21. Ancaman

719 71 0
                                    

Happy Reading!!!

***

"Kamu dari mana?"

Sadewa menoleh dengan gerakan malas saat mendengar pertanyaan yang terlontar dari suara yang begitu amat ia hapal, namun tidak ingin ia dengar untuk saat ini karena itu bisa saja merusak mood-nya yang tengah bagus akibat pertemuannya dengan Devina. Tapi sepertinya Sadewa tidak bisa menghindar begitu saja untuk kali ini.

Sandra, berdiri beberapa langkah di depannya saat ini, dan dari raut wajah cantik itu Sadewa dapat menebak bahwa perempuan itu tengah kesal, tapi Sadewa mana peduli.

Sudah cukup tujuh bulan ini ia selalu diam menuruti setiap rengekan Sandra. Kini Sadewa ingin bersikap masa bodo untuk tidak terlalu melukai perasaan perempuan itu meskipun dengan caranya ini sudah cukup membuat Sandra terluka. Namun mau bagaimana lagi, Sadewa tidak bisa memberikan hatinya pada Sandra dan ia tidak pernah bisa menganggap wanita itu sebagai kekasih sesungguhnya.

"Kamu dari mana?" ulang Sandra saat tidak ada juga sahutan dari laki-laki di depannya.

"Ada apa? Kenapa kamu ada disini?" bukannya menjawab, Sadewa malah justru balik melayangkan tanya.

"Apa salah aku ingin menemui kekasihku sendiri yang belakangan ini selalu saja sulit di temui?"

"Sandra ..." Sadewa menarik napasnya, lalu kembali menghembuskannya perlahan. "Aku antar kamu pulang sekarang." Putus Sadewa pada akhirnya, berjalan mendekat dan meraih tangan Sandra keluar dari rumah.

"Aku gak mau pulang, Sadewa! Aku masih ingin tahu dari mana kamu, kenapa pergi gak bilang aku?" berontak, Sandra berusaha menghempaskan cekalan tangan Sadewa yang cukup erat.

"Kamu gak perlu tahu aku dari mana. Sekarang kamu pakai seatbelt-nya, aku atar kamu pulang."

"Bilang dulu, Sadewa, kamu dari mana?!" bentak Sandra tanpa menuruti titah laki-laki yang duduk di belakang kemudi.

"Terserah!" acuh Sadewa, kemudian melajukan mobilnya membelah jalanan yang cukup sepi di jam sembilan malam ini. Tidak menghiraukan teriakan dan segala makian juga rengekan perempuan di sampingnya. Sudah terlalu biasa dan Sadewa malas menanggapi.

Lima belas menit waktu yang Sadewa butuhkan untuk tiba di depan gedung apartement Sandra yang menjadi tempat tinggal perempuan itu selama satu tahun belakangan ini.

Selesai memarkirkan mobilnya, Sadewa keluar tanpa berkata apa pun, lalu bersandar di kap mobilnya hingga Sandra datang masih dengan kekesalannya, bahkan mungkin saat ini bertambah, melihat wajahnya yang semakin memerah itu.

"Kamu keterlaluan Sadewa! Kamu berengsek!" maki Sandra menghujani Sadewa dengan pukulan-pukulan dari tangan kecilnya. Laki-laki itu tak sama sekali bergeming, membiarkan perempuan di depannya melampiaskan kekesalannya sebelum kemudian meraih kedua tangan itu untuk menghentikannya.

Sadewa membawa Sandra ke dalam pelukannya, melayangkan kecupan di puncak kepala Sandra lalu memberi jarak kembali. "Aku sayang sama kamu, San, sejak dulu hingga sekarang. Tapi maaf karena aku tidak bisa mencintai kamu."

Meskipun sudah pernah mendengar pernyataan itu, nyatanya rasa sakit yang Sandra rasakan masih begitu menyesakan dada. Tujuh bulan berada di samping Sadewa masih tidak cukup untuk membuat laki-laki itu memberikan hatinya. Bahkan bertahun-tahun lalu, berada di sampingnya dengan berkedokkan sebuah persahabatan sama sekali tidak bisa membuat Sadewa menjadi miliknya.

"Kenapa? Apa aku setidak menarik itu di matamu? Apa aku setidak pantas itu untuk kamu cintai? Kenapa Sadewa? Kenapa ... kenapa kamu setega ini sama aku? Aku mencintai kamu, Sadewa." Sandra tidak lagi bisa membendung air matanya yang sejak tadi berlomba meminta kebebasan.

"Aku tahu, tapi kamu juga harus tahu bahwa perasaan tidak bisa di paksakan. Aku sudah menganggapmu seperti saudaraku sendiri, San, dan aku tidak bisa mengubah itu menjadi seperti yang kamu inginkan. Aku sudah mencoba ... aku sudah berusaha, tapi aku tetap tidak bisa, maaf." Sesal Sadewa, menatap perempuan di depannya dengan sorot bersalah. Sungguh, Sadewa tidak terlalu tega mengungkapkannya, tapi ini harus Sadewa lakukan sebelum luka yang Sandra dapatkan semakin dalam.

"Apa kamu memiliki kekasih?" tanya Sandra tiba-tiba.

Sadewa tidak menjawab, namun laki-laki itu sedikit menunduk, tidak mampu melihat sorot mata perempuan di depannya yang begitu jelas menyiratkan sebuah luka. Sadewa takut kembali iba.

"Jadi benar, kamu seperti ini karena kamu sudah memiliki kekasih? Siapa? Apa aku mengenalnya? Apa aku pernah bertemu dengannya?" cecar Sandra dengan air mata yang sepertinya enggan berhenti.

"San--"

"Kamu mencintainya? Ah, itu sudah jelas, karena jika tidak, kamu pasti akan menggunakanku sebagai tamengmu seperti sebelum-sebelumnya." Sandra tertawa miris. Sesak rasanya mengingat posisinya selama ini yang hanya dimanfaatkan laki-laki tercintanya. Di butuhkan hanya untuk mengusir hama yang menempel, di perlakukan manis hanya di depan korban-korbannya, dan diakui hanya sebagi tamengnya.

Sandra tidak menyangka laki-laki yang di cintainya bisa setega ini. Namun, Sandra tak tahu siapa yang sebenarnya patut di salahkan disini. Dirinya yang terlalu mencinta, atau Sadewa yang terlalu brengsek dan tak berperasaan. Karena yang jelas, Sandra tidak akan melepaskan laki-laki itu, tidak akan membiarkan siapa pun merebut Sadewa darinya, dan tidak akan membiarkan perempuan manapun memiliki Sadewa selain dirinya. Katakanlah ia egois, tapi bukankah cinta memang egois? Jadi, biarkan dirinya menjadi egois untuk mendapatkan cinta Sadewa.

"Jangan harap perempuan itu bisa mendapatkan kamu, karena selama aku hidup di dunia ini, tidak akan pernah aku izinkan perempuan manapun memiliki kamu. Ingat Sadewa, aku akan menyingkirkan siapa pun yang menghalangiku untuk mendapatkan kamu." Ancam Sandra tak main-main, membuat Sadewa terkejut. Tidak habis pikir akan apa yang di lontarkan perempuan di depannya.

Sorot mata Sandra yang berapi-api membuat Sadewa tidak mengenali sosok sahabatnya yang sejak dulu ia sayangi, perempuan baik dan anggun itu dalam sekejap berubah menjadi iblis yang menyeramkan hanya karena perasaannya tidak bisa Sadewa balas.

"Jangan gila, Sandra. Kamu sadar atas apa yang kamu ucapkan barusan?"

"Kenapa? Kamu takut?" Sandra mendongak, menatap mata hitan Sadewa dengan menantang. "Sadewa, jika aku tidak bisa mendapatkan kamu, maka orang lain pun tidak akan bisa. Aku akan menyingkirkan hama-hama itu seperti yang biasa aku lakukan, bedanya ... aku akan melakukan itu dengan caraku."

Setelahnya, Sandra berlalu dari hadapan Sadewa, masuk ke dalam gedung apartement yang sepi itu. Namun sebelum langkahnya semakin jauh, Sandra kembali menoleh, menyunggingkan senyumnya. "Aku tidak main-main dengan ucapanku, Sadewa. Jika kamu tidak percaya, silahkan kamu mencobanya." Sandra benar-benar pergi kali ini, meninggalkan Sadewa yang mulai terganggu dengan ucapan Sandra yang sarat akan peringatan.

Meskipun yakin perempuan itu tidak mungkin melakukan hal di luar batas wajar, tapi Sadewa tidak bisa menampik bahwa hatinya kini mulai mengkhawatirkan sang kekasih yang tidak sama sekali mengetahui mengenai Sandra.

"Apa pun yang terjadi, aku akan melindungimu, Dev. Aku tidak akan membiarkan seorang pun melukai kamu, termasuk Sandra."

***

TBC...

Pelabuhan TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang