1

4 2 0
                                    

Aku duduk di kelas X IPA 6, SMA Haward dan Naudy di kelas X IPA 2. Aku dan Nau biasanya dari SD selalu bersama. Tapi ketika masuk sekolah lebih tinggi, aku semakin terpisah dengannya.

Sedih?

Tidak, aku tidak sedih. Bahkan aku berdua memang ingin berpisah, karena terlalu bosan bersama, mungkin.

Hari ini nenek membelikan Naudy sepatu baru. Karena sepatu lamanya sudah lusuh dan robek dibagian tepinya. Dan karena sepatuku masih bagus, jadi aku tidak minta nenek untuk membelikan punyaku juga. Sekalian hemat.

Aku dan Nau memang tinggal dengan nenek dan kakek, ayah dan ibu sudah bercerai semenjak aku dan Nau duduk di bangku 6 SD. Aku tidak mengerti entah karena apa mereka bercerai karena waktu itu aku masih kecil. Sampai sekarang pun aku tidak tau apa alasannya. Setelah bercerai, ayah dan ibu selalu saja meributkan hak asuh terhadap Nau. Ayah tidak mau merawatku, begitupun dengan ibu. Apa aku bawel? Atau nakal? Karena ibu dan ayah tidak mau merawatku, aku berinisiatif sendiri untuk meminta tinggal di rumah nenek. Dan Nau mendengar kabar itu, dia mengikutiku dan ikut tinggal dengan nenek. Semenjak itu, aku tidak pernah bertemu lagi dengan ibu dan ayahku.

"Mau, gue mau ke kelas lo boleh?"

Aku mengangguk.

Berjalan bersisian, sesekali orang-orang menyapa Naudy yang notabennya memang disukai banyak orang.

X IPA 6

Papan kelas itu terpampang jelas di hadapanku. Kelas yang baru beberapa minggu ku-huni. Tidak terlalu bagus menurutku. Anak-anak nakal mendominasi didalam kelasku. Bukan hanya pria, bahkan perempuan.

"Eh ada kembar"

"Cantikan Naudy ya"

"Maudy jutek"

"Apa sih, cantikan juga gue!"

Aku mendengar ocehan-ocehan itu. Sudah biasa. Aku mendengar itu sudah berpuluh-puluh kali dalam waktu satu hari.

Naudy duduk di samping kursiku. Anak-anak yang lain mulai mengerubuni Nau bak semut. Aku hanya tersenyum tipis melihat Nau yang dikelilingi cowok-cowok. Mencoba untuk abai, aku mengembang buku komik yang sempatku pinjam oleh Nadia--teman sebangku-ku.

"Pindah dong, gue mau duduk di samping Naudy!"

Aku bergeser ke kiri.

"Misi, gue mau duduk di bangku gue."

Aku bergeser ke kirinya lagi.

"Eh-eh, gue mau duduk."

Menghela nafas.

Sial.

Aku beranjak berdiri dari tempatku, lalu berjalan menuju tasku, mengambil buku komik naruto tadi. Sekilas aku melihat Naudy yang sedang sibuk tertawa dan sesekali aku melihat wajahnya memerah.

"Gue keluar ya, Nau!" Teriakku.

Namun diabaikan.

***

Sembari menunggu lonceng berbunyi, aku memutuskan untuk mengitari kelas-kelas senior, lebih tepatnya kak Pangestu. Aku memang menyukainya dari dulu. Ketika masih kelas 2 SMP. Namun aku menyembunyikan hal itu terhadap Nau. XI IPA 4, aku mencoba memelankan langkah kakiku. Ku tatap dia yang sedang duduk di atas meja guru bersama teman-temannya. Namun dia tersadar tatapanku. Sepertinya kak Pangestu sekarang berjalan ke arahku.

Karena tidak mau terlalu berharap, aku kembali berjalan hendak ke kelas karena lonceng baru saja berbunyi.

"Tunggu"

Bukankah itu suara kak Pangestu? Tapi, bisa saja dia memanggil orang lain bukan.

"Kembar!"

Aku berhenti.

Jantungku rasanya mau jatuh, tuhan...

Aku berbalik arah dan menatap mata elang kak Pangestu. Begitu indah. Rasanya aku ingin selalu menatap objek itu.

"Astagfirullah, gak gak." Batinku.

"Ini Naudy atau Maudy?"

"Maudy" aku melemparkan senyum tipis untuk kak Pangestu.

"Oh, Naudy mana? Tumben gak barengan?"

Aku tersenyum kecut.

Ini pertama kalinya aku bertegur sapa dengannya. Dan yang ditanya bukan aku tapi Naudy.

Aku mendahului kak Pangestu. Moodku sedang tidak baik, ditambah dengan kejadian tadi. Membuat moodku semakin hancur. Tidak peduli apa yang ada dipikiran cowok itu tentang aku. Dibilang aneh, gak sopan, aku tidak peduli.

***

"Maudy gue nyalin latihan lo aja nanti ya!"

"Maudy ajarin gue materi nilai mutlak dong, nanti gue traktir di kantin deh!"

"Maudy pinjem rol!"

"Maudy!"

"Maudy"

"Maudy"

Seharian semua temanku membuatku susah. Aku orang yang tidak enakkan. Alhasil aku menanggung semua beban itu tanpa mengucapkan keluhan apapun.

Letih.

Aku menyeka keringat di dahiku. Kori menepati janjinya. Ia akan mentraktirku minuman segar di kantin. Tentu saja. Aku tidak ingin jerih payahku tidak dihadiahi.

"Lo beli minuman apa aja terserah, gue bayarin. Tapi satu doang ya, gak usah banyak."

Cowok itu menyengir tidak jelas.

Aku mengangguk lalu berjalan menuju lemari pendingin minuman. Susah-susah aku memilih harga yang sedikit mahal. Hahaha.

"Permisi"

Seseorang mengetok-ngetok bahuku seolah itu sebuah pintu. Aku tidak mengenalinya, kenapa dia begitu kesal denganku?

"Gak lo aja kali yang mau beli minuman, gue sama mereka juga"

Aku menggeser pandanganku ke balik punggung cowok itu. Benar. Orang-orang terlihat marah kepadaku.

Malu.

Aku mengambil minuman sembarangan. Lalu berlalu dari hadapannya begitu saja. Entah minuman apa yang sudah aku ambil tadi. Ya sudahlah, yang penting aku ditraktir. Bukan begitu?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 19, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang