the Beginning of the Agreement

140 33 31
                                    


     Pintu-pintu itu tanpa atap, tanpa dinding yang mengitari seakan menyambutnya tanpa perlu disentuh. Langkahnya seimbang dengan awan gelap seakan melukiskan dosa-dosa di atas menara bentala yang suci. Kutukan itu bagai mimpi buruk. Tetapi, bukankah selama ini ia hidup dalam semua keburukan bagi setiap jiwa-jiwa yang telah dicurinya?

     Hanya karena ia telah kalah telak dengan mangsanya dalam sebuah perjanjian, kini akan menanggung semua kebodohannya. Para iblis itu menyeretnya, mendorong jatuh ke bawah dunia lain yang bersih dengan kebencian dan segara biru yang terlihat bak lukisan.

     Ia muncul dari kegelapan, sayap hitamnya seakan runtuh begitu ia menyentuh bentala. Meninggalkan bekas seperti ranting-ranting pohon yang patah. Teriakannya teredam jenggala tak menggema, bagai suara tangisan hujan atau hati yang terajam kelam. Kini ia telah menjadi sosok yang harus belajar berpaling dari bisikan kalbu yang terlahir kembali. Hingga nanti ia berjanji harus menemukan seseorang yang akan menemukan jiwanya yang asli.

     Penampilannya begitu memprihatinkan, untuk keadaan seseorang yang baru saja terbangun dari marcapada lewat jumantara yang kelabu; bajunya compang-camping, lusuh, kotor dan bau

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

     Penampilannya begitu memprihatinkan, untuk keadaan seseorang yang baru saja terbangun dari marcapada lewat jumantara yang kelabu; bajunya compang-camping, lusuh, kotor dan bau. Begitu pula wajahnya yang tampak sayu di balik piguranya yang elok. Membiarkan daksanya di bawa kemana saja tungkainya mau.

     Sebab, rumah─tempatnya berlindung dari tajamnya bulir nabastala dan panasnya baskara─kini sudah tidak menerima hadirnya. Bahkan untuk membersihkan diri atau mengistirahatkan atma yang lelah pun tampak lengkara. Jadi, diam-diam ia menyelinap masuk agar tidak memunculkan presensi seseorang yang sangat ia rindukan.

     Seokjin Schmid, sosok yang lebih tua tiga tahun darinya itu tidak akan menerimanya lagi. Jika ketahuan, pria itu tak segan-segan akan mengusir bahkan menodongkan besi tajam─hasil asahannya─kepada sang adik.

     "Pergilah, Jimin. Aku tidak butuh seorang adik pembunuh sepertimu!"

     Jimin dan pembunuh, seolah dua kata itu sudah melekat erat di benak kakaknya. Mereka adalah anak yatim piatu, ayahnya adalah seorang pandai besi dan mendirikan sebuah toko yang menjual berbagai macam senjata.

     Namun, di tengah hiruk pikuk siang, segerombolan jiwa-jiwa bengis itu datang menghabisi kedua orang tuanya yang sedang berjaga di toko; dengan berbagai macam senjata menancap di daksa kedua pasangan yang mulai ringkih itu. Alasannya hanya satu; Jimin kecil berhutang sebesar dua ratus Gulden* kepada para pemberontak pasar. Sejak saat itu, ia tenggelam dan hidup dalam persepsi sebagai pembunuh dengan segala memoar kelam yang mulai menarik alam bawah sadarnya. Ketika ia menoleh kembali ke rumahnya, itu semua hanyalah sebuah angan yang semu semata.

     Jimin kembali melangkah menuju hutan untuk mencari buah-buahan atau apa saja yang bisa mengganjal rasa laparnya. Setidaknya ia harus bertahan hidup, tidak peduli jika tidak ada atap yang menaungi atau hangatnya rengkuhan keluarga. Ia sudah terbiasa akan hal itu, bahkan menjalani kehidupan yang kejampun ia sudah berteman baik.

     Saat sedang beristirahat di bawah pohon yang rindang, riuhan angin berlarian kesana-sini; mengakibatkan dedaunan kering serta debu beterbangan, helaian rambutnya juga ikut serta ke arah embusan angin itu berlari. Matanya menyipit tatkala muncul sebuah presensi yang tampak janggal dari gumpalan angin hitam, kemudian menghadirkan sosok yang sangat rupawan.

     Entitas bermahatma nuraga, begitu kelihatannya. Namun yang Jimin lihat; ia bersayap hitam, berkaki lebar dengan kuku panjang di jarinya yang besar, telinga dan hidung besar yang memanjang ke bawah. Sosok itu adalah iblis yang bersembunyi di balik jiwa yang rupawan─jiwa manusia yang sudah ia ambil─untuk mencuri perhatian.

     "Siapa kamu?" tanya Jimin. Ia juga tak yakin, pertanyaannya terasa basa-basi di kala ia sudah mengetahui siapa yang berdiri di hadapannya.

     "Saya Taehyung, kebetulan saya melihatmu duduk di sini," jawabnya. Ia menyeringai lebar menampilkan deretan giginya yang rapih, tampak menarik.

     "Ada perlu apa kamu menemui saya?"
Taehyung menyelipkan kedua tangannya di saku dan berdiri dengan angkuh. "Saya akan menawari kamu kebahagian, harta yang melimpah dan semuanya yang kamu mau. Bagaimana?"

     Jimin mendengus pelan, penawarannya cukup menarik di saat kondisinya serba─sangat─kekurangan seperti saat ini. Ia tampak lama berpikir, namun sosok di depannya terus meyakinkan dirinya. Akhirnya Jimin menyetujui penawaran itu.

     "Baiklah, saya mau─"

     "Tetapi, akan ada dua syarat," potong Taehyung. Jemarinya menunjuk sesuatu yang berada di belakang Jimin. "Kalahkan seekor beruang besar nan buas itu untuk mengujimu. Jika kamu berhasil mengalahkannya, akan saya berikan semuanya," jelasnya.

     Jimin tampak ragu. Ia sama sekali tidak bisa bertarung. Bahkan tubuh beruang itu dua kali lipat dari besar tubuhnya. Satu-satunya benda yang mungkin dapat ia gunakan adalah pedang yang tidak terlalu panjang─yang selalu tersampir diikat pinggangnya dan selalu ia bawa kemana saja─hasil curian di toko ayahnya, sebagai kenang-kenangan.

     Demi harta, ia memantapkan hatinya untuk melawan beruang besar itu. Ia menodongkan senjata itu ke arah perut beruang. Namun hewan buas tersebut berhasil menyingkir dengan cepat lalu menggoreskan ketiga kukunya yang tajam ke wajah Jimin. Pemuda itu mengerang ketika darah segar mengucur mengenai bajunya. Kemudian ia berlari dengan cepat ketika beruang itu kembali ingin menerkamnya. Lalu ia mengambil batu untuk menimpuk kepala beruang itu.

Kena!

     Di saat ada kesempatan, Jimin segera menusuk perut besar itu dengan pedangnya. Dengan kaku, ia mulai mengoyaknya hingga isi perut beruang itu keluar semua. Si beruang tumbang. Dan Jimin menang. Kini ia menuntut janji pada sosok di hadapannya yang sedang bersandar di batang pohon yang daunnya rindang.

     "Saya menang, saatnya kamu memenuhi janji," kata Jimin, napasnya masih terengah-engah.

     "Baiklah. Semuanya ada di sana," ucapnya lalu jemarinya menunjuk─lagi─ke arah bangkai beruang yang tergeletak tak berdaya. Jimin mengkerutkan dahinya tak paham.

     Kemudian bangkai beruang itu tampak bercahaya, lalu perlahan berubah menjadi sebuah jaket berkulit beruang. Taehyung mengambil jaket itu lalu merogoh saku. Ia mengeluarkan ratusan Gulden dari saku jaket beruang tersebut.

     "Jaket ini berisi semua yang kamu butuhkan." Taehyung memberikan jaket itu pada Jimin. Pria itu langsung memakainya. Ketika ia merogoh saku, benar saja. Ia akan mendapatkan Gulden sebanyak yang ia mau.

     "Syarat kedua, kamu tidak boleh mandi atau membersihkan diri, menyisir rambut, jenggot, memotong kuku dan mengucapkan doa selama tujuh tahun," kata Taehyung tegas. Awalnya tampak aneh terdengar di telinga Jimin, namun ia tersadar, segalanya tidak ada yang gratis di dunia ini. Jadi ia mencoba untuk menyanggupi syarat tersebut.

     "Lalu kamu tidak boleh mati. Jika kamu mati, jiwamu akan jadi milik saya," katanya lagi. Jimin merespon uluran tangan Taehyung tanda ia menyetujuinya. Toh, ia sudah terbiasa hidup sesusah apapun. Bedanya, kini ia memiliki banyak harta, itu tidak akan jadi masalah, pikirnya.










*Gulden adalah mata uang Belanda selama beberapa abad, sebelum digantikan oleh euro pada 1 Januari 2002. Kata gulden berasal dari bahasa Belanda Kuno yang berarti 'emas'.  ©️Wikipedia

Bearskin: Seelen At Stake √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang