16

144 18 0
                                    

"Oh, Minseok? Kau Minseok kan? Bisa bicara sebentar?"

***








"Begini" dokter bernama Huang membuka pembicaraan

Aku di kantornya sekarang. Luhan sedang tertidur di kasur sebelah. Ruangan berdominasi krem muda ini sangat nyaman. Ada beberapa boneka koleksi Luhan yang sengaja ditinggal karena Sarang sering bermain disini. Foto Luhan dengan kedua orang tuanya terpajang apik di sebuah pigura kecil dekat komputer

"Kau tau kan, adikmu belum tersadar hingga sekarang, dan—" dokter itu menghentikan kalimatnya. Ragu untuk mengatakan

"Katakan saja, dok"

"Ehem. Jika dibiarkan seperti ini saya yakin dia akan tersiksa"

"Jadi?"

"Saya hanya menawarkan. Jika anda bersedia, lebih baik Jongdae—"

Brak!

"Saya tidak mau" lirihku. Aku tahu akan kearah mana perbincangan ini

"Mohon dimengerti, tuan"

Aku menggeleng. Luhan yang terbangun mendengar gebrakanku membawaku keluar dari ruangan itu

"Aku tidak bisa jika Jongdae pergi" aku menangis sejadi-jadinya. Luhan terus memelukku erat

"Aku tau. Aku tau Minseok. Aku tau rasanya semenjak Heeyoung melahirkan Sarang. Aku tau bagaimana rasanya orang yang kita sayangi diambang kematian"

"Tapi caranya tidak begini" aku mulai terisak

"Oke. Kita lihat Jongdae dulu baru kita temui papa. Aku juga ingin membentaknya saat dia bilang begitu lagi"

Aku dan Luhan pergi ke kamar Jongdae. Luhan membuka pintu. Ya ampun! Pemandangan menyedihkan apa ini. Aku tidak mengerti dunia kedokteran namun melihat banyaknya selang kehidupan di tubuh Jongdae membuatku ingin menangis. Ku lihat Luhan, dia mengangkat bahunya seperti berkata aku juga tidak tahu fungsi alat-alat itu. Aku berjalan gontai ke arah adikku. Walaupun kami ayah beda ibu tapi darah persaudaraan kami mengalir kencang. Aku berharap saat aku memegang tangannya dia sadar dan tersenyum padaku

"Jongdae" bisikku. Aku yakin dia mendengarnya, walaupun dia tidak merespon

"Apa kabarmu? Aku merindukanmu bodoh. Sadarlah. Hei, kau tau? Appa dan eomma akan bercerai. Kamu tidak akan disiksa eomma lagi. Hei, sepertinya aku tau siapa ibumu. Dia berjualan ramen langganan kita. Jongdae, aku ingin sekali bercerita banyak padamu. Jadi..." aku berhenti berbicara ketika air mataku sudah penuh di mata. Aku mengusapnya kasar

"Jadi... Janganlah menyerah disana. Aku yakin ketika kamu menang melawan sakitmu ini, kau akan melihat cahaya terang disana. Cahaya ketenangan dari kami semua disini. Aku tau aku jahat dengan Tuhan karena memintamu tetap hidup di ambang usiamu yang tinggal menghitung detik, tapi Jongdae. Tapi a- aku masih membutuhkanmu"

Ruangan ini hanya terdengar alat pendeksi jantung. Ruangan bisu dan hanya tercium bau aneh dari setiap sudutnya. Ruangan yang menjadi saksi bisu perjalanan Jongdae melawan rasa sakitnya secara fisik dan batin. Aku hanya bisa berkata egois saat ini





HELP ME! ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang