Jarum jam di dinding masih berhenti di angka lima. Yoongi meliriknya berkali-kali. Mendengus kesal sembari meraup popcorn serampangan lalu memasukkan ke dalam mulutnya. Menunggu jam enam itu ternyata lama. Tentu saja lama, setiap satu menit sekali matanya tertuju pada jam.
Park Jimin, suaminya akan pulang tepat saat pukul enam sore. Sengaja ia hafali. Begitu suara Jimin terdengar dari pintu masuk Yoongi berlari menerjangnya dengan pelukan hangat. Biasa, pengantin baru. Umur pernikahan mereka baru empat bulan, sedang panas-panasnya memang.
Selama empat bulan itu juga Yoongi berdiam diri di rumah. Jimin melarangnya bekerja dan berakhir dengan kebosanan yang mendera. Sesekali ia pergi bersama teman-temannya, untung saja Jimin tidak melarangnya. Asal ingat waktu, begitu pesan Jimin.
Memikirkan suaminya Yoongi merengut kesal. Menenggelamkan diri di atas beanbag oranye. Tangannya melipat di depan dada.
"Mau Park Jimin."
Rengeknya sembari menghentakan kaki ke udara. Padahal setiap hari bertemu tapi tetap saja Yoongi rindu katanya. Oke—pengantin baru.
Yoongi menekan tombol off di remot, mematikan TV karena tidak ada acara yang menarik. Mencoba tidur saja. Tapi baru beberapa menit suara tetesan air dari arah dapur terdengar.
Mencoba abai. Kembali memejamkan mata, menunggu bertemu bunga mimpi. Namun suara tetesan tersebut nyatanya semakin deras. Bahkan Yoongi agak terlonjak dari tidurnya ketika menyadari bunyi air dari keran yang sepenuhnya terbuka.
Terpaksa melangkahkan kaki ke arah dapur, sesekali ia menggerutu kesal. Melihat keran wastafel terbuka mengucurkan air deras, Yoongi memutarkan untuk menutupnya. Setelahnya ia beranjak kembali ke ruang tengah, belum sampai empat langkah keran yang tadi ditutup kembali terbuka. Yoongi menoleh dengan cepat. Memperhatikan sekitarnya.
"Jangan jahil. Aku adukan pada Jimin nanti."
Setelah mengucapkan hal tersebut lampu yang menerangi tempatnya berdiri, mendadak memercikan api dan menyerukan ledakan kecil lalu mati. Membuat ruangan tersebut gelap. Sontak Yoongi merapat ke tembok. Matanya menjalar ke setiap sudut.
"Apa-apaan?"
Tidak berhenti di situ, ia mendengar TV menyala dan suara siaran berita sampai hingga dapur seperti seseorang menekan tombol volume yang paling besar. Yoongi menutup telinganya. Netranya menatap awas.
Tepat pada satu titik. Di sudut gelap sebelah lemari pendingin, Yoongi melihatnya. Dari bentuknya menyerupai manusia yang berdiri tegap di sana. Ia meneguk ludah. Jantungnya bertalu kencang. Entah kenapa baru kali ini ada sosok tidak kasat yang terang-terangan mengganggu dirinya.
"Kau mau apa?"
Yoongi menajamkan matanya meski percuma sosok itu tidak terlihat sebab gelap. Di luar langit mendung pekat juga hujan lumayan deras. Satu-satunya penerang adalah cahaya dari ruang tengah yang merambat masuk ke pintu dapur yang terbuka lebar.
Di detik selanjutnya Yoongi berteriak kencang ketika sosok yang berdiri tadi kini berlari ke arahnya. Sangat cepat. Yoongi refleks berjongkok, menyembunyikan wajah di atas lututnya. Tubuhnya gemetar hebat.
"Yoongi!"
"Jangan mengganggu!"
"Yoongi—hei, sayang—"
"Jangan mengganggu! Aku mohon—"
Jimin menarik paksa wajah Yoongi yang sengaja disembunyikan. Menciuminya setiap inci. Ia baru saja sampai rumah lalu mendengar Yoongi berteriak dari arah dapur membuat Jimin menyusulnya segera.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indigo
HorrorSelama dua puluh lima tahun hidup dengan keistimewaan yang diberikan Tuhan, Yoongi tidak pernah menyesali hal tersebut. Tapi saat dimana sosok asing membutuhkan pertolongannya, ia lebih memilih mundur. Tidak ingin menjadi perantara. Lalu berakhir de...