Pulang.
Rumah.
Menetap.
Tinggal.
Rumah bukan hanya soal tempat, menurutku. Ia adalah suatu kata sifat yang merujuk pada entitas, sebuah wujud yang nyata dari tujuan untuk pulang dan beristirahat. Dalam pengertian ini, aku tidak menggunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk menilik apa makna dibalik kata rumah, maupun pulang. Atau bahkan berselancar pada internet, mencari glorifikasi yang tepat menggambarkan perasaanku mengenai sesuatu yang disebut rumah. Maksudku, bahkan sejak kecil aku sudah tahu bahwa penggalan kata rumah selalu diasosiasikan dengan kata pulang.
Rumah adalah suatu hal yang digunakan untuk berteduh, melindungi diri dari bahaya, dingin, panas, maupun ketidaknyamanan.
Meskipun kemudian, beranjak dewasa aku mulai kehilangan arti dari dua kata tersebut.
Apa itu pulang? Apa itu rumah?
Semuanya terasa kabur dan membuatku terlempar ke masa dimana semuanya masih terasa baik-baik saja.
Jauh ketika aku masih mengalami situasi dimana ketiga kakakku dan aku masih berebutan lauk di meja makan, dan ayah dan ibuku yang melihatnya maklum. Tidak mencoba menengahi.
Kapan ya, itu, rasanya sudah lama sekali.
Oh, atau rumah teman terdekatku, yang biasa menjadi basecamp kami berkumpul. Aku dan satu gengku semasa sekolah.
Sepertinya itu bukan lagi basecamp kami. Mungkin ada basecamp lain yang terbentuk selama proses pendewasaan diri ini.
Semua orang memiliki rumah dan tempatnya masing-masing.
Ayah, yang pulang ke tempat pemiliknya berada, yang merajai seisi dunia dan akhirat.
Ibu, yang pada akhirnya memilih untuk membangun rumah yang baru, hangat, dan nyaman untuk menemani masa tuanya.
Kakak-kakakku, yang meskipun hidup dengan problematika dunianya masing-masing, telah memiliki tujuannya untuk pulang dan tinggal di dalamnya, sebuah rumah yang hangat bagi mereka yang tidak lagi sendirian.
Teman-temanku, yang beradaptasi dengan baik dengan lingkungannya.
Aku?
Aku kehilangan definisi rumah dan alasan untuk pulang.
Aku melangkah maju sedikit demi sedikit. Tidak banyak, masih cukup untuk membuatku menoleh sejauh apa jarakku pada sesuatu yang sempat kusebut rumah.
Sepertinya aku terlalu lamban.
Atau dunia yang berjalan terlalu cepat, ya.
Meskipun semua orang berkata itu masih tempat yang sama, menurutku semuanya sudah jauh berbeda.
Home sweet home.
Jauh dalam benakku, aku masih ingin pulang. Tapi kemana?
Lagipula,
Bagaimana bisa aku merasa pantas untuk memiliki rumah sebagai tempat untuk pulang, apabila tujuanku saja masih entah menuju kemana.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Brief Memory of Home
Short StoryFor I've always missed being a part of it, a thing called home.