Happy Reading!!
***
"Kamu mau jemput pacar saya?” tanya Sadewa pada Zidan yang baru saja datang.
“Saya mau jemput pacar saya, bukan pacar Bapak.” Deliknya tak suka. Lagi pula siapa yang suka jika pacarnya di akui orang lain?
Sadewa tidak memedulikan itu, berapapun banyaknya laki-laki yang menjadi kekasih Devina, itu tidak masalah, karena Sadewa yakin, nanti hanya dirinya satu-satunya yang menjadi pedamping perempuan itu.
Tak lama Devin dan Devina keluar, sudah siap untuk berangkat. Namun langkah keduanya terhenti saat melihat dua laki-laki yang tengah bersaing itu. Devin memutar bola mata malas, sementara Devina hanya menampilkan wajah datarnya. Devina paling malas jika di hadapkan dengan pilihan.
“Berangkat yuk, Vin.” Ajak Devina pada kembarannya itu, melangkah lebih dulu menuju mobil Devin yang baru saja di keluarkan dari garasi oleh pak satpam.
“Yakin lo gak akan berangkat sama salah satu dari kedua pacar tersayang lo itu?” tanya Devin menunjuk Sadewa dan Zidan bergantian.
“Gak deh, nanti gue di sangka pilih kasih. Mending sama lo.” Jawab Devina menoleh sekilas.
“Kamu berangkat sama Zidan aja, Dev, aku ikutin dari belakang,” kata Sadewa dengan senyuman manisnya.
Mendengar itu, Devina hampir saja menjatuhkan rahangnya. Kesal, marah, tak percaya dan berbagai perasaan lainnya bergejolak di hati Devina saat ini.
Untuk kedua kalinya laki-laki itu tidak berusaha mempertahankannya. Devina tidak mengerti dengan maksud Sadewa. Kemarin laki-laki itu seolah tak ingin kehilangannya, begitu manis dan menginginkan untuk melindunginya. Tapi sekarang? Sadewa malah membiarkan Devina dengan laki-laki lain. Menggeleng tak habis pikir, Devina memilih masuk ke dalam mobil Devin tanpa mengucapkan apa pun.
Untuk kedua kalinya Devina kecewa karena merasa di permainkan.
🍒🍒🍒
“Devina tunggu!” teriak Devin mengejar kembarannya yang sudah melangkah lebih dulu begitu mobil berhasil diparkirkan. Namun yang di panggil tidak sama sekali memedulikan, terus berjalan tanpa tengok kanan kiri.
Devin tidak mengerti dengan apa yang tengah terjadi pada kembarannya itu. Sepanjang perjalanan, Devina hanya menatap ke luar jendela tanpa menghiraukan kicauan Devin. Meskipun Devina memang tidak suka banyak bicara saat di perjalanan karena sibuk dengan ponsel dan bacaannya, tapi untuk kali ini berbeda. Devina benar-benar pendiam dan Devin belum tahu akan sebabnya. Tapi sorot kecewa sedikit dapat Devin tangkap dari mata indah kembarannya.
“Lo kenapa?” tanyanya saat langkahnya sudah sejajar.
“Gak apa-apa.” Singkat dan jelas. Devin tentu saja tidak percaya. Sebagai saudara yang berbagi rahim selama sembilan bulan, Devin lebih peka pada perasaan kembarannya.
“Gak biasanya lo bertahan dalam hubungan yang bikin lo gak nyaman,” kata Devin mengikuti langkah kembarannya masuk ke dalam kelas.
“Nunggu mereka melepaskan diri.”
“Kenapa?” heran Devin duduk di kursi depan entah milik siapa, menghadap sang kembaran. Devina hanya mengedikkan bahunya. “Karena lo terlanjur jatuh cinta?” tebak Devin, yang langsung saja mendapat delikkan dari perempuan cantik di depannya itu. Namun Devina tidak membantahnya sama sekali, memilih untuk mengambil buku dari dalam tasnya dan menghiraukan sang kembaran, hingga Devin kesal sendiri dan berlalu pergi.
Menatap kepergian adiknya, Devina membuka napas pelan, mulai memikirkan apa yang di ucapkan Devin barusan. Jatuh cinta? Seharusnya belum masuk ke tahap itu. Tapi Devina sadar bahwa memang bukan dirinya sekali bertahan pada hubungan yang tidak membuatnya nyaman.
Namun harus ia akui bahwa untuk melepaskan bukanlah hal yang ingin dirinya lakukan begitupun dengan mempertahankan. Entahlah apa yang sebenarnya Devina inginkan saat ini, karena kebimbanganlah yang nyatanya ia rasakan sekarang, dan untuk pertama kalinya ia merasa rumit menjalin hubungan yang biasanya tidak pernah dirinya pikirkan.
“Kenapa lo, Dev?” satu tepukan Devina dapatkan dari sahabat satu-satunya itu.
“Lo bisa gak sih, gak pake tepuk pundak gue? Di kira gak sakit apa!” Devina menatap kesal Miranda yang tengah memberikan cengiran tak berdosanya.
“Lo kenapa ngelamun?” ulang Miranda tanpa menghiraukan kekesalan Devina.
“Gak!” jawaban singkat itu membuat Miranda memutar bola matanya bosan. Heran juga karena selalu saja sahabatnya itu menjawab ‘tidak’ setiap di tanya ‘kenapa’.
“Jadi lo gak mau cerita sama gue, nih?”
“Gak ada yang mesti gue ceritain, Mir.” Kukuh Devina tanpa mau memberitahukan apa yang tengah mengganggu pikirannya.
Miranda akhirnya menghela napas pelan, berusaha memahami sahabatnya yang sepertinya belum siap untuk bercerita. Memang, Devina lebih suka menikmatinya sendiri, dari pada harus berbagi. Dan sifatnya yang seperti itu yang kadang kala membuat Miranda tidak berguna menjadi seorang sahabat. Tapi mau bagaimana lagi, Miranda sudah terlalu nyaman menjadi sahabat dari gadis itu.
Tidak ada alasan untuk dirinya menjauh meskipun kadang terkesan tidak di butuhkan oleh Devina. Please, Devina tidak seburuk itu. Temannya itu hanya terlalu tertutup dan tidak ingin membagi masalahnya dengan orang lain selama dia bisa menyelesaikannya sendiri. Miranda yang sebagai sahabat bukankah harus menghargai itu?
“Oke kalau memang lo gak mau cerita,” Miranda menyerah juga pada akhirnya. “Oh iya, mantan lo kirim salam, Dev,” kata Miranda begitu mengingat pesan seseorang yang tidak sengaja ditemuinya ketika handak menuju kelas.
“Mantan yang mana?” tanya Devina tanpa menoleh sedikitpun pada sahabat di depannya.
“Cih, beda ya yang punya banyak mantan, sampai gak tahu mantan yang mana yang kirim salam.” Cibir Miranda dengan nada yang mengandung rasa iri.
“Gak ada alasan untuk gue sombong punya mantan banyak,” ujar Devina cuek. Toh memangnya apa yang harus di banggakan dengan mantan banyak? Gak ada satu pun yang istimewa dari itu semua karena kenyataannya memiliki mantan banyak bukanlah keinginan hati Devina, melainkan sebagai bentuk rasa kecewanya atas kesakitannya dulu.
Laki-laki memang tidak semuanya berengsek, maka dari itu Devina berusaha untuk tidak terlalu menyakiti setiap laki-laki yang menjadi kekasihnya selama ini, namun Devina pun tidak ingin jika sampai dirinya yang tersakiti, kembali.
Miranda mengangguk singkat. Untuk hal yang satu ini Miranda memang tahu, karena Devina sempat menceritakannya. “Tadi di parkiran gue ketemu Gibran, dan katanya titip salam sama lo. Kalau ada waktu jangan lupa balas pesan dia.” Miranda menyampaikan apa yang di ucapkan mantan kekasih dari sahabatnya itu.
“Gue gak terima salam!” Devina mendengus, masih saja ada rasa kesal di hatinya untuk laki-laki itu jika kembali mengingat bagaimana Gibran memutuskannya beberapa waktu lalu, dan sekarang laki-laki itu kembali gencar mengejarnya, huh, di kira Devina akan kembali luluh. Meskipun dirinya akui bahwa Gibran sempat akan menjadi pelabuhannya, namun beruntung laki-laki itu lebih dulu melepaskan diri, jadi dirinya tidak harus kembali tersakiti seperti dulu.
“Tapi kayaknya dia tulus deh, Dev, mau balikan sama lo,”
“Setulus apa pun dia sekarang, nyatanya sudah pernah mengecewakan gue, dan gue bukan tipe orang yang suka memberi kesempatan kedua. Jadi, lo bilang sama dia, kasih aja ketulusan dia sama orang lain, karena gue gak bisa terima itu.”
Setelahnya Devina bangkit dari duduk dan keluar dari kelas, kesal kerena mendengar nama Gibran di tambah dengan kabar dosen tidak jadi masuk untuk mengajar membuat Devina ingin sekali mengumpat saat ini. Kedatangannya pagi ini ke kampus terasa sia-sia dan menambah buruk mood-nya.
***
TBC...
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelabuhan Terakhir
Teen FictionDevina yang sejak awal di nobatkan sebagai playgirl di Universitas Kebaperan, siapa sangka akan terjerat pada pesona sang dosen muda yang baru saja masuk dan langsung menjadi idola seluruh kaum hawa di Kebaperan termasuk dirinya. Hanya saja Davina t...