Semai Asmara

1.1K 118 23
                                    

Namanya Ibu Arsanti, perempuan yang telah mengandung dan melahirkan Reyfan.

Baik, murah senyum, dan humble dengan siapapun.

Kalau begini, rasanya aku seperti tinggal bersama Ibuku sendiri. Memang sosoknya benar-benar seperti mertua idaman.

Seperti leher yang tercekik--sulit napas, aku menyenderkan tubuhku di kursi besi. Mengatur napas kesekian kali, tapi tetap sukar.

Lalu lalang perempuan berpakaian rapih, membawa setumpuk kertas yang kuyakin itu adalah script. Menoleh sekilas, ada pula yang sampai mampir menanyakan keadaanku. Hanya gelengan, lalu membiarkan mereka kembali sibuk dengan aktivitas nya.

Kalimat pagi itu, sebelum pesawat menuju Jakarta melayang,  terus menjerat leherku menghambat saluran napas.

Tiga hari berlalu, bekas jeratan masih terasa. Jeratan ghaib, yang kuciptakan sendiri.

Reyfan--satu-satunya yang bisa mengalihkan, malah diam dengan sejuta senyumnya.

"Pokoknya, sebulan lagi Ibu mau Reyfan pulang Ke Jember setelah itu ke rumah Nadira, bilang orang tuamu kami akan melamar kamu, Nak."

Batinku yang rusak--belum sepenuhnya sembuh ini, kembali dikoyak. Dalam diriku memberontak, mengutuk kalimat yang dengan santainya masuk ke gendang telinga. Fatalnya, otak dan hatiku menjadi tak sinkron.

Terjebak.

Mengapa aku harus membuka diri untuk Ibu Arsanti jika akhirnya aku menutup untuk anaknya?

Itu kesalahanku. Memberi lampu hijau, sedang yang kumaksud hanyalah berbuat baik. Bersikap ramah bukankah itu wajar? Apalagi kepada seorang yang lebih tua.

Tapi, sayang. Bu Arsanti terlalu membawa perasaan, sampai akhirnya membuatku terjebak.

Menerima telepon darinya saja aku langsung gemetaran, panas dingin, dan rasa takut menggelutiku. Bodoh. Trauma yang kuciptakan sendiri ternyata tak pernah bisa luput dari diriku.

Tiga malam dihantui rasa takut. Sejak kesalahan terbesar itu, aku paling takut untuk membuat kesalahan yang menyangkut hati orang. Dan saat ini, hati Ibu Arsanti ada di tanganku.

Apakah aku menyakitinya jika akhirnya aku menolak?

Gelisah ini bukan dengan Reyfan, justru dengan Ibunya. Sungguh, aku tak mau ia terluka karena harapnya tak terpenuhi hanya karena keegoisanku.

Dua puluh empat bulan aku belajar mati-matian untuk mengontrol ego. Dan sekarang, aku harus diuji tentang itu. Apakah ego-ku yang akan memenangkan kembali? Hingga akhirnya membuat kesalahan baru yang menyakiti satu hati lainnya.

Aku pernah meminta pada langit malam, pada bintang yang benderang, juga pada lembayung senja yang menyembul di ufuk barat. Meminta agar diriku berguna bagi orang lain. Apakah ini sebuah jawaban? Bahwa Ibu Arsanti menginginkanku masuk dalam keluarganya, sebagai tanda bahwa aku manusia yang dibutuhkan oleh manusia lain?

Sadar duduk terlalu lama, aku bangkit menuju ruangan kerja. Satu kotak cokelat teronggok di atas mejaku, membuat dahiku mengkerut.

"Tadi ada yang nganter, langsung aku taruh di mejamu. Nggak papa, kan?" Lelaki berkemeja biru pudar mengatakannya padaku, mengalihkan fokusnya dari menatap laptop. Aku hanya mengangguk, menggeser tubuh untuk duduk di kursi putar.

Dengan sedikit tremor, aku membuka kotak kardus cokelat ini. Polos, tak ada tulisan ataupun note di bagian depan.

Persegi. Kain hijau dibungkus plastik bening, aku tak tahu pasti ini apa.

Kukeluarkan, lalu kugerai kain yang ternyata adalah sebuah baju. Di bagian paling bawah, yang tadinya tertutup oleh baju itu, ada satu kertas kecil. Kurasa ini adalah note.

NADIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang