꧐꧓ : tiga

106 21 0
                                    


Jalan di gang Matahari malam ini belum terlihat sepi, masih ada beberapa orang yang wara-wiri ke tujuan masing-masing. Sadam dan Yahya berjalan berdampingan pulang dari Masjid selesai menunaikan sholat isya.

Sadam menghentikan langkah tepat di depan angkringan rumahan yang sudah ramai oleh para pemuda. Lalu ikut membaur duduk di salah satu bangku plastik yang disediakan pemilik angkringan, langsung disambut dengan tangan terbuka oleh para pemuda yang sudah lebih dulu ada disana.

"Oi Sadam!" Salah satu laki-laki yang sedang mengunyah sate telur puyuh menyapa.


Dia Juned namanya, umurnya lebih tua 5 tahun dari Sadam. Hanya pemuda desa biasa yang sedang berjuang mati-matian ngumpulin duit buat modal nikah. Juned sering curhat seperti itu kepada teman-temannya, Sadam tahu karena dia sudah lama bergaul dengan mereka.

"Hehe bang Juned, sehat bang?" Sadam membalas diakhiri dengan pertanyaan.

Juned mengangguk-angguk, "kayak lama nggak ketemu aja nanyain kabar segala, gua sehat walafiat alhamdulillah."

"Alhamdulillah bang kalau sehat," Sadam terkekeh pelan.

Yahya hanya menghela napasnya. Sadam itu kebiasaan kalau pulang dari masjid pasti mampir-mampir. Sebenarnya dibanding dengan Yahya, Sadam lebih terkenal dikalangan warga desa. Sadam mudah bergaul dengan siapa saja, tidak seperti Yahya yang lebih suka menghabiskan waktu didalam rumah untuk mengejar deadline tugas sekolah.

"Oi sini lu temen Sadam. Duduk dulu ngopi-ngopi," panggil teman Bang Juned, namanya Emen.

Yahya mengangguk kikuk, berjalan mendekat untuk mengambil duduk disebelah Sadam.

"Anak rumahan ye lu, keluar kalau cuma ke mesjid ama sekolah doang," ucap Bang Emen sambil mengunyah bakwan.

Yahya hanya menanggapi dengan tawa kecil yang terkesan kaku, tidak berniat membalas dengan kata-kata. Walau dia jarang membaur bersama mereka, mereka cukup kenal siapa dia, sahabatnya Sadam dan satu-satunya anak dari Desa Makmur Sejahtera yang bersekolah di SMA Harapan Pertama.

SMA bergengsi yang masuknya pakai syarat 'keenceran otak' atau kalau otaknya bebel masuknya kudu pakai jalur 'harta orang tua' yang katanya sih orangtuanya mau lima turunan hartanya nggak bakalan habis.

Kalem slurr, masih lima turunan. Belum tujuh turunan. Santai aja, kecil. Masih kalah jauh dari sultan tokped yang duitnya tumpeh-tumpeh.

Sadam maupun Yahya tidak memesan apa-apa, hanya ikut nimbrung ngobrol-ngobrol. Yahya cuma merespon sekadarnya tidak seperti Sadam yang sering nyahutin ucapan bang Juned.

Kebanyakan pemuda desa Makseja umurnya rata-rata sudah 20 tahun keatas, sudah pada dewasa. Yang masih duduk di bangku sekolah bahkan bisa dihitung menggunakan jari tangan.

"Gimana, Ned. Dirimu sudah dapat uang berapa buat persiapan nikah?" Salah satu pemuda yang ada disana nyeletuk.

Juned membuang napas gusar, "gaji bulananku buat beli sandalnya saja belum cukup."

"Lah, dirimu itu sudah kerja berapa tahun kok beli sandal neng Laras saja belum mampu, memang sandalnya neng Laras harga berapa?" Tanya bang Otoy.

Javanese BoysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang