Sementara Tsukishima Kei sudah sampai di rumahnya dan berbaring dengan damai di kasurnya, Shimazaki Kaiyo justru sedang memacu laju sepedanya di jalanan yang sudah mulai sepi. Kaiyo tidak terlalu takut dengan malam hari, asal masih ada cahaya.
Satu-satunya yang ia takutkan dari malam adalah gelap total.
Tapi sekarang tidak. Meskipun sepi, lampu-lampu jalan masih menerangi penglihatannya sejauh ini. Kalaupun mereka tidak menyala, di atasnya masih ada bintang dan bulan yang bersinar terang. Tidak ada gelap total. Awan seolah hilang, meninggalkan langit yang bersih dengan bintang-bintang.
Kaiyo cukup menyukai kesunyian. Suara angin, serangga malam, dan sepedanya seolah menjadi ketenangan tersendiri untuk hatinya yang sedang berkecamuk. Angin membelai wajahnya, membuat gadis itu menghembuskan nafas pelan.
Selepas mengantar Kisa ke halte kedua, akhirnya ia bisa sendirian. Bukan karena Kisa mengganggu, tidak. Kisa tidak mengganggu. Tapi entah mengapa akhirnya Kaiyo merasa lega, karena ia merasa sudah tidak ada yang perlu ia tutupi dari gadis itu.
Kisa membuat mood-nya naik. Dengan beberapa lelucon dan cerita lucu yang ia katakan. Atau tentang planning pergi bersama di akhir pekan, meski keduanya tidak tahu jadi atau tidak. Atau mungkin saat Kisa dan Kaiyo memberikan playlist lagu masing-masing. Kaiyo pikir, Kisa cukup menyenangkan.
Yah, meskipun belum cukup untuk membuat Kaiyo tersenyum lebar.
Eh, memangnya dia pernah tersenyum lebar?
Kaiyo terdiam sejenak memikirkan hal itu. Kapan... Kapan terakhir kali dia tersenyum lebar?
Gadis itu memasang senyum getir. Rasanya sudah lama sekali ia berpura-pura bahagia, berpura-pura cuek, dingin, atau mungkin kasar ke orang lain. Sebisa mungkin ia menutupi masalahnya dari orang lain. Sebisa mungkin ia tidak menangis dihadapan siapapun, termasuk orang-orang yang ia percayai.
Kaiyo meringis. Ia selalu menangis jika ia sedang sendirian. Entah itu di kamarnya atau di tempat lain, pokoknya saat ia sedang sendirian. Tidak ada siapapun. Barulah ia menangis. Kaiyo tidak mau terlihat lemah, jadi sebisa mungkin menahan semuanya sendiri. Kalau dia lemah, siapa yang akan jadi benteng untuk adiknya?
Bibir gadis merah itu bergetar. Hari ini dia mendapat banyak sekali kejadian yang tidak mengenakkan. Bahkan ia sesungguhnya menyesal telah bersikap kasar kepada Tsukishima Kei. Ia merutukki dirinya sendiri. Tsukishima memang suka—sangat sering—mengeluarkan kata-kata menyakitkan, tapi kenapa saat itu dia merasa kesal?
Ada apa dengan diriku? batinnya.
Wajahnya menggelap. Matanya sayu. Gadis itu kembali menahan tangisnya. Masa bodoh jika terlihat melankolis. Rasa sakit yang ia pendam selama dua minggu ini, kian membuncah. Meraung-raung ingin keluar. Kaiyo harus selalu menahannya. Harus.
"Ternyata... Sampai hari inipun, aku masih belum bisa jujur kepada diriku sendiri." gumamnya dengan bibir yang bergetar menahan tangis.
***
"Ohayou, Kaiyo-chan!" Kisa menyapa gadis merah itu dengan semangat saat Kaiyo berada di depan papan tulis. Kaiyo tersenyum tipis karena menyadari Kisa tengah berusaha membuatnya merasa semangat. "Ohayou, Kisa." balas Kaiyo sambil berjalan bersama Kisa ke mejanya.
Kedua gadis itu kemudian berhenti sejenak saat melewati meja Kei. Sebenarnya hanya Kaiyo, tetapi Kisa ikut terdiam. Hal itu disebabkan oleh Kei yang menatapnya dengan tatapan yang tidak dapat diartikan, membuat Kaiyo membalasnya. Lelah karena tidak ada yang terjadi, Kaiyo akhirnya melepas tatapannya dan berjalan ke mejanya di belakang Kei.
Yamaguchi dan Kisa yang melihat kejadian itu saling menatap canggung satu sama lain, kemudian kembali duduk di bangku masing-masing. Memilih menyiapkan buku untuk pelajaran pertama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Salty Caramel ; (Tsukishima Kei x OC/Reader)
Fanfiction"Ara-ara gomen, kau pendek sih." Sial. Baru bertemu hari ini padahal. Dia yang menabrakku, bukannya minta maaf malah meledek. Kau pikir aku tidak bisa sepertimu? "Gomenasai... Tapi kebanyakan orang lebih menyukai anjing daripada jerapah." *** Giman...