Ig : @Anantapio26_
Hei! Hei! Babang Pio kembali lagi. Jangan lupa vote dan komennya yaa :)
Happy reading. Muah :*
Dimas terus melangkah menghampiri Olivia. "Gimana keadaan Nanta?" tanyanya langsung.
"Hampir mati," jawab Olivia nampak begitu malas untuk membalas tatapan Dimas.
"Oke. Thanks, ya. Lo udah nolong sahabat gue," ujar Dimas berlalu.
Tanpa menahan sosok itu, Olivia membiarkan Dimas pergi menuju ruang HCU setelah dokter keluar dan menjelaskan keadaan Nanta yang kini sedang tertidur. Sebenarnya, selain Nanta yang tahu keadaan hidupnya adalah Dimas. Laki-laki itulah yang tahu tatkala sang mama mengamuk di tengah perempatan jalan tepat di terik siang saat pulang sekolah.
Ia menghela dan memilih untuk kembali melangkahkan kakinya yang sempat tertunda. Sembari berdoa pada Tuhan, ia meminta agar Tuhan menguatkan Nanta. Terutama seseorang yang masih tinggal di dalam hatinya.
"Hai." Tepat di hadapannya, Laisa menyapa tanpa ragu.
Bukannya membalas sapaan Laisa, Olivia memutar tubuhnya dan melihat Dimas sudah masuk ke ruangan beraroma antiseptik di seberang koridor.
"Gue mau berterima kasih sama lo."
Olivia mengernyit. Laisa terlalu datang tiba-tiba.
"Titip Nanta, ya?"
Olivia menatap Laisa dengan netranya yang menunjukkan sinyal tidak mengerti.
"Lo selalu ada buat Nanta."
Daripada semakin bingung, Olivia menghela sebentar. "Nanta nunggu lo di sana," ujarnya datar lantas pergi.
Sepeninggal Olivia, Laisa mematung di tempatnya. Ada sesuatu yang ingin ia tahan agar tidak pergi begitu saja, yakni sebuah keterikatan rasa rindu yang selalu saja kuat saling beradu. Lagi, ia hanya mampu berharap bahwa seiring berjalannya waktu semuanya dapat kembali seperti semula. Dirinya, Ananta, dan perasaannya yang masih saja dan akan tetap sama.
Kakinya kembali terayun, lantas masuk ke ruangan HCU. Di dalam sudah ada Dimas, laki-laki itu tengah berdiri memandangi wajah pucat Nanta.
Dimas menoleh ke belakang, menangkap raut sedih yang dengan terang-terangan Laisa tunjukkan padanya. Namun tatapannya segera berpaling pada ponsel di genggamannya yang bergetar dan menampakkan nama si penelepon, tak lain ia adalah Arya.
"Gue ke depan dulu," pamitnya segera.
Laisa hanya mengangguk sekali. Tatapannya kembali tertuju pada Nanta. Lelaki itu masih bernapas seperti biasa. Ya, dengan alat bantu napas yang memenuhi lubang hidungnya.
Ia tersenyum getir tatkala melihat pergerakan kepala Nanta. Rasanya seperti melihat sesosok bayi yang tengah mencari kenyamanan pada suatu kehangatan.
Pelan-pelan kedua kelopak matanya terbuka sayu. "Hai." Sapaan dari gadis itu mengudara. Menyentuh gendang telinganya dengan lembut, sekaligus mengembuskan udara hangat ke sekujur tubuhnya.
Nanta berusaha tersenyum meski harus selalu menahan rasa sakit di dadanya.
"Dimas yang ngabarin aku," ujarnya lembut.
"Terus?" Nanta bersuara dengan lemah. Sedangkan gadis di depannya tengah mengulum bibirnya kuat-kuat.
"Dia ngasih tau kalo kamu berantem lagi sama Jonathan," lanjut gadis itu. Sosok gadis yang kini cukup berat untuk Nanta panggil namanya. Namun, mau tak mau ia harus terus didera rindu -yang tak berkesudahan.
Nanta merotasikan bola matanya. "Udah?" tanyanya langsung membuat Laisa terkesiap.
"Ya-ya, u-udah," jawab Laisa tergugup.
"Masih mau di sini?" tanya Nanta lagi dengan sepasang netra tertuju ke dalam dua iris mata indah di depannya. Suaranya yang lemah lantas membuat Laisa mengangguk dengan jujur.
"Kenapa, La?" Nanta masih menatap raut yang kini mulai menampakkan sedihnya.
"Rasa sayang ini nggak akan pernah bisa terselesaikan, Nan." Laisa berkata jujur lagi. Lalu menarik napas dengan berat. "Dan nggak semestinya kamu tanya kenapa," lanjutnya.
"Tapi semesta yang masih bertanya-tanya, La. Kenapa di antara kita masih sekeras ini? Padahal karang saja masih bisa terkikis ombak." Nanta menahan laranya. Sialan! Dada sebelah kirinya kembali berdenyut ngilu. Ingin merintih, tapi sepertinya akan sangat memilukan bagi Laisa.
"Aku butuh istirahat, La," ucap Nanta berharap Laisa segera pergi dari tempatnya. Meski sebenarnya ia ingin terlelap dengan tenang dalam pelukan gadis itu. Sudah, Ananta. Sudah!
Laisa mengangguk. Senyumnya mengembang meski segaris pilu nampak di sepasang bibir manisnya. Ia pun bangkit dari tempatnya. "Aku pulang, ya? Kamu jaga diri baik-baik, ya?" pesannya seperti suara bidadari di antara cahaya yang tersembunyi. Setelah itu ia berlalu.
"La." Sial. Nanta tidak bisa menahan suaranya untuk tidak memanggil Laisa.
Gadis itu menghentikan langkahnya dan menoleh.
"Hati-hati."
Laisa hanya mengangguk saja. Tersenyum lagi seperti sedang menahan semuanya agar terlihat baik-baik saja. Walau jauh di dalam lubuk hatinya, ia sedang tercabik-cabik tanpa peduli secuilpun.
Ia kembali melangkah. Meninggalkan Nanta dan membiarkannya sendirian di dalam ruangan yang membosankan. Pintu itu ia tutup, Laisa terpaku diam. Sedang, perasaannya melanglang buana tanpa kata pamit, persis seperti anak kecil yang masih belum tahu arti kesopanan yang lalu datang dan pergi sesuka hati. Nahas, lagi mesti dimaklumi.
Laisa tersadar dari lamunannya, saat sebercak darah terasa membasahi satu lubang hidungnya. Juga tempurung kepalanya yang mendadak menjadi berat. Jantungnya pun ikut berdebar hebat. Namun, sebisa mungkin Laisa menahan diri untuk tidak pingsan di koridor rumah sakit yang sepi. Meski ujungnya, tubuhnya nyaris ambruk pula.
Ia berjongkok. Menyandarkan tubuhnya dan berharap aliran darahnya menuju otak kembali normal. Kepalanya tertoleh ke arah pintu ruang inap di sampingnya. Andai semuanya bisa menjadi baik-baik saja.
Merunduk. Menangis diam-diam. Mengadu pada Tuhan perihal kesakitannya. Hari ini cukup melelahkan.
Sayup-sayup terdengar sebuah lagu yang cukup asing baginya.
Bunga merah menjemput yang lelah dibuainya basah
Seperti lembut yang mengizinkanku lebih kuat dan tak lemah
Seperti lembut yang memperbolehkanku lebih lemah dan tak gagahBunga merah memanggil yang lelah dibuatnya rekah
Seperti peluk yang mengizinkanku lebih luas dan tak gundah
Seperti peluk yang memperbolehkanku lebih gundah dan tak luasLuas...
Seperti doa yang menjagaku dari rusak dan tak cukup"Luas, La. Nggak perlu khawatirkan soal kita."
Suara itu pula yang membuat Laisa lantas menoleh dan mendapatkan sosok Nanta yang tengah memegangi dadanya serta tangannya yang lain memeluk lututnya. Laki-laki itu tersenyum, padahal wajahnya nampak semakin pucat seperti mayat.
"Jika aku adalah orang terburuk yang pernah kamu temui. Aku minta maaf," katanya lemah dan masih tersenyum. Meski setipis kain sifon usang.
Jemari Laisa bergerak mengusap halus wajah Nanta. "Justru kamu yang paling aku banggakan, Nan."
Nanta memejamkan matanya, menikmati setiap sentuhan jemari Laisa, yang terus bergerak halus menyentuh kelopak matanya, hidungnya, pipinya dan berakhir di bibirnya. Sebelum semuanya terasa hilang, ia tersenyum seolah baru merasakan sebuah kenyamanan. Lantas sepi, sunyi, gelap. Semuanya berubah seperti sosok tuli dan buta nan melayang menuju ke angkasa.
"Nan." Bahkan suara Laisa yang terus berulang kali memanggil-manggilnya pun sama sekali tak terdengar. Yang ia rasakan hanyalah sesosok yang memerintahkan padanya untuk beristirahat.
Tbc...
KAMU SEDANG MEMBACA
AXIOMATIC (END)
Teen Fiction(HARAP FOLLOW PENULISNYA TERLEBIH DAHULU) (Prequel of Kisah Tentang Ananta'S) Ini tentang laki-laki kaku dengan perasaannya yang kelu. Juga tentang cemburu dan rindu yang memaksa untuk menyatu padu. Tentang sajak dan alunan kisah. Pun tentang perjua...