"Ini semua gara-gara kamu. Andai saja kamu melakukannya dengan baik, kita takan kehilangan pelanggan itu". Ucap si bos dengan Nada kesal
"Maaf pak, tapi aku sudah melakukannya dengan benar." Imam mencoba membela diri.
"Sudahlah. Mulai hari ini kamu aku berhentikan, Bikin aku rugi saja."
Imam masih terduduk disana, terdiam merunduk. Tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Hanya luka yang terasa didadanya.
"Ini gajimu, aku potong setengahnya untuk ganti rugi pelanggan saya."
"Terima kasih pak, maafkan atas kelalaian saya."
Imam beranjak dari tempat duduknya berdiri lesuh, berjalan keluar kejalan raya. Berjalan ditrotoar dibawah cahaya senja ditengah kota yang padat. Tanpa terasa air matanya menetes, begitu dunia tidak adil untuknya. Ini untuk pertama kali, imam kehilangan pekerjaan. Yang jelas-jelas bukan karna kesalahanya. Tentu apalagi jika bukan karna dijebak oleh orang-orang yang tak suka denganya. Orang-orang yang merasa iri dengan sifat rajin Imam.
Sebelum kejadian itu, Imam Selalu mendapat pujian dari bos atas hasil kerjanya yang selalu memuaskan. Namun apalah boleh dikata, kali Imam tak mampu berbuat apa-apa karna tak ada bukti yang bisa ia tunjukkan, apalagi ia tak nyaman jika harus menuduh-nuduh sembarangan.
Imam menghapus air matanya menatap senja yang hangat, cahaya jingga berbinar dimatanya. Dia singgah disuatu halte tua, duduk disana merunduk dan termenung. Kembali air matanya menetes tak terbendung jatuh membasahi lantai halte tua tersebut." Selalu ada harapan setiap kali dipatahkan", suara itu terdengar dari orang yang duduk disampingnya.
"Tak perlu berkecil hati nak, orang-orang baik sepertimu akan mendapatkan tempat yang baik. Pasti, yakinlah. Kau akan sampai disana, hanya saja jalan yang kau lalui tak semudah yang kau inginkan, mungkin akan melukaimu berkali-kali. Jangan sekali-kali berkecil hati, jangan. Aku percaya Tuhan telah menyiapkan segalanya untukmu, hanya saja belum sekarang. Mungkin nanti, setelah kamu bisa berdamai dengan luka-lukamu."
"Mungin nanti. Mungkin.. mungkin juga tidak, tidak akan pernah."
"Bagiku itu bukan salahmu nak, mereka hanya merasa terganggu dengan kehadiranmu, mereka takut kehilangan posisi mereka dikantor itu."
"Sudahlah pak, aku menerima semuanya."
"Tapi air mata yang jatuh dan gempalan tangan itu tak menggambarkan penerimaan nak."
Imam melepas gempalan tanganya, lalu menghapus air matanya. Suara itu suara Pak Ansar, penjual bakso keliling dengan gerobak yang sering berjualan ditempat kerja Imam pada waktu makan siang. Dia sering disana hingga petang. Dia sudah berjualan disana sejak 8 tahun yang lalu jauh sebelum Imam bekerja di tempat itu. Jika jam makan siang Imam sering makan bakso Pak Ansar, sehabis makan biasanya mereka bercerita dan bertukar pengalaman. Imam banyak belajar tentang kehidupan dari sosok Pak Ansar, dia sering memberi nasihat-nasihat untuk Imam. Pak ansar bagai guru sekaligus orang tua untuk Imam.
"Aku telah berjualan selama 8 tahun didepan kantor itu, entah sudah berapa kali mereka bergonta-ganti karyawan, namun tak pernah kutemui seorang sepertimu nak."
"Seorang pecundang, yang tak melawan ketika diperlakukan tak adil." Ucap Imam dengan suara parau dan bergetar.
"Huss singkirkan fikiran negatifmu itu nak, kamu tak salah apapun. Mereka yang salah, telah menyia-nyiakan orang baik sepertimu. Kamu bukan pecundang."ucap Pak Ansar dengan penuh harap.
"Sejak kapan bapak mengikutiku?" Tanya Imam, mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Aku melihatmu berjalan keluar dari kantor, dengan langkah-langkah yang begitu hampa. Jadi aku memutuskan mengikutimu. Lagipula ini sudah petang. Sudah waktunya aku pulang kerumah."
"Lalu mengapa bapak tak pulang?"
"Aku takkan beranjak jika kau tak beranjak."
"Aku tak apa-apa pak, pulanglah dulu anak-anakmu pasti sudah menunggumu."
"Satu anakku masih ada disini. Terluka dan tak mau pulang. Kau sudah seperti anakku, aku selalu merasa khawatir denganmu nak."
"Maafkan aku pak, aku bahkan tak sempat berpamitan padamu. Terima kasih atas semuanya. Jaga kesehatanmu."
"Ingatlah nak kamu boleh patah hari ini, kau boleh kecewa hari ini, kau boleh merasa kehilangan apupun hari ini. Tapi kau tak beloh kehilangan harap. Jangan biarkan harapanmu redup, jagalah agar tetap menyala, meski nyalanya kecil. Suatu saat kamu akan mendapat sesuatu yang akan membuat nyalanya makin benderang dan akan menyinari hari-hari yang gelap."
Imam terdiam mengankat kepalanya, menatap senja matanya kembali berbinar. Kali ini tanpa air mata yang terjatuh, tanpa gempalan tangan.
"Sekali waktu jika kau ada kesempatan datanglah kerumahku. "
"Tentu, sekali waktu aku akan menemuimu pak."
"Sebentar lagi gelap, mari pulang."
Mereka beranjak dari tempat duduknya, berjalan keluar menapaki pinggiran jalan.
"sini biar aku yang mendorong gerobakmu"
Pak Ansar berhenti, kini gerobakya di dorong Imam.
"sepertinya berjualan bakso lebih menyenangkan" ucap Imam.
" semua pekerjaan menyenangkan, jika dikerjakan dengan hati yang Ikhlas"
Mereka menusuri setapak jalan, meninggalkan halte tua tersebut. Imam tersenyum lega, kini segala dendam ia tinggalkan disana di halte tua. Kini ia melangkah dengan harapan baru dengan hati yang lapang.
KAMU SEDANG MEMBACA
DENDAM
Short StoryMereka menusuri setapak jalan, meninggalkan halte tua tersebut. Imam tersenyum lega, kini segala dendam ia tinggalkan disana di halte tua. Kini ia melangkah dengan harapan baru dengan hati yang lapang.