Wingi Wengi

1.1K 111 0
                                    

Temaram lampu jalan di sudut kota Surakarta menemaniku yang tengah menunggu seseorang. Tidak ada janji temu, aku hanya percaya dia akan datang lagi malam ini. Entah bagaimana caranya, tapi dia memang selalu bisa menemukan keberadaanku.

"Na?"

Aku menoleh, seketika merekahkan senyum kala seorang cowok melambai ramah sembari berjalan mendekat.

Dia Elio, teman satu sekolah, satu angkatan. Aku tidak ingat kapan kami jadi dekat, tapi tiba-tiba saja aku sering bertemu dengannya setiap kali jalan-jalan malam karena insomnia.

"Udah kutebak, kamu pasti di sini," katanya bernada bangga.

Melepaskan diri dari posisi bersandar pada tiang lampu, aku memfokuskan pandang ke arahnya. "Tapi agak aneh, loh. Kok bisa kita ketemu terus, padahal nggak janjian?"

Elio mengedik ringan. "Kebetulan mungkin?" Gelagatnya berubah tak minat. Mengedarkan pandang ke sekeliling dan kembali lagi ke arahku. "Lagian kenapa kamu sering banget keluar malem? Mana sendirian pula."

Aku menyengir tanpa beban. "Nggak bisa tidur," jawabku. "Laper juga."

"Ya udah, ayo cari makan. Aku denger ada nasi liwet enak deket sini."

Senyumku luntur perlahan, berganti raut heran dan berpikir dalam-dalam. Kalimat terakhir Elio, rasanya aku pernah mendengar itu sebelumnya. Pun diutarakan oleh suara yang sama persis dengannya.

"Kenapa, Na?"

Aku agak tersentak sebelum kemudian menggeleng ringan. "Nggak pa-pa. Ayo!"

Berlari kecil untuk mensejajarkan langkah, kami lantas berjalan beriringan menelusuri trotoar. Ikut menyertakan diri ke lalu-lalang pejalan kaki.

Jalan raya kota Solo tak pernah sepi, bahkan hingga tengah malam sekalipun. Itulah mengapa, di percakapan basa-basi antara aku dan Elio, seringkali terselip kata: hah?

Namun, selain ingar bingar itu, ada hal lain yang membuatku tidak sepenuhnya fokus kepada Elio. Yaitu kalimat-kalimat tak beralamat yang entah bagaimana hanya aku yang bisa mendengarnya.

"Tetap di sini, ya."

Aku memperhatikan gerak bibir Elio, bukan itu yang dia katakan. Lalu sebenarnya siapa yang mengatakan kalimat tersebut? Kenapa kedengarannya lirih sekali?

"Yah, rame," ucap Elio dengan intonasi kecewa begitu sampai di tempat tujuan.

Bukan rumah makan atau warung, nasi liwet yang dimaksud Elio ternyata sekadar lesehan di emperan toko. Dengan berbagai pilihan lauk yang ditata sembarang memenuhi meja si penjual.

Dilihat dari pemilihan tempatnya saja, bisa ditebak kalau jam buka nasi liwet ini pasti di atas jam sepuluh malam karena harus menunggu tokonya tutup dulu.

Pantesan dulu nggak ketemu, orang bukanya malem, batinku, tapi sedetik kemudian aku menyadari kejanggalan dari refleksku barusan.

Dulu kapan? Memang sebelumnya aku pernah ke sini?

Kusingkirkan pemikiran tersebut sebelum meningkat jadi lamunan. Sudah terlalu sering diri ini menuruti kemauan hati untuk melamun.

"Bagus dong! Banyak temennya," sahutku riang untuk menanggapi ucapan Elio. "Udah sana cari tempat, aku yang pesen. Mau pake tambahan lauk apa?"

"Samain aja."

"Oke."

Aku bergegas memesan sementara Elio menempatkan diri ke tikar paling ujung sebab hanya itu yang kosong. Nasi liwet ini sungguh ramai pengunjung, padahal tak begitu mewah dan cenderung tidak menarik di mata milenial.

Wingi WengiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang