NADINE POV
Aku menarik koperku, setelah perjalanan yang cukup jauh, disinilah aku sekarang.
JAKARTA.
Lebih tepatnya, sekarang aku ada di bandara. Sudah cukup lama aku tak menginjakkan kakiku di kota ini. Ya, sekitar 2 tahun.
Rasa senang dan sedih menghampiri diriku di saat yang bersamaan, aku senang, dengan kembalinya aku ke kota ini, aku bisa menemui satu-satunya keluarga yang menyayangiku, tapi aku sedih, karena aku harus meninggalkan oma dan opaku dan kembali tinggal bersama orang yang membenciku dan orang yang telah membuat hidupku seperti sekarang ini.
Ah, sudah la. Tidak ada gunanya aku mengeluh, sekarang aku sudah ada di sini, dan aku tidak mungkin kembali lagi.
Aku menaiki taxi online yang sudah aku pesan. Setelah menempuh perjalanan yang cukup macet, akhirnya aku sampai di tempat yang menjadi rumah bagi penghuninya, tentunya tidak bagiku. Aku keluar dari taxi.
"Pak, ini, kembaliannya ambil saja"
"Makasih" ujar supir taxi lalu pergi meninggalkan perkarangan rumah ini.
Aku menghela nafasku, menatap rumah mewah yang ada di hadapanku. Rumah yang menjadi saksi kebahagiaan keluarga ini, rumah yang menjadi saksi kehancuran hubunganku dengan mereka karena kehadirannya.
Aku mengetuk pintu itu dan langsung masuk ke dalam, yang pertama kali aku lihat adalah keluarga bahagia. Mereka sedang berkumpul, menonton tv bareng, dan bercanda-canda, TANPA KEHADIRANKU.
Kelima orang itu berdiri, papa dan mama memandangku dengan tatapan kebencian, bang Vino memandangku dengan sebuah senyuman, Bella, dia juga mengulaskan sebuah senyuman, dan tidak ada sorot kebencian di sana seperti sebelumnya, dan yang terakhir Liva, dia memandangku dengan tatapan kebencian dan senyuman kemenangan.
Aku mengabaikan semuanya dan langsung naik ke kamarku. Di tangga, aku masih bisa mendengar semua cacian mereka.
"Baru pulang juga udah gak sopan aja." itu suara Liva.
"Gak tahu sopan santun banget jadi anak." itu suara papa.
"Untung tidak ada yang tahu kita memiliki anak seperti dia." Dan, itu suara mama, perkataan yang diucapkannya yang paling menyakitkan, tapi sudah la, tak ada gunanya memikirkan perkataan mereka.
CEKLEKKK
Aku membuka pintu kamarku. Sebuah senyuman mengembang di wajahku, semuanya masih sama seperti sebelumnya.
Aku menaruh koperku di samping kasur king size milikku, lalu merebahkan tubuhku di atasnya.
TOK ! TOK ! TOK !
"Dek, ini gue." Itu suara bang Vino. Aku beranjak dari kasurku, membuka pintu kamarku, dan langsung memeluknya.
"Kangen," ujarku.
"Too," jawabnya.
Dia, satu-satunya orang yang tidak membenciku, dia satu-satunya orang yang selalu mendukungku, dia satu-satunya orang yang menyayangiku, dia satu-satunya orang yang tidak menginginkan kepergianku ke London.
"Gimana di sana?" Tanyanya."Gak gimana-gimana, tapi yang pasti di sana lebih baik dari pada di sini"
"Lo capek gak?"
"Enggak sih, kenapa?"
"Mau jalan-jalan?" Tanpa ragu aku menganggukkan kepalaku. Sudah lama aku tidak menghabiskan waktuku untuk berjalan-jalan bersamanya.
Kami berjalan menuruni anak tangga, ketika sampai di lantai bawah, dia langsung menghentikkan langkah kami.
"Bang Vino mau ke mana?" Tanya Liva
"Jalan-jalan" jawab Vino seadanya.
"Ma,Pa, kita berangkat dulu" Pamit Vino.
"Bang, aku ikut ya, bosen di rumah terus. Boleh kan?" Tanya Liva.
"Iya, Vino. Ajak Liva gih, kasian dia bosen di rumah, ajak Bella juga. Kamu kan udah lama gak pergi bareng adik kamu. Lebih baik kamu perginya sama mereka dari pada sama anak itu"
Aku memutar bola mataku malas mendengar apa yang mama katakan. Kalau tahu mereka akan ikut lebih baik aku menolak ajakan bang Vino, niatnya ingin jalan berdua malah jalan berempat. Tapi, ya sudah la.
"Nadine tunggu di depan" ujarku.
Aku keluar dari rumah, menunggu di dekat mobil bang Vino. 10 menit aku menunggu tapi mereka tak kunjung keluar.
"Gini nih kalau ngajak Liva, ada aja yang buat lama. Nyebelin banget sih"
15 menit aku menunggu di luar, tapi tak ada tanda-tanda mereka akan keluar. Seharusnya aku meminta kunci mobil bang Vino, jadi aku bisa ngadem di dalam mobil dan tidak harus kepanasan seperti ini.
Aku mengambil handphoneku. Kuputuskan untuk menelfon bang Vino, telfon itu di jawab bersamaan dengan keluarnya mereka.
"Duh, ngapain di jawab sih kalau kayak gitu?" Kesalku.
"Maaf ya lama, nunggu Liva"
Sesuai dugaan, Liva yang membuat aku menunggu 17 menit. Pasti ada saja yang dilakukan gadis.
Bang Vino menghidupkan mobilnya, aku membuka pintu tapi Liva segera menghentikanku.
"Gue yang duduk di sebelah bang Vino, dan lo duduk di belakang"
Aku menghela nafasku, sudah membuatku menunggu di luar, sekarang ia menyuruhku duduk di belakang, jika aku tidak dalam suasana hati yang buruk, dapat kupastikan dia tidak mendapatkan apa yang dia mau.
Aku menutup pintu mobil sekencang mungkin membuat Liva menggerutu kesal, aku hanya tersenyum sinis ke arahnya.
Aku membiarkannya duduk di sebelah bang Vino, karena aku sedang malas berdebat dengannya, yang waras, memang harus banyak mengalah.
Setelah menempuh perjalanan cukup lama, akhirnya kami sampai di sebuah mall besar yang ada di kota ini. Setelah memarkirkan mobil, kami masuk ke dalam mall.
"Bang, nonton yuk" ajak Liva langsung.
"Kalian mau nonton?" Tanya bang Vino.
Bella mengangguk, dan aku hanya mengacuhkan bahu.
Kami pergi ke bioskop, memesan tiket untuk menonton film horror yang sudah Liva tentukan.
Selesai menonton, Liva kembali merengek meminta sesuatu layaknya anak kecil.
"Bang, kesana dulu ya, Liva mau liat-liat baju"
Huft, sabar Nadine. Tapi gimana bisa sabar coba? bang Vino mengajakku jalan-jalan, dan bukan mengajak Liva, dan dia yang nentuin mau jalan ke mana, dia pikir dia pemandunya ? nyebelin banget.
"Nad, mau ke mana?"
"Kemana aja asal gak ngikutin dia" jawabku yang lansung meninggalkan mereka. Dari ekor mataku, dapat kulihat Liva tersenyum puas. Tapi, aku yakin, itu tak bertahan lama karena bang Vino mengejarku.
"Mama, Papa, Bella mungkin bisa lo rebut dari gue, tapi enggak dengan bang Vino, dan gue harap selamanya akan seperti itu" batinku.
🍏🍏🍏
Holla, makasih yang udah baca part pertama. Cuman mau kasih tahu aja, cerita ini berbeda dari cerita Chiara, apa perbedaannya ? Temuin sendiri jawabannya, hehe.
Mau double up untuk hari ini.
1 okt 2020
Cindy Caroline
KAMU SEDANG MEMBACA
NADINE (Completed)✔✅
Teen FictionSahabat bisa jadi musuh, keluarga yang harusnya penuh dengan kasih sayang bisa menjadi alasan banyaknya goresan luka dihatinya. Kepercayaan adalah hal yang sulit dibangun tapi sangat mudah dipatahkan. Hidup yang semula penuh dengan kebahagiaan sek...