Mamah Bumi.

213 23 1
                                    

siapa yang nungguin? - Bulan -



Hari demi hari, Bumi terus berusaha mendekatiku. Walaupun dengan cara yang menurutku ajaib. Tidak di tunjukkan secara langsung, tapi ia menunjukkannya dengan kasat mata, layaknya hantu. Bumi terkadang berubah menjadi lembut, tapi terkadang ia pun menjadi menyebalkan. Satulah yang tidak aku sukai darinya, ia sangat pemaksa. Apapun yang ia katakan, harus terjadi saat detik itu.


Seperti saat ini aku sedang ada di atas motor bersama Bumi, entah akan kemana. Sebelumnya, aku dan teman-temanku sedang mengerjakan tugas yang akan di kumpulkan di warda tempat geng salvatra berkumpul. Bukan maksud ingin bersamanya, hanya saja saat itu tugas harus segera di kumpulkan. Aku juga tidak tau pertaruhan apa yang Bumi dan teman-temannya lakukan. Sampai akhirnya aku di paksa ikut dengan Bumi.


"Ini namanya kita naik motor, Moon." Ucapnya random. Aku tidak menanggapinya. "Kalo nanti, baru deh namanya kita naik pelaminan."


"Iya lo jadi tamunya!"


"Kalo di undang jadi tamu, mending gue nggak dateng!" Balasnya kesal.


"Gue juga nggak ada niatan mau undang lo."


"Emangnya lo udah ada calonnya sampe ngomongin nikah?" Godanya dengan sesekali melirikku dari kaca spion motornya.


"Nanti juga ada." Jawabku ragu.


"Daripada nanti-nanti, mending sama gue aja. Udah pasti ada sama gue."


"Apa sih jadi ngomongin nikah segala! Gue masih mau kuliah sama kerja."


"Tapi kita harus segera meresmikannya, Moon!"


"Meresmikan apa sih? Gue nggak mau sama lo!"


"Yakin nggak mau sama gue? Mumpung gue masih mau sama lo. Kalo nanti gue udah nggak mau lo, lo bisa nyesel!"


"Nggak! Nggak akan!"


"Yaudah peluk!"


"Dih, lebih nggak mau!"


"Tapi daritadi lo udah meluk gue ha ha ha." Aku melihat tanganku yang benar sedang memeluknya, lebih tepatnya kedua tanganku aku masukkan ke dalam saku jaketnya yang terlihat aku memeluknya. Saat aku akan melepas tanganku, Bumi menarik tanganku untuk di genggamnya, menjadikannya memegang stang motornya hanya dengan satu tangan.


"Kalo suatu saat nanti lo nggak sama gue, gue ikhlasin lo bahagia, Moon!"


Aku diam, tidak menanggapi ucapannya, juga tidak melepas tanganku yang ada di dalam genggamannya. Sampai akhirnya aku dan Bumi sampai di salah satu rumah mewah berwarna putih. Pagar rumah tiba-tiba terbuka setelah Bumi mengklakson motornya. Bumi memasukkan motornya, aku melihat satu laki-laki paruh baya yang bisa aku pastikan penjaga rumah Bumi.

Tinggal KenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang