Jimin perlahan bangkit sembari memegangi lengan atasnya yang terus mengeluarkan darah. Ia menatap wanita misterius yang telah menolongnya. Wanita dengan baju kesatria berwarna hitam dengan renda di ujungnya, rambut panjang bergelombang yang diikat pita merah memberikan kesan manis di balik sosoknya yang misterius.Wanita itu melangkahkan tungkainya lebih dekat untuk melihat keadaan seseorang yang terlihat lemah tersebut. Jimin mengikuti kemana arah tatapannya. Lalu ia melihatnya mengeluarkan sapu tangan untuk mengikat lengannya agar darah segar tidak terus mengalir.
Mereka berdua pergi menuju tempat yang entah Jimin juga tidak tahu akan di bawa kemana. Setelah melewati kota dan memasuki hutan, sampailah mereka di sebuah mansion yang cukup besar. Jimin pikir itu adalah mansion milik wanita itu, namun ia ragu. Karena di samping mansion tersebut ada sebuah tempat yang mengerikan; tempat di mana orang-orang di siksa, mirip seperti penjara.
"Ini ... mansion milikmu?" kata Jimin ketika mereka sudah berada di samping halaman mansion.
"Bukan. Rumahku ada di samping penjara ini. Hanya kutinggali untuk sementara," ucap wanita itu. Jimin bisa lihat, di samping penjara itu ada sebuah rumah kecil yang bahkan penjara saja lebih besar dari rumahnya.
"Tunggu sini, aku akan mengambil obat." Jimin menurut saja. Sembari menunggu wanita itu, ia berjalan untuk melihat sekelilingnya. Mansion di ujung hutan, sangat sejuk dan menenangkan. Namun sangat disayangkan, dibalik hutan yang menenangkan ada sebuah tempat keji seperti ini.
Setelah wanita itu kembali, Jimin menghampirinya dan membantu membuka sapu tangan yang mengikat di lengannya selagi wanita itu membuka kotak obat.
"Ah iya, namaku Jimin dan namamu, siapa?" tanya Jimin.
"Apakah itu penting?" jawabnya tanpa menatap sang lawan bicara. Tangannya masih sibuk membersihkan luka di lengan Jimin. Jarak mereka begitu dekat untuk ukuran seseorang yang baru saling mengenal ─bahkan Jimin saja belum mengetahui namanya.
Jimin terhenyak sebentar. "Setidaknya, saya ingin mengingat nama seseorang yang sudah menyelamatkan nyawa saya," kata Jimin masih terus mencoba untuk mengetahui nama wanita misterius itu.
Pemuda itu bisa mendengar ketika wanita yang berada dihadapannya menghela napas pelan. "Baiklah, namaku Aline. Jangan merasa berhutang budi padaku, karena menolong seseorang adalah sebuah kewajiban untukku," ucapnya.
Lalu wanita itu menggunting plester untuk menempelkannya di kain kasa agar tidak terlepas. Bagi Jimin, itu adalah kalimat terpanjang yang pernah ia dengar dari labium wanita yang sudah menolongnya. Ia juga bersyukur, wanita itu tidak takut dengannya setelah dengan jelas wanita itu melihatnya berubah menjadi beruang yang buas.
"Sebuah kewajiban? Memangnya kau siapa?" tanya Jimin yang tampaknya mulai tertarik dengan wanita itu.
"Aku bekerja sebagai petarung untung melawan sekutu yang menyerang kota ini. Namun setelah perang itu selesai, hidupku hanya berkelana mencari beberapa Gulden untuk hidup," katanya. Dapat Jimin lihat, wajah cantik itu berubah sendu ketika menceritakannya. Dirinya merasa iba, kemudian merogoh saku jaket kulit beruang itu untuk mengambil segenggam koin Gulden.
Namun diurungkannya ketika wanita itu balik bertanya. "Kau manusia beruang?" tanyanya. Kini wanita itu memusatkan atensinya pada wajah Jimin. Pemuda itu sempat tertawa kecil. Manusia beruang, ya? Ia saja tidak mengetahui jati dirinya sekarang. Perubahan tadi itu, muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat ia kendalikan.
"Kau tidak takut padaku?" tanya Jimin balik.
"Tidak, aku sudah sering bertemu hewan buas sepertimu. Bahkan para petinggi sekutu pun yang buasnya melebihi hewan dapat saya kalahkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bearskin: Seelen At Stake √
Fanfic[5/5] >> PJM, Movie!AU Kutukan itu bagai mimpi buruk. Namun, bukankah selama ini ia hidup dalam semua keburukan bagi setiap jiwa-jiwa yang telah dicurinya? Adapted by Film Bearskin (1986) @frasa_senja, 2O2O