Ishara turun dari mobilnya dengan ekspresi datar. Lokasi yang dikirim Wallmond ada di ujung kota, bangunan kosong penuh debu yang sudah ditinggalkan bertahun-tahun. Bau anyir dan udara pengap menyambut langkahnya. Tapi Ishara tak mengeluh. Ini bukan pertama kalinya dia menghadapi mayat. Tapi sesuatu terasa berbeda.
Begitu ia membuka pintu, suara pintu tua itu berdecit. Pandangannya langsung tertuju pada seorang pria yang duduk membungkuk di pojok ruangan.
Kalif.Tubuhnya seperti batu. Tak bergerak. Pandangannya kosong ke arah lantai.
Ishara melangkah lebih jauh masuk dan… ia berhenti.Di depan matanya, tiga karung besar tersandar di dinding. Ada noda darah menetes dari bagian bawahnya. Ishara mendekat pelan, wajahnya menegang.
Dia tahu isi karung itu bahkan sebelum dia menyentuhnya.
Tiga mayat.Geoff. Jono. Sergio.
“Gila,” bisik Ishara.
Marah mulai merambat ke tengkuknya. Ia berbalik ke arah Kalif, siap melabraknya. “Lo GILA?! Lo jalan sendiri kayak gini gak ngajak gue, huh?!”
Namun sebelum sempat mendekat, Wallmond dengan cepat berdiri di depannya, tangan terangkat, menghentikan langkah Ishara.
“Jangan ganggu Kalif dulu,” kata Wallmond tajam, nyaris berbisik.
“Saat-saat kayak gini, lo jangan cerewet… dan jangan berisik di depan Kalif.”Ishara mengernyit. Ia menunjuk Kalif, wajahnya bertanya-tanya.
Apa yang terjadi?
Wallmond menghela napas panjang. Ia menunduk, lalu pelan-pelan menjelaskan semua yang baru saja terjadi—tentang pengakuan Geoff, tentang rekaman suara, tentang pengkhianatan ayah Kalif sendiri.
Ishara tak bisa berkata-kata.Matanya melebar. Bahkan dia, yang sudah kenyang dengan kebusukan dunia kriminal, tak menyangka… Vittorio Luciano bisa sekejam itu. Membunuh anak kandungnya sendiri? Demi apa?
Ishara menatap Kalif lagi. Pria itu masih tak bergerak, tapi dari jarak ini, Ishara bisa melihat bahunya sedikit bergetar.Apakah dia menangis?
Tak ingin menunggu lebih lama, Ishara mengeluarkan ponselnya. Jarinya bergerak cepat, menghubungi kontak yang selalu dia andalkan dalam pelacakan.
DAX.
Begitu tersambung, suara berat Dax terdengar, “Ada apa, Ish?”
Ishara tak membuang waktu.“Dax, gue butuh bantuan lo. Cepat cari keberadaan Vittorio Luciano. Lo punya akses ke semua data pengawasan, kan?”
“Luciano?” Dax terdengar sedikit bingung. “Buat apa? Bukannya dia pensiun dari…”
“Cari sekarang, Dax.” Suara Ishara dingin dan penuh tekanan.“Dia bukan pensiun. Dia sembunyi. Dan kita baru saja temuin alasan paling busuk kenapa dia harus diburu balik.”
Sunyi sebentar. Lalu Dax menjawab tegas.“Oke. Gue gerak sekarang.”
Ishara menutup telepon dan menyelipkan ponselnya ke saku.
Ia menoleh ke Wallmond.
“Setelah ini, kita cari dia. Kita buka semua aib keluarga itu… biar dunia tahu siapa sebenarnya musuh yang sesungguhnya.”Wallmond mengangguk.
Sementara Kalif masih terdiam di sudut ruangan.
Tapi kali ini, matanya menatap lurus ke depan.Ada api di balik luka.
Dax sedang menyesap kopi hitam di markas kecilnya ketika ponsel bergetar. Nama Ishara muncul di layar, dan hanya butuh tiga kata darinya untuk membuat dada Dax mengeras:
"Cari Vittorio Luciano."
Bukan permintaan biasa. Nama itu adalah legenda. Seorang mafia pensiunan yang menghilang dari radar bertahun-tahun lalu. Semua database—Interpol, Europol, bahkan jaringan bawah tanah pun menganggap dia sudah mati atau memilih hidup dalam bayang-bayang.Tapi Ishara tidak pernah sembarangan bicara.
Dax meletakkan kopinya, menggeser kursi ke arah meja panjang yang penuh monitor dan kabel.
Layar menyala.
Tangannya menari di atas keyboard.
Akses server dalam.
Masuk ke arsip pengawasan lama.
Nama: Vittorio Luciano.
“Kasih gue jejak… satu jejak aja,” gumam Dax.Muncul puluhan file lama. Tapi semua tampak usang. Jejak terakhir hanya memperlihatkan dia di bandara Roma lima tahun lalu. Setelah itu, hilang.
Dax menggertakkan gigi.
Lalu dia buka log panggilan global. Dia tahu harus mencocokkan satu hal.
VL.Label rekaman yang disebut Ishara.
Dia mengakses sistem sinkronisasi call-tag internasional. Untungnya, rekaman yang dikirim Ishara muncul di cloud sistem terhubung. Ia buka file suara itu.“Pastikan dia dihajar, tapi jangan sampai mati. Saya yang akan bereskan sisanya.”
Suara tua. Tenang. Tapi penuh instruksi.
“Saya ulangi, namanya Kelvin. Kakaknya Kalif. Saya tidak ingin dia hidup lagi setelah ini.”Dax berhenti. Suaranya cocok.
Ia membuka voice match analyzer, sistem AI pendeteksi suara yang digunakan badan intelijen.
99,8% cocok dengan suara Vittorio Luciano.Dax menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Gila lo, Ishara… lo gak ngarang.”
Ia menarik napas dalam. Tapi ini belum cukup. Harus ada bukti hidup.
Dia mulai buka jaringan CCTV privat yang tersambung ke berbagai titik: rumah sakit, hotel, bandara, klub golf elit, bahkan rumah ibadah. Salah satu sumber memberikan hasil mencurigakan.Lokasi: Maratea, Italia Selatan.
Sebuah villa yang dijaga ketat. Terdaftar atas nama perusahaan fiktif—tapi IP security-nya terhubung dengan logistik milik Luciano Group.
Dax meng-zoom kamera.
Dan di balkon atas, ada pria tua sedang merokok.Tampangnya memang menua, rambut memutih. Tapi posturnya tak berubah.
Vittorio Luciano.
Dax mengepalkan tangan. Lalu membuka line telepon ke Ishara lagi.
“Ish… kita dapat dia.”“Lokasi?” tanya Ishara cepat.
Dax menatap layar.“Maratea. Villa dengan penjagaan super ketat. Tapi satu hal yang harus lo dan Kalif siapin…”
“Apaan?”
“Ini bukan lagi soal pembalasan pribadi,” ujar Dax pelan. “Lo dan Kalif baru nyentuh sisi paling busuk dari keluarga Luciano. Kalau kalian maju… lo berdua bakal buka pintu menuju perang keluarga yang lebih kejam dari yang kalian pikir.”
Di seberang sana, Ishara hening sebentar. Lalu menjawab, dingin:
“Kalau Kalif gak mundur, gue juga enggak.”Dax tersenyum kecil. “Gue suka jawaban lo.”
Dia menggeser layar, print out lokasi, lalu berdiri.
“Gue ke markas kalian sekarang. Kita mulai rencana gempur dari malam ini.”
Mereka semua sudah berkumpul di mansion besar yang menjadi markas mereka. Suasana berat menyelimuti ruangan itu. Kalif berdiri di tengah, matanya menyala penuh kemarahan yang dalam, seperti bara api yang siap membakar apa pun yang menghalangi jalannya.
Zed menatap tajam ke arah Kalif. Ia bisa merasakan emosi yang berkecamuk dalam diri sahabatnya itu. “Kalif, aku tahu hanya Kelvin Luciano yang benar-benar berharga bagimu,” bisik Zed dalam hati, memahami betapa dalam luka yang Kalif rasakan.
Di sudut lain ruangan, Zion menunggu dengan sabar tapi penuh gairah gelap. “Ini benar-benar Vittorio. Dia benar-benar lupa bahwa anak keduanya adalah yang paling sadis di dunia ini,” pikir Zion, sebuah senyum dingin terukir di wajahnya. Ia sudah tidak sabar untuk 'bermain' dengan pria tua itu.
Dax berdiri di dekat meja besar, dengan tangan membuka dokumen dan data yang sudah berhasil dia kumpulkan tentang Vittorio Luciano. “Aku sudah dapat semua datanya,” ucap Dax dengan nada serius. “Ini bukan orang biasa.”
SEBAGIAN DI APUS UNTUK KEPENTINGAN PENERBITAN

KAMU SEDANG MEMBACA
ROSE'S FOR THE DEAD. (SEGETA TERBIT)
Science FictionDi balik wajah dunia yang damai, tujuh pemuda menyimpan luka, kemarahan, dan dendam yang tak berkesudahan. Zed, pemimpin dingin yang tak pernah ragu membunuh. Zion, bagaikan api liar, brutal dan tak terkontrol. Kalif, diam dan sadis seperti kematian...