39. Fakta Kedua

98 27 8
                                    

Pattar sedang berbaring seusai menyelesaikan kegiatan semedi untuk proyek berikutnya ketika satu pemberitahuan muncul di layar handphonenya. Begitu selesai membaca, ia langsung menegakkan tubuhnya dan menelepon nomor Hana dengan napas yang memburu. Tiga kali ia memanggil nomor tersebut, namun tidak ada jawaban. Akhirnya, dengan penuh emosi ia turut menuliskan komentar pada kiriman Instagram terbaru sahabatnya itu. Setelah itu, ia masih menelepon nomor yang sama. Satu panggilannya kembali diabaikan. Ia langsung meraih jaket dan kunci motor yang terletak di atas nakas. Ia membuka pintu dengan kasar.

"Kemana lo?" Zai menatap heran pada rekan satu timnya yang kini masih mengenakan celana boxer namun jaket sudah membalut tubuhnya.

"Lo masih tanya? Ke rumah Hana. Heran gue, dia itu selalu nggak dengerin omongan gue." Pattar bergerak mengunci pintu kamarnya.

"Lo yakin mau ke rumah Hana dengan pakaian begitu?" Zai menatap sahabatnya dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Pattar mengikuti pandangan Zai dan ia merasa tidak ada yang salah dengan dirinya.

"Lo tenangin diri dulu deh. Ngakunya nggak suka. Begitu tahu Hana dipepet Jeff, lo kebakaran jenggot. Lihat deh, lo kayak mau mergokin istri selingkuh tahu nggak. Celana boxer sama sandal yang berbeda. Gue baru sadar kalau cinta itu buta bukan kalimat pujangga aja." Zai menggeleng dan melewati Pattar begitu saja. Ia masuk ke bengkel dan tidak menutup pintunya.

"Tumben lo ngomong panjang amat." Pattar jadi malu karena ia baru sadar akan tingkah konyol yang hampir ia lakukan. Pangkat tertinggi untuk hubungannya dan Hana adalah sebatas sahabat, jika lebih mereka akan menjadi saudara. Ia tidak punya hak apapun untuk menghakimi Hana yang baru saja kencan dengan Jeff.

"Lo nggak masuk? Gue mau nyalain AC nih." Kepala Zai menyembul keluar dari pintu bengkel.

"Ntar, gue balikin jaket sama sendal dulu."

"Gitu dong."

Pattar masuk ke bengkel kurang dari lima menit kemudian. Ia langsung merebahkan tubuhnya di sofa panjang.

"Lo sudah telpon Hana?" Zai bertanya sambil sibuk menatap layar laptopnya.

"Dia nggak angkat, makanya gue emosi tadi."

"Emosi atau cemburu?" Zai menyentuh ujung kacamatanya dan melirik sekilas.

"Emosi. Mungkin juga cemburu. Tapi, meskipun gue sama Hana saling suka, kami nggak akan bisa sama-sama untuk hal yang romantis." Pattar menghela napas.

"Lo menyerah untuk hal yang sebenarnya bisa lo perjuangkan?" Zai menatap Pattar tajam.

"Gue nggak menyerah, tapi takdir memaksa gue untuk menyerah. Gue sama Hana saudaraan."

"Oke, please jangan bercanda. Lo nggak lagi mau buat cerita ala-ala sinetron ikan terbang kan?"

"Gue serius. Gue sama Hana saudara, meski bukan dari hubungan darah."

Zai dibuat binggung dengan pernyataan Pattar yang menurutnya tidak masuk akal.

"Gue sama Hana berbagi air susu yang sama. Jadi, secara nggak langsung kami adalah saudara. Bunda donor ASI buat gue." Pattar menjelaskan dengan nada yang terkesan kecewa.

"Dari sekian banyak anak kenapa harus lo?"Zai masih tidak percaya akan takdir yang membuat sahabatnya menderita sakit hati.

"Bunda Hana sama Mama gue sahabatan, dan ya lo bisa tebak kelanjutannya."

"Gue nggak tahu harus gimana. Gue pengen banget menertawakan fakta aneh dari hubungan kalian tapi gue juga kasihan sama lo." Zai melepaskan kacamatanya dan menepuk pundak sahabatnya. "Masih banyak cewek di bumi. Lo bahkan menggenggam dua diantaranya sekarang. Makanya jangan kebanyakan bikin dosa. Kualat kan lo." Zai tidak mampu menahan tawanya.

The Untold Story ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang