Sepuluh

98 19 5
                                    


Urata beserta tiga temannya telah sampai di distrik dua dengan menumpang sebuah mobil milik sepasang suami istri yang sempat Urata temui di distrik tiga.

Urata terlihat kaget melihat penduduk distrik ini yang sama sekali tidak terlihat seperti tengah dilanda musibah. Mereka semua terlihat sama dengan penduduk kota Aquifer. Mereka juga masih menjalankan keseharian mereka dengan biasa. Tak ada yang kelihatan sedih, ketakutan, atau merasa terancam disini. Semuanya tampak damai. Sungguh pemandangan yang aneh.

Ini jelas berbeda dengan kejadian kemarin yang baru saja menimpa distrik tiga.

Sebenarnya apa yang membuat mereka bisa setenang ini?

Dia ingin menanyakan hal itu pada pasangan yang telah membawanya kesini, tapi dia tidak bisa melakukannya. Karena, pasangan itu telah pergi untuk mengurus urusan mereka sendiri.

Urata hanya diberitahu, kalau jika ia dan ketiga temannya ingin tinggal disini. Maka hal pertama yang harus dilakukan adalah mencari penginapan. Wanita itu telah menitipkan sebuah kartu yang berisi alamat, tempat penginapan.

Setelah berkeliling selama hampir berjam-jam mereka berempat akhirnya dapat menemukan alamat yang dimaksud.

Sakata yang menjadi petunjuk jalan, menunjuk sebuah bangunan besar dihadapannya itu. “Kurasa inilah tempatnya.” Dia lalu menarik tangan orang yang ada di jangkauannya untuk pergi memasuki bangunan itu.

“Apa boleh buat, ayo kita masuk!” Urata tersenyum kearah Senra yang terlihat tidak yakin untuk memasuki bangunan tersebut.

Dengan sedikit ragu Senra akhirnya mengiyakan perkataan Urata. Lagipula dia yang paling tahu kan tentang kemampuan Sakata yang sangat ahli dalam mencari sebuah lokasi. Jadi tidak ada alasan baginya untuk meragukan Sakata.

☆AS☆

Di keramaian kota Luz terlihat kebingungan, manik matanya melirik ke sekeliling mencari keberadaan seseorang. Dia menghentakan kakinya kesal, saat mengetahui fakta bahwa ia telah kehilangan sosok yang dicarinya itu. Lagi-lagi dirinya gagal.

Kita tinggalkan Luz dengan segala kekesalannya. Mari kita lihat apa yang sedang terjadi dengan ke empat tokoh utama cerita ini.

Mereka berempat memutuskan untuk berpencar mencari petunjuk di sekitar distrik dua ini.

Urata beserta Sakata pergi ke arah utara, sedangkan Shima dan Senra pergi kearah sebaliknya.

Setelah beberapa jam lamanya mereka berempat kembali berkumpul di tempat makan yang letaknya tidak jauh dari penginapan.

Semuanya menghela nafas, tak ada satupun yang mendapatkan informasi berguna dalam misi yang sedang mereka jalani saat ini. Jika terus seperti ini, bagaimana mereka bisa secepatnya menyelesaikan misi yang diberikan pihak akademi kepada mereka berempat?

Urata menatap ketiga wajah temannya, dia harus berusaha lebih keras lagi supaya bisa menemukan petunjuk yang mereka cari. Ia juga masih belum menceritakan sepenuhnya tentang informasi yang ia dapatkan dari perempuan itu. Jujur saja dirinya tidak bisa mengatakannya pada ketiga temannya itu tentang fakta bahwa siapapun yang pergi meninggalkan kota Deathly ini akan mati. Urata terlalu takut dengan kenyataan itu. Apa mereka berempat bisa pergi dari kota ini dengan selamat? Jika mereka berhasil menyelesaikan misi ini, apa semuanya akan kembali normal? Pasti semua baik-baik saja kan?

“Urata-san kau mau pesan apa?” Tak menerima respon apapun dari Urata. Shima sedikit mencubit lengan Urata membuat Urata meringis kesakitan.

Kalau saja pikirannya itu tidak sedang dilanda kegundahan, Urata pasti sudah membentak Shima. Kali ini dia hanya menjawab dengan jawaban normal.

Shima yang sama sekali tidak menduga hal tersebut, berusaha untuk menyembunyikan raut wajah penasarannya. Dia akan menanyakan tentang apa yang sedang dipikirkan oleh Urata saat mereka sedang berdua nanti.

Lelaki bersurai ungu itu mengalihkan pandangannya pada dua orang yang sedari tadi berdebat, memperdebatkan hal yang menurutnya tidak penting itu. Untung saja pemilik tempat makan disini tidak mengusir mereka keluar.

“Apa kalian sudah menentukan pesanannya?” Tanya Shima ketus. Ia sebenarnya malas menanyakan hal ini. Toh, ia tahu jawaban yang akan diberikan oleh dua orang manusia yang sering bertengkar karena urusan sepele itu.

Sakata dan Senra menghentikan perdebatan yang mereka mulai beberapa menit lalu. Keduanya memutar bola mata kearah Shima. “Urusai!” teriak keduanya bersamaan.

Hal tak terduga. Untuk kedua kalinya Shima merasa bahwa ia telah gagal dalam memprediksikan tindakan ketiga temannya. Padahal selama ini, ia tidak pernah gagal dalam melakukan hal itu. Tentu saja. Hal itu hanya berlaku bagi orang yang sudah dikenalnya dalam waktu yang lama.

Shima melirik pada Urata, mencoba melihat respon lelaki itu. Namun sepertinya sia-sia saja, karena Urata telah kembali kedalam pikirannya. Shima jadi semakin penasaran dengan apa yang sedang dipikirkan oleh temannya itu.

“Dengar! Aku sama sekali tidak salah apapun! Jadi berhentilah menatapku seperti itu dan apa-apaan teriakan barusan, hah?! Kalau kalian masih ingin melanjutkan perdebatan tidak penting itu. Lebih baik, kalian berdua pergi dari sini. Lakukanlah diluar sana! Aku hanya ingin menikmati makan siang dengan damai. Tapi apa yang kudapatkan?!”

Sakata dan Senra terkejut saat mendengar ocehan Shima. Lebih tepatnya syok. Keduanya tidak menyangka bahwa Shima akan semarah ini.

Dengan perasaan bersalah Sakata dan Senra mencoba meminta maaf pada Shima. Shima menghela nafas beratnya, lalu tersenyum kecil kearah mereka berdua.

“Oh iya, aku lupa bilang. Sepertinya kita harus menyelidiki rumah pemimpin distrik dua ini. Dia terlihat mencurigakan.” Ketiganya serentak menoleh pada Sakata.

Shima yang baru saja ingin menikmati makanan pesanannya yang baru tiba beberapa detik yang lalu itu mau tidak mau menghentikan kegiatannya. Ia kini sepenuhnya fokus pada ketiga temannya yang melakukan hal yang sama dengan yang dilakukannya itu.

Kenapa baru sekarang? Itulah yang ada dalam pikiran Shima. Namun sebisa mungkin ia tidak memikirkannya. Percuma. Buang-buang waktu dan tenaga saja.

“Aku setuju dengan Sakata. Mana mungkin dia bisa menyelamatkan semua yang ada disini kan? Kalaupun dia memang bisa melakukannya, kenapa baru sekarang? Kenapa dia tidak bertindak dari dulu?”

“Senra, aku mengerti dengan apa yang kau rasakan. Jadi tenanglah!” Sakata memegang tangan Senra yang terlihat mengepal karena marah.

Urata yang kali ini banyak diamnya, mulai mencoba membuat suasana diantara semuanya kembali normal. “Untuk sekarang bagaimana jika kita habiskan dulu makanan yang baru saja kita pesan ini?” katanya tersenyum kecil.

“Kau benar!” Ucap Shima. Sakata dan Senra mengangguk kecil.

Mereka berempat akhirnya memutuskan untuk menyantap makanan yang telah mereka pesan.

Selama itu, hanya ada bunyi perpaduan sendok dengan piring. Tak ada satupun dari mereka yang berbicara. Bahkan Sakata dan Senra yang sering adu mulut itupun terlihat tenang. Ini menandakan bahwa jiwa keempatnya sedang berkelana jauh. Memikirkan apa yang akan mereka lakukan kedepannya.

____

Yatta... akhirnya bisa kembali update juga ( ;∀;)
Maaf ya, kalau updatenya lama. Aku lagi sibuk sama urusan rl.
Keluargaku lagi bikin rumah karena berbagai alasan (rumah yang ditempati saat ini-milik alm. Kakek- mempunyai berbagai masalah. Ada tetangga berhati iblis yang menyamar menjadi sanak saudara keluarga saya, yang selalu tidak suka dengan keberadaan keluarga saya dirumah. Mereka sering marah-marah bahkan sampai memusuhi keluarga saya. Maa... kurang lebih seperti itulah)

Jadi aku lagi bantu-bantu.
Sekali lagi gomennasai 🙏

Sampai bertemu di episode selanjutnya ((o(。・ω・。)o))

Tsukihime Yozora

Akademi Sihir -Misi di Kota Kematian- [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang