutuskan untuk menonton bioskop. Namun karena film yang mereka pilih baru akan tayang dua jam lagi, mereka memutuskan untuk mengisi perut terlebih dahulu. Keduanya terdiam menunggu makanan yang mereka pesan datang. Minho tahu Jisung sebenarnya ingin mengatakan sesuatu, namun bingung memulai.
"Gimana kuliah?" Akhirnya Minho yang memulai. "Gimana apanya?" Jisung pura-pura tidak mengerti. Ia masih ragu untuk bercerita karena rasanya ia selalu mengeluhkan hal yang sama pada Minho. "Tugas numpuk kayak biasa?" Ah, tepat sasaran. Jisung hanya bisa tersenyum. Ini apakah memang Minho yang sangat mengerti dirinya, atau Jisung yang sangat mudah ditebak? Mungkin keduanya?
Pancingan-pancingan yang Minho berikan ternyata berhasil, membuat Jisung lagi-lagi menyeruakkan keluh kesahnya kepada yang lebih tua. Mulai dari tugas yang menumpuk, membuat waktu tidurnya harus ia korbankan. Oganisasi yang pula menagih deadline, beberapa anggotanya yang menghilang membuat Jisung harus menanggung tugas mereka dan mengerjakan semuanya. Jika sudah begini, siapa yang tidak merasa lelah dan stres? Minho dengan setia mendengarkan semua yang Jisung katakan dan memberikan beberapa masukan atau kalimat penyemangat agar Jisung tahu ia tak sendirian.
"Ho, aku tahu hal-hal di dalam perkuliahan sangat melelahkan. Kau pasti sudah pernah melewatinya juga. Jadi seperti saranmu sebelumnya, aku juga mencari distraksi sesaat. Kau tahu apa distraksi yang kutemukan?" Mulutnya berbicara tapi matanya melihat pelayan datang membawa makanan mereka. Setelah mengucapkan terima kasih kepada sang pelayan, Jisung mulai menyantap makanannya dan berhenti berbicara. Merasa tak mendapat penjelasan, Minho bertanya, "Apa distraksi yang kau temukan, Ji?" "Makanlah dulu. Nanti aku ceritakan." Minho memutar matanya malas tapi tetap melakukan apa yang dikatakan Jisung. Keduanya makan dalam diam, menikmati hidangan yang ada di depan mereka, menikmati kehadiran satu sama lain. Biasanya mereka memang masih mengoceh bahkan ketika makan, tapi kali ini berbeda. Mungkin mereka sedang larut dalam pikiran masing-masing. Suasana restoran yang tak terlalu ramai menambah suasana nyaman yang ada di antara keduanya. Membuat mereka makin larut dalam diam.
Masih ada sekitar setengah jam sebelum film dimulai saat hidangan keduanya habis. Tak sabar dengan penjelasan Jisung, tepat setelah yang muda menyampingkan alat makan, Minho memasang wajahnya, mengatakan 'apa yang akan kau bilang tadi?' dengan wajahnya. Satu tarikan napas Jisung ambil, menyamankan duduknya lalu berkata, "Distraksiku melakukan deep talk dengan orang lain." Tak ada yang aneh. Minho bahkan sering melakukannya, berbicara tentang masalah serius, saling bertukar pikiran, dan bahkan Jisung sering menjadi lawan bicaranya akan itu. Melihat Minho yang tidak puas dengan jawabannya, Jisung melanjutkan, "Memang terkadang tak ada yang spesial dengan obrolannya. Tapi ada satu obrolanku dengan salah satu teman kampus yang membuatku menyadari sesuatu."
"Manusia itu berbeda." Lanjutnya. Oh ayolah, Minho tahu itu. Dan ia yakin jika Jisung memiliki maksud yang lain, "Ji, you can say anything to me. Kau tahu aku pasti akan berpikir sebelum menilai sesuatu." Tersenyum, Jisung malah bertanya hal lain. "Aku tahu. Minho, apa pendapatmu mengenai kaum LGBT?" Lampu dalam kepala Minho mulai menyala. Ia mungkin tahu kemana arah pembicaraan ini, tapi ia tak ingin asal menyimpulkan, "Di negara kita masih sangat banyak pro dan kontra tentang masalah ini. Tapi, ada apa dengan kaum LGBT?" "Tidak ada, hanya saja satu obrolanku dengan teman kampus itu ya tentang LGBT." Minho berpikir sejenak, merangkai kata yang harus ia katakan agar Jisung tak salah mengambil arti. "Aku sendiri tak bisa banyak berkomentar. Tapi aku memiliki beberapa teman dekat yang juga bagian dari komunitas LGBT." Jisung lagi-lagi tersenyum. Mungkin ia memang bisa mempercayakan hal ini pada Minho.
"Minho, aku gay." Jisung tiba-tiba saja berkata. Wajahnya terlihat sangat santai, menampilkan senyum tulusnya meskipun sebenarnya ia merasa gugup akan reaksi Minho. Beberapa detik berlalu tapi Minho tetap diam, tak mengeluarkan suara apapun. Minho sebenarnya punya feeling tentang arah pembicaraan tadi dan ternyata memang benar, Jisung gay. Dia sudah menyiapkan hati tapi tetap saja, mendengar hal itu keluar langsung dari mulut Jisung rasanya sedikit membuatnya kaget.
"Oh" hanya kata itu yang keluar dari mulut Minho. Jisung hanya menghela napas, mungkin Minho butuh waktu berpikir dan mencerna semuanya. Tapi tak dapat dipungkiri ia sedikit kecewa dengan reaksi Minho. Melihat jam di tangan, Jisung bersyukur film yang akan mereka tonton tayang sebentar lagi, waktunya untuk melupakan hal tadi dan beranjak.
"Kau tetap akan menonton?" Tanya Jisung sembari bangkit dan mengambil dompetnya untuk membayar bagiannya. "Aku sudah membayar untuk tiketnya, bodoh" Minho ikut bangkit dan pergi ke kasir untuk membayar bagiannya juga. Berjalan ke luar restoran dan menuju bioskop Jisung melanjutkan, "Siapa tahu kau jadi jijik padaku dan memilih untuk pulang" Canda Jisung. Ah mungkin sebenarnya bukan bercanda, ia hanya ingin memastikan reaksi Minho selanjutnya, memikirkan apakah ini akan menjadi akhir pertemanan mereka. Tapi yang selanjutnya Jisung dapatkan adalah tempeleng keras di kepalanya, ah mungkin bisa dibilang pukulan juga? Karena sungguh, Minho tak main-main dalam menempeleng kepalanya. "YA! Itu sakit! Aish!" Minho hanya memutar bola matanya. "Bullshit. Cepatlah, atau kau ketinggalan film" Minho berjalan lebih cepat dan meninggalkan Jisung. Senyum tipis terlihat dari wajah keduanya.
-End-
16/09/20
KAMU SEDANG MEMBACA
Evasione | Minsung ✅
FanfictionEvasione : (n) deliberately avoiding something that you are supposed to do or deal with. --- Jisung dan Minho menghabiskan waktu bersama ketika salah seorang di antara mereka membutuhkan sedikit distraksi dari kehidupan sehari-hari. ✨bxb ✨bahasa ✨c...