PART 29

2.4K 286 52
                                    

Torra kini berada di lokasi proyek pengerjaan jalan lintas batas antar Kabupaten Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Selatan, yang berhasil ia dapatkan setelah mengikuti tender beberapa bulan lalu. Pekerjaan itulah yang membuatnya harus selalu stay di tempat untuk mengecek para pekerja, sebab mengharapkan mandor saja bukanlah tipikalnya selama ini. 

Torra selalu berupaya mempersembahkan hasil yang terbaik untuk dana yang sudah digelontorkan Pemerintah, karena memang nama baiknya dipertaruhkan di sana. Kepercayaan adalah modal utamanya di setiap Torra menjalani pekerjaan, namun tidak untuk hubungan asmaranya dengan Inna yang hancur berantakan akibat dirinya berubah menjadi seorang pengkhianat, menurutnya.

Mengingat   tentang wanita yang berstatus sebagai istrinya itu, bayang-bayang tindakan memaksa beberapa saat lalu kini bermunculan satu per satu seperti potongan film pendek di isi kepalanya. Torra menyerah untuk menjatuhkan harga dirinya sekali lagi, menarik ponsel dari saku celana dan mencari nomor ponsel ibu mertuanya di sana.

Tut tut tut tut...

Hanya empat kali nada sambung yang biasa itu terdengar, Indri Bastari sudah menggeser ikon berlogo gagang telepon dengan warna hijau, memberi kesempatan pada Torra untuk berbicara. Alhasil tanpa menunggu lama, Torra pun mengutarakan tujuannya di sana, "Halo, Bu. Bisa saya bicara dengan Inna? Soalnya--"

"Maaf, Nak Torra. Ibu lagi bingung ini dari tadi. Ibu lagi menuju ke gang depan soalnya tadi kan Inna minta izin mau pergi beli Ketoprak langganannya di Jalan Jaksa, tapi kok sampai jam segini belum pulang juga." Namun Indri yang dikejar oleh rasa bersalah, lebih memilih untuk tetap mempertahankan rencana miliknya tentang sang putri, berakting dengan mengisi pasokan udara di dalam paru-parunya agar terkesan benar di tengah tipu muslihat tersebut.

Tak urung, keterkejutan itu pun hadir dari bibir Torra hingga membuat Indri harus menjauhkan ponsel dari telinganya, meminta kejelasan akan berita yang baru saja ia dengar, "Hah?! Ibu serius ini?!"

"Aduhhh... Sepuluh rius, Nak Torra. Ibu tuh dari tadi udah cemas nggak ketulungan ini. Mana dia nggak pegang handphone lagi. Jadinya gimana cara Ibu mau cari tahu kan?" Sedikit berhati-hati, Indri menata kebohongan dengan kemasan kepura-puraan khas dirinya, juga suara kecemasan yang ala kadarnya.

Ada sindiran keras tak kasat mata pula tentang telepon genggam milik Inna yang tertinggal pasca keguguran putrinya, menghasilkan kepercayaan di diri Torra untuk opera sabun ciptaan ibu mertuanya itu, "Ibu susulin aja dia ke sana bisa nggak, Bu? Ke Jakarta Pusat tempat jualan Ketoprak itu?"

Obrolan keduanya bergulir lancar akibat rasa keingintahuan Torra yang besar tentang keberadaan sang istri, menambah beban berat di pundaknya, "Lha iya, Nak Torra. Ini juga Ibu memang rencananya kayak gitu kalau udah tunggu setengah jam dia nggak muncul-muncul. Soalnya Ibu takut selisih jalan. Pas Ibu ke sana, Inna malah sudah sampai di rumah. Kan percuma."

Torra juga mencoba menawarkan diri agar dapat dengan mudah menemukan Inna, "Oh, iya deh. Saya suruh adik sepupu ngejemput Ibu aja di depan gang, gimana? Biar lebih gampang jalannya nggk muter kemana-man gitu, Bu. Bisa?"

"Nggak usah deh, Nak. Ibu malu sama orang baru. Sudah dulu ya? Nanti lagi teleponnya bisa kan? Ini Ibu sudah sampai di depan gang nih." Tetapi Indri menolak kebaikan Torra dengan cara yang halus, bersama serangkaian bujuk rayu penuh mulut.

Tak ingin memaksakan kehendak sekaligus tidak enak hati atas penolakan Indri, nyatanya Torra pun menerima apapun perkataan itu, "Oh, iya. Nanti Ibu miscal aja gimana, Bu? Biar saya yang telepon."

Tolong, Ceraikan Aku! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang